Bab 6

1715 Words
Ian menghela napas, tadinya merasa bingung dengan perasaannya sendiri. Namun, melihat wajah Carla yang bersimbah air mata, perasaannya membeku. Ian berpaling, mengalihkan pandangannya keluar jendela dan tidak memandang perempuan itu lagi. Sekarang sepertinya dia mulai bisa membedakan mana senyum tulus dan mana yang palsu. Carla mendekat, memegang tangan Ian dengan lembut. "Ian, aku bersedia melakukan apa saja untuk memperbaiki semuanya. Aku hanya ingin kesempatan untuk membuktikan bahwa cintaku padamu tulus." Ian menatap Carla dengan campuran emosi. "Carla, aku tidak tahu apakah aku bisa mempercayaimu lagi." Carla menangis semakin keras, suaranya penuh dengan penyesalan. "Ian, aku bersujud di hadapanmu sekarang, memohon maaf. Tolong beri aku kesempatan terakhir. Aku akan membuktikan bahwa aku pantas menjadi istrimu." Ian merasa hatinya sedikit melunak melihat Carla yang begitu hancur. "Carla, aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Tolong berilah ruang untuk kita masing-masing." Carla mengangguk, masih berlutut di depan Ian. "Terima kasih, Ian. Itu saja sudah cukup untukku. Aku akan menunggu dan melakukan apapun yang kamu minta." Ian menghela napas panjang. Menatap wanita yang masih berlutut di depannya dengan tatapan rumit. Bertahun-tahun lalu, dia pernah sangat mencintai Carla. Namun saat bisnisnya mengalami kemunduran, wanita itu meninggalkannya dan pergi ke luar negeri. Itu sudah hampir enam tahun lalu. Ada begitu banyak hal yang berubah selama periode itu. Carla yang sekarang ada di hadapannya bukan lagi Carla yang enam tahun lalu. Wanita ini sudah banyak berubah. Ian tidak akan melupakan kata-kata penuh intimidasi yang dia ucapkan pada Madeline dalam video itu. Ekspresi wajahnya saat itu berbeda sekali dengan ekspresinya sekarang. 'Apa yang sedang wanita ini coba lakukan?' Tanya Ian dalam hati. Dia seperti melihat orang asing yang tidak dia kenal. Merasa tidak nyaman, dan sedikit ketakutan dengan reaksi Ian, Carla menunduk dalam, berusaha menarik simpati Ian. "Kita sudah berpisah begitu lama, Ian. Dan aku menemukan kamu sudah menikah. Ini membuat aku ketakutan setengah mati, membayangkan hidupku di masa depan tanpa dirimu. Tolong beri aku kesempatan kedua, dan aku akan berusaha keras untuk membuktikan cintaku padamu." Kata Carla penuh permohonan. "Kamu tidak seharusnya membohongi semua orang demi mencapai tujuanmu." "Maaf, Ian.." Bibir Ian terkatup rapat. Hatinya tetap tidak tergerak melihat penyesalan yang ditampilkan oleh Carla. 'Dia mampu membuat semua kebohongannya terlihat benar dan nyata. Bagaimana aku bisa yakin bahwa yang dia perlihatkan sekarang ini benar-benar jujur, bukan lagi sebuah kepalsuan?' Merasa lelah dengan apa yang telah terjadi selama beberapa hari terakhir, Ian meninggalkan Carla tanpa bicara lagi. Carla terkejut, melihat Ian berjalan menjauh. Dia menatap punggung Ian dengan kedua tangan terkepal kuat. 'Aku akan terus berusaha hingga Ian kembali menjadi milikku.' *** Ian duduk di ruang kerjanya, pikirannya melayang jauh dari tumpukan dokumen di depannya. Kegelapan malam di luar jendela menambah kesan sepi yang melingkupi ruangan. Kata-kata ibunya terngiang jelas di telinganya, bersamaan dengan gambar-gambar masa lalu yang menyakitkan. Vonny, ibunya, memintanya untuk bersabar dengan Carla dan memberikan kesempatan bagi wanita itu untuk membuktikan cintanya. “Carla telah mengalami banyak cobaan berat,” kata ibunya dengan nada penuh belas kasihan. “Dia melalui kecelakaan lalu lintas yang nyaris merenggut kedua kakinya. Dia telah berjuang untuk bangkit kembali, karena cintanya padamu, Ian. Kamu harus memberinya kesempatan.” Ian mengingat kembali bagaimana ibunya membicarakan perjuangan Carla, bagaimana kecelakaan yang mengerikan itu telah merusak hidup Carla dan membuatnya sangat rentan. Meskipun perasaan itu mengusik hatinya, Ian merasa harus bertindak bijaksana. Dia membiarkan Carla tinggal di rumahnya, meski tidak pernah berniat untuk menikahinya. Keputusan tersebut lebih didorong oleh rasa kasihan dan rasa tanggung jawab daripada cinta yang sebenarnya. Sekarang, duduk sendirian di ruang kerjanya, Ian merasakan perasaan yang membingungkan. Rasa kasihan yang mendalam untuk Carla mengaburkan pikiran logisnya. “Apa yang harus aku lakukan?” gumamnya pada diri sendiri, sambil menggerakkan kursornya di layar komputer tanpa tujuan. Setelah kejutan dalam pesta malam itu, Ian merasa bahwa perasaannya terhadap Carla ternyata hanyalah rasa kasihan. Dia ingat bagaimana Carla terus berusaha meraih simpati dan perhatian, namun, terlalu sulit untuk melihat cinta dalam sikap dan perilakunya. Kalau Carla bisa berperan sempurna dalam video yang Madeline tunjukkan di hadapan semua orang, Ian jadi tidak yakin, apakah masih ada ketulusan dalam kata-kata perilaku wanita itu. Setiap kali dia berusaha membayangkan masa depan dengan Carla, perasaan itu hanya menambah kepedihan di hatinya. Yang lebih membingungkan, Ian mulai merasa kehilangan Madeline. Wanita itu begitu lembut dan melayaninya dengan baik. Mengingatnya sekarang, menyadarkan Ian bahwa sesungguhnya Madeline telah menjadi seorang istri yang sempurna. Selama ini dia hanya sibuk dengan pekerjaan kantor, melaksanakan semua tanggung jawabnya sebagai CEO dan mengabaikan keberadaan Madeline. Ian menatap dua dokumen perencanaan yang saat ini ada di atas meja kerjanya. Dalam dokumen yang terjilid rapi itu, ada desain bangunan yang dibuat Madeline. Keduanya adalah dokumen proyek besar yang berhasil mereka dapatkan. Ian mengusap wajahnya resah saat matanya tertumbuk pada satu dokumen lain yang diberi tanda merah. Ini adalah dokumen yang gagal dalam proses pelelangan belum lama ini. Saat ini Ian baru tersadar betapa pentingnya Madeline. Ian berusaha mencari informasi tentang keberadaan Madeline. Dia menghubungi teman-temannya, berusaha melacak jejaknya, tetapi semua usaha tersebut tampaknya sia-sia. Setiap upaya untuk menemukan Madeline selalu berakhir tanpa hasil, menambah rasa frustasi dan keputusasaannya. Belum lagi Vonny yang terus memaksa Ian untuk menikah dengan Carla. “Ibu mungkin benar tentang Carla,” pikir Ian. “Tapi rasanya sulit untuk benar-benar menyukai wanita yang penuh dengan drama dan manipulasi seperti itu. Aku harus tahu kebenaran tentang Madeline. Aku harus menemukannya, bahkan jika itu berarti aku harus mengabaikan segala sesuatu yang ada di sekelilingku.” Ian duduk di ruang kerjanya, dikelilingi oleh tumpukan dokumen dan laporan yang tidak menyurutkan kepalanya dari masalah yang sebenarnya. Pikirannya melayang kembali pada kontribusi Madeline di perusahaan. Kini, setelah melihat dari jauh, dia baru menyadari betapa besar peran Madeline dalam kesuksesan perusahaan. “Madeline... dia benar-benar banyak membantu,” gumam Ian, matanya menatap layar komputer yang menampilkan laporan-laporan kerja Madeline. Dalam benaknya, gambaran Madeline yang berdedikasi dan pekerja keras muncul kembali Setiap laporan, setiap keputusan yang dia ambil, dan setiap ide yang dia kontribusikan tampak lebih berharga sekarang daripada yang pernah dia sadari. Namun, kesadaran ini datang terlambat. Ian berusaha melacak keberadaan Madeline, mencoba menelusuri setiap kemungkinan yang dia miliki, tetapi semua usaha itu tidak membuahkan hasil. ‘Kemana dia bisa pergi?’ pikir Ian, menggaruk kepalanya frustasi. ‘Dia pasti menyembunyikan jejaknya dengan sangat baik.’ Ketika mengingat kejadian malam itu, terutama mobil mewah Daniel Reynard, kemarahan Ian memuncak kembali. Dia membayangkan Madeline meninggalkannya untuk bergaul dengan pria kaya lainnya, dan kemarahan itu kembali mengaburkan pikirannya. Walaupun Ian sendiri yang memicu perceraian mereka, tetapi membayangkan Madeline bersama pria lain, tetap saja menyakitkan. ‘Jadi, ini semua adalah bagian dari rencananya,’ pikir Ian dengan nada penuh kemarahan. ‘Dia berpura-pura menderita hanya untuk bisa pergi dengan pria kaya lain. Ini semua bagian dari strateginya. Dasar pengejar harta.’ Ian mulai membayangkan skenario-skenario terburuk. Apakah Madeline benar-benar begitu licik? Apakah semua yang dia lakukan hanyalah untuk mendapatkan keuntungan dari pria kaya seperti Daniel Reynard? Kemarahan dan rasa dikhianati membanjiri pikirannya, memperburuk kebingungan dan kesedihannya. ‘Bagaimana mungkin aku tidak melihat semua ini sebelumnya?’ Ian berteriak dalam hatinya, meremas tangannya yang gemetar. ‘Aku terlalu fokus pada perasaanku sendiri hingga aku gagal melihat betapa jauh dia memanipulasi situasi ini.’ Ia mengumpulkan kekuatan untuk berdiri dari kursinya dan mulai merapikan dokumen-dokumen di mejanya dengan kasar. Frustrasi dan marah yang mendalam mengarah pada keputusan impulsif. Sambil memeriksa daftar kontak dan nomor-nomor yang bisa mengarahkannya pada informasi lebih lanjut tentang Madeline, Ian merasakan ketidaknyamanan yang mendalam di dalam dirinya. Kesadaran akan betapa berartinya Madeline dalam hidupnya dan bagaimana dia mengabaikan kontribusinya menambah kepedihan di hati Ian. Namun, dia tahu satu hal yang pasti. Dalam usaha mencari kebenaran tentang Madeline, dia harus menghadapi banyak kenyataan pahit, dan ia tidak bisa berhenti sebelum dia mengetahui jawaban yang benar. *** Madeline dan Daniel duduk di ruang tamu apartemen, dikelilingi oleh suasana tenang malam. Lampu-lampu kota di luar jendela menambah suasana malam yang damai, namun di dalam ruangan ini, energi dan semangat Madeline jelas terasa. “Daniel, aku sudah memutuskan. Aku akan kembali ke rumah untuk sementara waktu. Beberapa hari sendirian di apartemen ini memberi aku banyak waktu untuk berpikir. Sekarang, aku tahu apa yang harus aku lakukan.” Daniel mengangguk, “Apa rencanamu, Madeline? Aku di sini untuk mendengarkan dan membantu sebaik mungkin.” Madeline menatap Daniel dengan penuh keyakinan, matanya bersinar dengan semangat baru. Madeline mengungkapkan rencananya pada Daniel. “Aku akan membalas dendam dengan cara yang paling efektif. Aku akan menjadi saingan bisnis Ian. Dia pikir aku hanya wanita yang bisa dia buang begitu saja, tapi aku akan membuktikan sebaliknya. Aku akan mengambil alih bisnis dan menunjukkan bahwa aku bukan hanya seorang istri yang bisa diabaikan.” Daniel menatap mata penuh tekad Madeline. Mereka telah tumbuh bersama, dan susah saling mengenal“Itu adalah rencana yang ambisius. Namun, ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan. Pertama, kamu harus memastikan bahwa kamu memiliki semua informasi dan sumber daya yang diperlukan untuk bersaing dengan Ian.” Madeline mengangguk, “Aku tahu, Daniel. Aku sudah mulai mengumpulkan data dan menganalisis kelemahan dalam bisnisnya. Aku juga berencana untuk berbicara dengan ayahku. Dia memiliki koneksi dan kekuatan yang bisa aku manfaatkan.” “Bagus. Memiliki dukungan dari keluarga adalah aset yang sangat berharga. Namun, ingatlah untuk merencanakan setiap langkah dengan hati-hati. Jangan biarkan emosi mengaburkan penilaianmu. Kamu harus tetap fokus pada tujuanmu.” “Aku mengerti. Aku tidak akan membiarkan kemarahan menguasai diriku. Ini tentang membuktikan diri dan meraih kemenangan secaratepat.” “Terima kasih atas saran-saranmu, Daniel. Aku akan mempersiapkan semuanya dengan matang. Aku tahu ini bukan tugas yang mudah, tapi aku siap untuk menghadapi tantangan.” “Aku percaya padamu, Madeline. Kamu sudah menunjukkan ketahanan dan kecerdasan yang luar biasa. Aku yakin kamu akan mampu mencapai tujuanmu.” Madeline tersenyum penuh harapan. “Dengan dukunganmu, aku merasa lebih yakin. Aku akan mulai merencanakan langkah selanjutnya. Ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa aku bisa lebih dari sekadar apa yang mereka lihat.” “Kalau ada yang bisa kubantu, beri tahu aku kapan saja. Aku akan selalu mendukungmu dalam setiap langkah.” Madeline dan Daniel berdiri, menyadari bahwa malam ini telah memberikan dorongan dan kejelasan baru. Dengan rencana yang telah matang dan tekad yang kuat, Madeline merasa siap untuk menghadapi tantangan dan membalas dendam dengan cara yang paling efektif. “Ingat Madeline, ketika seorang pria memutuskan untuk menceraikanmu, itu karena dia sudah kehilangan jejak cinta yang pernah kalian miliki.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD