Bab8: Father and Son

1188 Words
Pagi itu Raka kembali ke apartemen setelah mengantar Andre ke sekolahnya. Membuat sedikit kehebohan di gerbang sekolah ketika adik kesayangannya itu dengan sengaja meninggalkan bekalnya di jok mobil sehingga Raka terpaksa turun dari mobil mengejarnya. Raka sendiri sebenarnya tak terlalu suka ketika berhadapan dengan fans-fansnya secara langsung. Hanya karena profesionalisme saja ia masih berusaha meladeni mereka meski sekedarnya. Dan Andre yang melihat wajah masam kakaknya dari kejauhan ketika dikerubuti cewek-cewek abege jelas tersenyum jahil. Yudha datang tak lama setelah Raka mengganti pakaiannya. Dia menginformasikan agenda Raka hari itu dan sepekan ke depan. “Aku akan ke kantor Papi dulu. Kamu bisa ingatkan lagi agendaku nanti by phone?” Yudha mengangguk. Meski ia sempat kaget Raka menggunakan kata ganti aku dan kamu, tapi ia juga ingat, beberapa kali setelah pulang ke rumahnya, bosnya itu memang kerap seperti itu. Ia lalu menyerahkan ponsel Raka. “Kamu bisa carikan aku ponsel lagi enggak, Yud?” “Bisa, Bang. Dengan nomer baru sekalian?” “Iya. Sama bilang Bobby, jangan terima job baru apapun. Aku selesaikan yang ini dulu aja.” “Bang Raka ada rencana lain?” tanya Yudha hati-hati. Bagaimana pun kesibukan Raka terkait dengan periuk dapurnya. “Andre mau masuk kuliah. Aku mungkin harus mulai masuk perusahaan meskipun gak full.” Yudha mengangguk mengerti. “Kamu gak usah kuatir. Kamu tetep bisa jadi asistenku kalaupun aku sudah sepi job syuting. Aku jalan ya. Itu ada makanan dari rumah, makan aja kalau kamu mau.” Raka masuk ke perusahaan dengan langkah tegap. Posturnya yang ideal dibalut celana kain, dengan T-shirt yang ia tutupi jas formal. Seorang resepsionis menyambutnya dengan sangat ramah. Meski jarang datang ke kantor, tapi seluruh karyawan tahu bahwa Raka yang lebih popular sebagai artis adalah salah satu pewaris jaringan bisnis keluarga Ranuwijaya. Dia langsung naik ke ruangan ayahnya dengan menggunakan lift khusus. Seorang laki-laki yang merupakan asisten ayahnya sudah menunggu di depan ruangan ayahnya begitu ia sampai di lantai sembilan. “Selamat pagi, Mas Raka. Bapak sudah menunggu. Silakan,” ia membukakan pintu kemudian menutupnya kembali dari luar. Di ujung ruangan, Bagaskara Ranuwijaya tampak duduk dengan angkuh di kursi kekuasaannya. Meski wajahnya tak lagi sekeras beberapa tahun belakangan, tapi aura intimidasi itu terasa begitu kental dari sorot matanya. Aura dingin masih meliputi keduanya. “Duduklah. Papi perlu bicara penting sama kamu,” suaranya terdengar lebih lembut dan hangat. “Bukan tentang masalah pribadi Raka kan?” Raka duduk dengan tenang di hadapan ayahnya. Tampaknya DNA Ranuwijaya sudah kembali pada si sulung. “Mami sudah Papi beri tahu. Tapi tidak dengan alasannya. Dan adik-adikmu…” “Mereka sudah tahu. Nadya punya bukti yang sama dengan Papi.” “Nadya?” “Kekasih Nadya yang ngumpulin buktinya.” “Rey? Kalau kamu ada waktu, Papi ingin kamu ketemu dia. Papi butuh validasi kamu sebelum memberi persetujuan hubungan mereka.” “Raka? Kenapa?” Raka tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Validasi? “Kamu kakak laki-lakinya, wali buat Nadya setelah Papi.” Raka masih menatap tak percaya ayahnya. “Dia memenuhi semua kualifikasi Papi kan?” Bagaskara menghembuskan napasnya. Ia tahu anak sulungnya mungkin masih menyimpan dendam karena ia tak pernah menyetujui hubungannya dengan kekasihnya. “Papi menginginkan yang terbaik untuk kalian bertiga.” “Raka mengerti,” Raka masih enggan membahas hubungannya yang kini sudah berakhir. “Papi mau Raka bagaimana soal perusahaan?” dia mengalihkan pembicaraan. “Papi gak akan paksa kamu untuk meneruskan perusahaan. Andre sudah bersedia. Tapi karena dia harus kuliah dulu, Papi butuh kamu di dalam.” “Papi tahu Raka punya kontrak kerja kan yang belum selesai.” “Papi butuh orang yang bisa Papi percaya, Raka. Kamu boleh ambil waktu sebisa kamu. Setidaknya dalam satu pekan ada beberapa hari yang bisa kamu luangkan kemari meski tidak full seharian.” “Ada orang-orang yang Papi tidak percaya?” “Papi belum punya bukti.” “Serius imbasnya?” “Ya. Kamu bisa masuk bagian manapun yang kamu mau. Mungkin marketing atau PR.” Raka tertawa. “Papi mau manfaatin popularitas Raka?” Bagaskara menggedikkan bahu. Tapi ia cukup senang mendengar tawa putra sulungnya. “Berapa bayaran Raka?” “Kita lihat kerjamu dulu. Bagian sahammu dengan Andre sementara ini sama, kecuali nanti kalau ada yang mau full pegang perusahaan.” “Berikan itu pada Andre. Raka akan buka usaha sendiri nanti.” “Oke. Kamu kapan bisa mulai?” “Nanti Raka kirimkan schedule Raka ke Papi. Raka ada film layar lebar yang baru mulai take gambar minggu depan.” “Tinggal itu saja?” “Iya. Tapi sebagian akan take di Jogja.” “Ya sudah. Papi tunggu kabar kamu.” “Oke. Papi sudah selesai? Raka ada reading naskah habis ini.” Bagaskara mengangguk. Meski ada banyak urusan perusahaan yang ingin ia bicarakan dengan anak sulungnya itu, tapi ia tak ingin terburu-buru. Hubungan keduanya baru saja mulai mencair setelah Raka lepas dari mantan kekasihnya, ia tak ingin membuat anak itu kembali menghindar dari keluarganya sendiri. “Raka pamit kalau gitu,” Raka bangkit berdiri dari kursinya. Begitu juga dengan ayahnya. “Raka,” panggil ayahnya sebelum Raka mencapai pintu. “Ya,” Raka berbalik dengan elegant. “Maafkan Papi,” Bagaskara menatap lekat anak sulungnya. Raka mengangguk. Kemudian melanjutkan langkahnya. Tapi ketika ia hendak menggapai pegangan pintu, ia berbalik kembali menuju ayahnya yang masih berdiri di balik meja kerjanya. “Maafkan Raka juga, Pi,” dia memeluk ayah yang sempat ia anggap sebagai musuh hanya karena perempuan yang justru menghianatinya. “Berhati-hatilah. Kamu nyaris punya segalanya. Jangan salah pilih lagi,” Bagaskara menepuk-nepuk punggung putranya. “Terimakasih Papi tidak pernah menghakimi Raka setelah semua kebenaran ini.” “Sering-seringlah pulang ke rumah.” Raka mengangguk. Ia keluar dari kantor ayahnya dengan d**a yang lebih ringan. Ayahnya, yang begitu keras menunjukkan ketidaksetujuannya atas hubungannya dengan Freya, ternyata tak sekalipun menghakimi keputusannya ketika terbukti jalan yang dipilihnya tak benar. Ayahnya bahkan tak memaksanya untuk pulang dan masuk perusahaan meski jelas ia lebih suka anaknya tinggal di rumah dan ikut mengelola perusahaan. Ia tak menyangka, justru keluarganyalah yang menjadi obat terbaik bagi patah hatinya. Atau sebenarnya ia tidak patah hati? Raka sudah tak peduli. Ia menjalankan mobilnya dengan tenang menuju kantor rumah produksi film yang akan ia perankan. Yudha sudah menunggu di depan saat mobil Raka merapat. “Dari tadi?” “Enggak, Bang. Baru saja sampai. Aku sudah sampaikan pesan Abang sama Bang Bobby. Dia minta ketemu malam ini.” “Sudah mulai di dalam?” “Belum. Masih lima belas menit lagi.” “Sudah dateng semua?” “Citra belum.” Raka mengangguk. Dia mencari tempat duduk dan mengeluarkan rokoknya. Tak lama, sebuah taxi merapat menurunkan seorang gadis cantik yang tampak begitu sederhana. Raka terpana sesaat. Dia seperti pernah melihat gadis itu. Gadis itu tampaknya menyadari ada sepasang mata yang memperhatikannya. Dia menengok kemudian mengangguk sopan ke arah Raka. Raka yang sudah terbiasa dengan sikap orang lain yang mengenalnya hanya balas mengangguk acuh. “Siapa?” tanyanya pada Yudha. Ada sedikit perasaan tidak terima karena gadis itu berlalu begitu saja. Biasanya para gadis akan tersipu malu-malu hanya dengan Raka mengarahkan pandangannya ke arah mereka meski sesaat. “Citra Maheswari.” “Dia?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD