Vivian menegakkan duduknya perlahan. Beberapa kali ia mengulang dalam hati perkataan Leonard—permintaan yang tak biasa, namun begitu dalam. Ia mencoba menempatkan dirinya sebagai Karen, wanita yang bahkan belum benar-benar dikenalnya secara utuh. Vivian hanya pernah melihat sekilas foto, mendengar cerita dari Erna dan sepintas kenangan Leonard. Tapi ia belum tahu seperti apa suara Karen, bagaimana caranya tertawa, apa yang biasa ia katakan saat marah, atau bagaimana cara dia mencintai Leonard dan anak-anaknya. Namun di hadapan pria yang kini duduk hanya sejengkal darinya, Vivian mencoba membungkam keraguan itu. Perlahan, ia menoleh. Memandang Leonard dalam diam. “Kalau saya…Karen,” katanya lirih, “Apa yang ingin kamu sampaikan malam ini?” Dia tahu ini bukan soal pura-pura. Ini tentang