Rania menghela napasnya dalam, mencoba menata kata sebelum bicara pada sang Papa. Tyo duduk di sofa ruang tamu, tangan bersedekap, tatapan tajamnya menembus seperti sinar rontgen, seolah bisa membedah kebohongan dari detak jantung anak gadisnya. Rania duduk bersila di karpet, posisi tunduk seperti murid yang sedang dimarahi guru killer. Bedanya, yang satu ini... lebih menakutkan. “Itu Daisy, anak Rektorku, Pak Prabu. Dia salah paham. Mikir aku itu calon Bundanya,” Rania memulai dengan nada setenang mungkin. “Awalnya aku mau ngoreksi, tapi dia tuh... kayak bahagia banget gitu. Katanya dia gak punya Ibu. Ibunya udah meninggal.” Tyo diam. Tak ada anggukan, tak ada sahutan. Matanya tajam, tetap menatap. Rania menelan ludah. “Aku kasihan, Pah. Jadi ya, aku biarin aja. Lagian sekalian juga...