Beberapa puluh menit setelah kepergian Megan. Pria yang seharusnya menjadi suami Megan mendatangi kediaman orang tua gadis itu. Karena pernikahan, yang tiba-tiba saja dibatalkan sepihak oleh mereka.
Katanya, Megan malah hamil oleh laki-laki lain. Tapi ia tidak percaya begitu saja. Apakah Megan benar-benar telah mengkhianati dirinya?? Padahal, gadis itu terus menerus mengejarnya. Dia bilang, bila dirinya ini adalah cinta pertama. Tapi kenapa, dia melakukan semua ini?? Kenapa dia mengkhianati, setelah ia sudah mulai menautkan perasaan juga kepadanya.
Tangan Freddy terulur ke depan dan ia pun menekan bel rumah. Dua kali menekan saja, Tuan rumah sudah membuka pintunya dengan raut wajah yang tidak bersahabat sama sekali ini.
"Ada apa?? Ada perlu apa lagi??" tanya Tayler dengan ketus, terhadap mantan calon menantunya ini.
"Apakah Megan ada?? Saya ingin bertemu dan bicara dengannya," ucap Freddy.
"Tidak ada. Dia sudah tidak tinggal di sini lagi. Saya sudah mengusirnya dari sini!" cetus Tayler.
"Benarkah?? Sekarang, dia pergi kemana, Om??" cecar Freddy.
"Ya mana saya tahu!"
Freddy lipat bibirnya yang disertai dengan hembusan napas yang berat.
"Baiklah. Terima kasih dan saya permisi dulu, Om," ucap Freddy yang kini berjalan ke mobilnya dengan penuh rasa putus asa.
Seorang pria nampak berjalan cepat dengan menggunakan topi dan juga kacamata hitam. Ia berjalan terburu-buru dan memasuki mobil. Sementara itu, seorang wanita yang juga keluar dari tempat yang sama, dimana pria itu keluar tadi, kini nampak melangkah dengan ragu untuk menuju ke dalam mobil itu juga.
Pria tersebut pun menyembul dari kaca mobil dan menghardik wanita, yang jalannya lambat sekali di sana.
"Hey! Ayo cepatlah!!" hardik pria tersebut.
Wanita itupun menghela napas terlebih dahulu, lalu segera melangkahkan kakinya lagi dan menuju mobil, yang pintunya segera dibuka, oleh pria bertopi dan berkacamata tadi. Lalu setelahnya, pintu mobil ditutup dengan kencang dan mobil tersebut pun melaju pergi, dari tempat yang adalah tempat untuk mengurusi surat-surat dan mengesahkan sebuah pernikahan.
"Ini simpanlah!" cetus pria itu yang mengeluarkan buku dari saku jaket hitamnya, dengan nama maupun data diri mereka berdua di dalamnya. Buku tersebut juga, yang telah menandakan, bila hubungan mereka sekarang, tidaklah main-main. Bahkan, telah diakui oleh negara.
"Kita... Kita benar sudah menikah??" tanya wanita, yang memiliki nama lengkap Megan Elara Gibson. Namun, saat buku ini sudah dikeluarkan dari catatan sipil tadi, secara otomatis, nama belakangnya telah berganti menjadi Megan Elara Hamilton dan yang artinya juga, ia telah resmi menjadi istri dari pria yang sedang mengemudi di sisinya ini.
"Kamu pikir, apa yang kita lakukan saat di dalam tadi huh??" ucap Maxime dengan dingin.
"Ya, aku... Aku masih belum percaya saja. Terlalu cepat dan hanya begitu saja ternyata," ucap Megan sembari melirik pria yang berada di sisi kanannya dengan ragu-ragu.
"Memangnya, apa lagi yang kamu harapkan huh?? Resepsi pernikahan besar-besaran?? Tamu undangan yang sangat banyak itu?? Tidak akan pernah ada! Tidak akan pernah terjadi juga! Kalau kamu ingin semua itu, ya bukan denganku!" cetus Maxime yang semakin kencang melaju dengan mobilnya.
Megan menyunggingkan bibirnya. Kalau tidak ada niatan yang benar-benar seserius itu, kenapa juga harus melibatkannya dan lagi, siapa juga yang mau pernikahan macam begitu??
Tadinya pun, Maxime sama sekali tidak berniat untuk menikahi wanita ini. Ia hanya merekam aksi yang mereka lakukan di hotel waktu itu dan akan menyebarkannya, ketika pernikahan sepupunya digelar. Namun siapa sangka, bila apa yang dilakukannya malah membuahkan hasil dan karena apa yang berada di dalam rahim wanita ini, adalah darahnya juga. Ujung-ujungnya, ia terpaksa harus bertanggung jawab, dengan menikahinya. Ada anak yang membutuhkan status bukan??
Perjalanan yang cukup jauh dan bahkan jauh dari hiruk pikuk kota ditempuhnya. Wanita yang kini sudah resmi menjadi istrinya inipun sampai terlelap di dalam mobil, akibat lelahnya menempuh perjalanan panjang mereka ini. Tapi perjalanan mereka akhirnya berhenti juga, di sebuah rumah yang terdiri di tempat terpencil dan jauh dengan tetangga. Atau lebih tepatnya, tidak memiliki tetangga sama sekali.
"Ayo, kita sudah sampai," ajak Maxime seraya menoleh ke sisinya dan melihat Megan , yang masih memejamkan matanya juga.
Hembusan napas keluar dari mulut pria, yang kini mencondongkan tubuhnya untuk membangunkan wanita, yang kelopak matanya tertutup dengan rapat ini.
"Hey, bangun! Kita sudah sampai!" ucap Maxime sembari menepuk-nepuk pipi Megan.
Megan tersentak dan terlepas dari mimpi singkatnya tadi. Maxime kembali duduk dengan tegak, sementara Megan memperhatikan ke arah sekeliling tempat mereka berada sekarang.
"Ayo turun. Kita sudah sampai!" ajak Maxime seraya melepaskan sabuk pengaman yang melingkar di tubuhnya.
Megan nampak memijat ruang diantara kedua matanya. Lalu membuka pintu dan berdiri di luar mobil dengan sedikit sempoyongan.
Masih pusing sekali. Berkat perjalanan panjang dan berkat apa yang tengah bersemayam di dalam tubuhnya juga.
"Ayo masuk," ajak Maxime yang sudah berjalan duluan saja. Sedangkan Megan berjalan dengan pelan dan membuntuti pria, yang sudah jalan jauh di depan sana.
Megan mengernyit keheranan, saat melihat tempat yang begitu sepi ini. Seperti tengah berada di tengah hutan belantara dan hanya bangunan, yang dari luarnya terlihat menggunakan kayu-kayu mengkilap inilah, yang ada di tengah-tengahnya.
Megan terus melangkahkan kakinya dan setibanya di dalam sana, ia sudah melihat pria yang tadi bersamanya tengah merebahkan tubuh di atas sofa dan dengan mata yang sudah menyipit serta hampir saja tertutup dengan sempurna.
"Duduk dan istirahatlah dulu!" perintah pria tersebut.
Megan duduk di sofa yang lebih kecil dan nampak mengusap-usap perutnya sendiri. Lapar sekali. Habis melakukan perjalanan jauh dan perutnya belum diisi lagi dari dua jam yang lalu.
"Apa tidak ada makanan di sini??" tanya Megan kepada pria yang kelopak matanya sudah tertutup dengan rapat di sana.
Tidak ada jawaban untuk pertanyaannya itu dan hanya sedikit suara dengkuran saja yang menjadi jawaban, atas pertanyaan Megan tadi. Megan lakukan helaan napas dan kini, ia pun pergi untuk mencari makanan sendiri. Ia cari-cari dapur, hingga akhirnya menemukan tempat yang seharusnya menjadi tempat penyimpanan makanan.
Pintu kulkas dibuka dan ada berbagai macam jenis makanan instan maupun bahan makanan yang mentah juga. Megan mencoba untuk membuat olahan makanan sendiri saja, karena memang ia tidak terlalu suka yang instan juga. Hanya saja, kondisi fisiknya yang telah berubah, membuatnya agak kesulitan. Sudah menutupi hidung dan ia masih juga muntah-muntah.
"Hoekk!!" Megan berjongkok di depan kompor, yang sudah ia matikan apinya lebih dulu tadi.
Niat mau makan enak. Belum selesai memasak isi perutnya sudah dikuras habis saja.
"Sedang apa??" tanya pria yang mendengar kegaduhan di dapur dan terbangun lalu mendatangi sumber suara yang gaduh tadi.
"Masak. Tapi aku mual sekali. Tapi aku juga lapar," timpal Megan dengan mata yang berair dan wajah yang sudah kelihatan pucat.
"Hhh... Sini berikan!" cetus Maxime sembari menarik spatula kayu yang ada di tangan Megan.
"Sana! Tunggu saja di luar!" perintah Maxime.
Megan bangun dengan terburu-buru dan berlari keluar. Ia merebahkan tubuhnya di atas sofa panjang dan menghela napas sembari memijat-mijat dahinya sendiri.
"Ini, makanlah!" perintah pria yang akhirnya datang , dengan dua piring makanan, yang masih penuh dengan kepulan asap.
Pria tersebut duduk pada sofa kecil dan memakan jatah miliknya. Sementara Megan tengah duduk sembari menelan salivanya sendiri.
"Ayo makan. Tunggu apa lagi??" desak Maxime.
Megan mengembuskan napas melalui mulutnya dan kemudian melahap makanan yang masih panas ini pelan-pelan.
"Jangan pergi kemana-mana sendirian. Nanti malah tersesat. Tunggu dan diam saja di dalam sini. Aku akan pergi, karena ada pekerjaan nanti malam," pesan Maxime dan disanggupi dengan anggukan kepala Megan, karena mulut yang sedang sibuk mengunyah makanan.
Malamnya.
Maxime yang akan pergi bertugas, terlihat membuang sisa puntung rokok yang ada dan di apit oleh jemari tangannya ke dalam asbak. Ia bangun dari sofa dan pergi untuk melihat dulu wanita yang berada di dalam kamar. Sudah tidur ataukah belum.
Pintu yang memang belum sempat dikunci didorong oleh Maxime, hingga terlihatlah ruangan yang kosong di dalamnya. Dahi Maxime dipenuhi kerutan, saat ia tidak melihat wanita yang dinikahinya siang tadi di dalam sana.
Aneh sekali kan?
Harusnya, wanita itu berada di dalam kamar. Tapi terjawab sudah, saat suara air dari dalam kamar mandi terdengar dan tidak lama setelahnya, pintu kamar mandi itupun terbuka dan memperlihatkan sosok wanita, yang ia cari-cari tadi.
Saliva segera memenuhi mulut dan ditelan oleh Maxime, tatkala ia melihat wanita yang telah sah menjadi istrinya ini, sudah dalam balutan gaun tidur berbahan satin, yang lengkap dengan outer-nya juga, yang segera Megan tarik untuk menutupi belahan dadanya yang rendah, hingga dua pegunungannya menyembul dari sana.