Sungguh perjuangan yang tidak mudah untuk mendapatkan keinginan kak Aisha, bagaimana tidak untuk mendapatkan satu kotak martabak delapan rasa saja aku harus mengalami kejadian menyebalkan sekaligus memalukan.
Kejadian itu terjadi saat aku berniat membeli minuman di sebuah toko P&D saking hausnya, aku sengaja parkir di depan toko itu dan membeli sebotol air mineral dingin, cuaca kota Jakarta sore ini sangat terik dan membuat kerongkongan kering.
Saat akan kembali ke mobil tiba-tiba langkahku terhalang tubuh dua orang laki-laki, yang satu botak dan bertubuh besar sedangkan satunya lagi sedikit kurus dan agak kemayu.
"Mbak, kami mau promo dan sekaligus menawarkan sebuah paket menarik," ujar laki-laki kemayu dengan logan betawi tulen, aku memberi tanda dengan tangan kalau aku sedang terkejar waktu tapi langkahku masih terhalang laki-laki bertubuh besar.
"Maaf mas, saya sedang buru-buru. Lain kali saja," balasku dengan sopan. Mereka berdua tidak menyerah dan semakin menjulurkan kertas kepadaku. Kertas berbentuk brosur dan aku yakin mereka ini sejenis SPG yang berniat menawari barang dagangannya padaku.
"Sebentar saja, saya tahu kok mbak ke sini pasti ada maksudkan?" ujar laki-laki kemayu itu sengaja berbisik di telingaku.
"Iya, saya memang ada perlu dan pembicaraan ini membuat waktu saya terbuang-buang," balasku sedikit emosi.
"Nah, kami punya solusi untuk mbak, nggak perlu antri dan pusing menunggu. 30 menit langsung jadi," balasnya dengan sangat antusias, aku menilai penampilan mereka dan mungkin mereka salah satu karyawan gerai martabak itu dan sedang melakukan promo di jalanan seperti ini.
"Ya sudah, apa solusinya agar saya nggak perlu antri lama-lama," balasku, dua laki-laki tadi menunjukkan jalan tak jauh dari toko P&D tadi, baiklah sepertinya mereka tidak jahat dan berniat buruk kepadaku. Lagipula meski aku perempuan sabuk hitam taekwondo sudah pernah terpasang di pinggangku.
"Masih jauh Mas?" tanyaku sambil mengelap keringat yang mulai berjatuhan dan membasahi tubuhku, kedua laki-laki itu menggeleng dan menunjukkan sebuah ruko dan sepertinya bukan tempat jual martabak seperti yang aku lihat di Google tadi.
"Ayo mbak, kita bisa konsultasi dulu dengan dokter untuk tahu sudah berapa bulan kehamilan mbak, mbak tenang saja kami pakar dalam menggugurkan kandungan," ujar laki-laki kemayu mempromosikan tempat untuk mengugurkan kandungan secara ilegal.
What The Hell!
Aku melihat perutku dan memang sedikit buncit sisa-sisa lemak yang sangat sulit dihilangkan, oh God! Jadi mereka pikir aku ke sini untuk mencari klinik aborsi!
"Maaf, saya ke sini bukan untuk menggugurkan kandungan, permisi!" kataku dengan keras dan kesal, laki-laki bertubuh besar menghadang jalanku dan berniat menarik tanganku untuk masuk, ya Tuhan kenapa mereka nggak percaya kalau aku sedang nggak hamil, bagaimana bisa hamil punya suami saja belum.
"Jangan kuatir mbak, biaya kami murah daripada klinik-klinik lainnya," sambungnya lagi, masih mempromosikan meski aku sudah menolak mereka.
"Saya nggak mau aborsi, ngeyel banget sih!" bentakku dengan keras.
"Alah jangan malu dan munafik mbak, gadis muda jalan sendirian di daerah sini bisa dipastikan sedang mencari klinik aborsi," laki-laki bertubuh besar menarik tanganku dan saat aku ingin menendangnya tiba-tiba suara berat sedang berdeham membuat kami bertiga menolehkan kepala menuju asal suara.
Gibran S
Ah aku nggak salah lihatkan?
Ya itu Gibran S sedang berdiri di ujung gang dengan tangan memegang kucing tak kalah bagusnya dari Gibran K.
"Maaf, istri saya memang sedang hamil dan kalian salah sangka kalau dia jalan sendirian untuk mencari klinik aborsi, dia sedang menunggu saya," balasnya dengan sikap tenang tapi tegas, kedua laki-laki tadi saling menatap dan pegangan laki-laki bertubuh besar di tanganku akhirnya terlepas.
Gibran S mendekatiku dan menyuruhku berdiri di belakangnya, aku menggigit bibir saking terpesonanya dengan cara lembut yang dia tunjukkan saat menolongku, nggak ada kekerasan dan baku hantam.
"Jadi mbak itu istri mas? Wah maaf ya mas," laki-laki kemayu itu sedikit malu dan meninggalkan aku serta Gibran S. Setelah mereka pergi Gibran S memutar tubuhnya dan menatapku panjang.
"Sangat kebetulan kita bisa bertemu di sini, saran saya kalau ada keperluan di sini jangan datang sendirian," ucapannya bagai penyejuk di kala sinar matahari kian menyengat kulitku, setelah mengatakan itu Gibran S meninggalkanku dan gilanya saking terpesonanya lidahku kelu mengucapkan terima kasih atas pertolongannya.
"Te … terima kasih ya kak," balasku malu sambil mengejarnya dengan langkah besar.
"Santai, saya kebetulan lewat dan melihat kamu berjalan sendirian dengan dua laki-laki asing dan saya jadi teringat ucapan G kalau kamu itu lugu dan gampang luluh dengan perhatian laki-laki, jadi ya anggap saja saya menolong mantan pacar teman saya," ujarnya masih dengan mimik muka tanpa ekspresi.
Astaga!
"G?"
"Yups panggilan saya untuk Gibran G yang juga mantan kamu," katanya menjelaskan siapa G itu.
"Dia bilang saya lugu? Wah wah wah..."
"Ya sudah lebih baik kamu pulang dan tinggalkan tempat ini sebelum orang-orang dari klinik aborsi lainnya datang," Gibran S seperti menunggu taksi dan dengan reflek aku menawarkan diri untuk mengantarnya.
"Kak Gibran mau ke mana? Aku bisa antar sekalian, anggap saja balas budi karena tadi sudah menolongku," tawarku tanpa malu, anggap saja usaha untuk bisa dekat dengannya. Anggap saja kawalan sampai aku keluar dari daerah ini.
"Yakin? Rumah saya jauh loh," balasnya.
"Nggak apa-apa asal masih di kota Jakarta," balasku pelan, Gibran S sepertinya setuju dan menjulurkan tangannya meminta kunci mobil dari tanganku.
"Maaf, saya nggak terbiasa duduk di samping wanita yang menyetir," ujarnya, aku langsung menyerahkan kunci mobil dan mengikuti keinginannya untuk menyetir mobilku.
"Tapi bisa nggak sebelum pulang kita beli martabak dulu untuk kakakku, dia sedang hamil dan ngidam makan martabak punyanya anak presiden," tanyaku pelan sambil memasang seatbelt, Gibran S mengangguk dan menyerahkan kucingnya untukku pegang, dari bangku belakang aku mendengar geraman Gibran K seakan nggak suka dengan kehadiran Gibran S.
"Kucing kamu ternyata masih galak sama saya," ujar Gibran S sambil melirik Gibran K dari kaca spion.
"Nggak tahu tuh, aku juga heran," balasku sambil mengangkat bahu.
****
Perjalanan dan juga antrian panjang yang kami dapat untuk membeli satu kotak martabak seakan nggak berarti karena kami berdua asyik berbincang tentang apapun, tentang kucing, petshop dan catshow yang barusan Gibran S ikuti tapi sayang kucingnya nggak menang.
"Akhirnya setelah menunggu dua jam, fiuhhhh awas ya anak ketiga kak Aisha rese seperti dua kakaknya, tak pitesssss!" kataku saat menerima bungkus martabak yang aku pesan tadi.
"Kamu pasti senang punya saudara dan juga keponakan, rumah ramai dan nggak akan kesepian," ujarnya melihatku kesusahan membuka pintu mobil.
"Wah jangan salah kak, punya saudara dan ponakan banyak bikin sakit kepala, apalagi kalau sedang ngidam seperti ini, permintaannya aneh-aneh. Pokoknya kalau aku hamil nanti nggak mau nyusahin suami dan saudara," balasku dengan teguh.
"Oh, padahal laki-laki itu suka diminta aneh-aneh saat lagi hamil loh," balasnya sambil melajukan mobil menuju rumah atau apartemennya.
"Kakak nggak tahu saja, ini sih mending masih martabak, dulu saat hamil keponakanku yang nomor dua, kak Aisha ribut menyuruh suaminya mencari telur katung (1) saat jarum jam menunjukkan angka 2 pagi, gila nggak tuh? Ya mana ada yang jual makanya Leana suka ileran hehehehe," aku tertawa membayangkan dulu kak Aisha benar-benar menguji kesabaran suaminya dengan permintaan yang nggak masuk akal.
"Siapa bilang kakak nggak tahu rasanya."
"Hah? Kakak memangnya sudah menikah?" tanyaku pelan.
"Bisa dibilang begitu."
Rasa kagumku langsung sirna dan juga merasakan patah hati untuk kedua kalinya, meski tak separah saat Gibran G memilih ayam dibandingkan diriku, ternyata Gibran S sudah punya istri dan mungkin juga sudah punya anak.
Aku melirik jarinya yang ada di atas setir mobil tapi cincin kawinnya tidak ada. Kami sama-sama diam sepanjang perjalanan menuju rumahnya, sepertinya aku harus mengubur harapan mempunyai pacar lagi.
"Sudah sampai," aku melihat rumah yang sepertinya tidak asing di pikiranku, rasanya aku pernah ke sini tapi untuk apa ya.
"Mau mampir?" tawarnya, aku langsung menggelengkan kepala dan segan kalau ternyata di dalam ada istri atau anaknya. Rasanya nggak pantas apalagi bertamu malam-malam begini.
"Nggak terima kasih atas tawarannya, hari semakin larut dan takut martabaknya dingin," tolakku dengan halus.
Tok tok tok
Aku kaget saat ada seseorang mengetuk jendela dari samping, aku nggak melihat dengan jelas siapa yang mengetuk karena kondisi sangat gelap, aku membuka jendela dan betapa kagetnya saat aku melihat wajah Gibran G sedang tersenyum manis kepadaku, ya memang manis dan juga menyebalkan.
"Wah lagi-lagi kita bertemu untuk ketiga kalinya, sepertinya kita memang dijodohkan untuk balikan," ujarnya dengan nada penuh percaya diri.
"Minggir!" aku menaikkan jendela dan tidak lupa mengunci pintu mobil, aku menatap Gibran S yang sedang bersiap untk turun.
"Ini rumah kakak atau dia?" tanyaku penasaran.
"Rumah saya dan juga dia, G itu adik ipar saya. Ayo mampir dulu," mulutku ternganga mendengar info yang barusan Gibran S bilang, ipar? Jangan bilang Gibran S ini suaminya kak Winda, kakak pertama Gibran G.
"Ng ... nggak usah," tolakku.
"Ya sudah," Gibran S turun dan saat akan menutup pintu Gibran G tanpa malu langsung masuk dan duduk tanpa seizinku.
"Nggak baik anak gadis jalan sendirian, kakak akan antar kamu pulang," bahkan mulutku belum sempat menolak niatnya, Gibran G sudah langsung mengemudikan mobil.
"Berhenti! Gue nggak mau pulang sama elo!" ujarku memintanya untuk menghentikan mobil.
"Nggak mau! Gibran kuadrat bisa antar kamu kenapa kakak nggak bisa? Kitakan mantan yang dipertemukan Tuhan untuk baikan, anggap saja ini cara kita untuk pendekatan lagi. Siapa tahu memori indah selama kita pacaran dulu bisa terulang lagi," balasnya dengan wajah tanpa dosa.
"g****k!"
"Stttsss entar kakak cium nih kalau ucapin kata-k********r, nggak baik anak gadis ngomong kotor," aku kehilangan kata-kata untuk membalas ucapannya.
"Talk to my hand!"
"Mana tangannya?" Gibran G mengambil tangan kananku dan menariknya agar mendekatinya, "miss you so much," setelah itu Gibran G menggenggam tanganku dengan erat, walau sekeras apapun aku berusaha melepaskannya tapi tenaganya lebih besar dibandingkan tenagaku.
"Jangan pernah jatuh cinta dengan Gibran Kuadrat, kamu hanya boleh jatuh cinta dengan kakak, paham!" katanya dengan tegas, semua sikapnya yang seenak udel berganti sikap posesif tapi bagiku semua ini sudah terlambat, aku memang nggak mungkin jatuh cinta dengan suami orang tapi aku juga nggak mungkin jatuh cinta lagi dengan dia.
"Fu*k you!" balasku sambil menunjukkan jari tengah tangan kiriku kepadanya.
"Nantang ya, oke fine!" mobil tiba-tiba berhenti di tepi jalan dan dengan cepat Gibran G menarik tubuhku dan mulai mencium mulutku, bola mataku membesar dan saat aku ingin melepaskan ciumannya tangan kekarnya semakin menahan tubuhku, aku terkunci dalam dekapannya. Ciuman ini sangat panjang dan membuat telingaku rasanya kepanasan, oke mungkin berjalannya waktu ciuman ini sedikit aku nikmati, hanya sedikit ya anggap saja seujung kuku Leana.
Tok tok tok
"Ckckckckc anak muda jaman sekarang" suara bapak-bapak membuatku berusaha mendorong tubuh Gibran G supaya dia menghentikan ciumannya, aku melihat bapak-bapak berpakaian satpol PP sedang berkecak pinggang sambil menatap kami berdua seperti pasangan m***m.
"Kalian berdua harus ikut kami ke kantor, ckckckc saya ketuk berkali-kali diacuhkan, ternyata sedang asyik berbuat luncah (2)," balas bapak itu lagi.
Luncah?
Oh My God.
****
Footnote :
1. Telur Katung : Telur Penyu
2. Luncah : Perbuatan Mesum