Kesialan demi kesialan aku alami dalam satu hari dan semua ini gara-gara Gibran G, kesialan pertama disangka akan mengaborsi dan untungnya ada Gibran S yang menolongku bak pahlawan bertopeng, kesialan kedua mengetahui Gibran S sudah menikah dan langsung membuatku patah hati dan kesialan ketiga ditangkap satpol PP dan digiring ke kantor mereka layaknya pasangan m***m.
Amarahku kian mendidih melihat Gibran G duduk dengan santai di sampingku seperti tanpa masalah saat beberapa satpol PP memberi nasehat tentang rusaknya moral karena perilaku anak muda seperti kami.
"Kalian paham dengan apa yang saya sampaikan?" tanya bapak berkumis tebal yang sedang menatap kami secara bergantian.
"Paham pak," jawabku dengan suara pelan.
"Bagus," ujar bapak berkumis tebal sambil mengacungkan jempolnya kepadaku, "kalau kamu, paham?" tanyanya lagi kepada Gibran G.
"Nggak Pak," balasnya dengan enteng, bapak berkumis tebal langsung memelototkan matanya dan memelintir kumisnya, "bapak ngomong apa sih, udah jangan diperpanjang lebih baik bapak bawa saja kami ke KUA atau kalau bapak izinkan di sini juga boleh," sambungnya seakan kami benar-benar pasangan m***m yang harus segera dinikahkan.
What The Hell!
Oh My God!
Rasanya aku ingin mengambil pentungan kayu yang terselip di pinggang bapak berkumis tebal untuk menghajar Gibran G yang kelakuannya sangat absurd hari ini dan bodohnya aku sempat terpancing dan hampir masuk ke dalam permainannya andai bapak berkumis tebal ini tidak merazia kami.
"Awalnya saya mau kalian menikah agar tidak terulang lagi kejadian seperti ini tapi saya kasihan dengan adek Ocean kalau menikah dengan laki-laki seperti anda, jadi lebih baik kalian saya hukum kerja bakti supaya tidak terpikir untuk melakukan hal seperti ini lagi," ujar bapak yang terlihat galak tapi hatinya baik. Untung saja beliau tidak menyuruhku menikah dengan manusia rese seperti Gibran G ini.
"Yah kok kerja bakti sih pak, saya maunya nikah... N I K A H," ujarnya dengan ngeyel.
"T I D A K," balas bapak berkumis tebal, bagus pak kali ini saya dukung bapak. Huh lagian siapa yang mau nikah dengan dia, bisa-bisa di masa depan aku harus rela menghabiskan malam pertama di kandang ayam karena berebut siapa yang berhak tidur dengan Gibran G.
Mereka saling menatap panjang dan aku memilih mundur untuk menghubungi kak Aisha agar mau menjemputku dan keluar dari situasi yang membuat kepalaku pusing.
"Halo, kamu di mana sih dek kok belum pulang... kakak udah nggak sabar makan martabaknya"
"Ceritanya panjang, tapi intinya kakak bisa nggak jemput aku tapi Daddy atau Mommy jangan sampai tahu."
"Kamu kenapa? Kamu nggak kenapa- napakan?"
"Aku baik-baik saja, nanti aku jelaskan apa yang terjadi."
"Ya sudah."
Setelah selesai menghubungi dan meminta kak Aisha menjemputku, aku melihat Gibran G seperti sedang menghubungi seseorang. Bapak berkumis tebal sepertinya sudah pergi dan meninggalkan kami berdua di ruangan ini.
"Semua gara-gara elo dan sekarang gue harus berakhir di kantor satpol PP!" gerutuku dengan kesal sambil kembali duduk di kursi yang tadi aku duduki, Gibran G juga kembali duduk setelah menutup ponselnya. Bukannya merasa bersalah karena sudah membawaku berakhir di tempat ini, yang ada Gibran G bersikap acuh sambil mengeluarkan kotak rokok dari saku celananya lalu menghidupkan 2 batang sekaligus.
Dia bergantian menghisap dua batang tersebut seakan sudah terbiasa melakukan itu. Gila! Dia mau mati muda apa ngerokok seperti itu. Setahuku dulu Gibran G anti dengan yang namanya rokok tapi kenapa sekarang Gibran G seperti sudah biasa dengan benda itu, ah bodo! Lima tahun orang bisa berubah dan begitupun Gibran G.
"Santai, paling keputusan bapak tadi mengizinkan kita untuk ke KUA," balasnya acuh sambil menghidupkan satu batang rokok lagi, dihitung-hitung ini sudah batang ketiga yang dia hisap.
"Ogah! Kita itu cuma ciuman nggak sampai melakukan hal-hal tabu dan bisa nggak hentikan kebiasaan jelek lo, lo mau gue mati gara-gara menghirup asap!" ujarku dengan keras sambil merampas rokok yang ada di tangannya lalu mematikan rokok itu di atas asbak.
"Ih mana mungkin kakak biarkan kamu mati, sebelum kamu mati lebih baik kakak duluan yang mati... mati karena cinta sama kamu, e aaaaa so sweet kan," astaga naga, aku berusaha menahan emosiku agar bisa dikendalikan. Gibran G akan semakin membuatku kesal kalau meladeni semua candaannya, senyum seringaian kembali keluar dari mulutnya, "tadikan kakak sengaja berhenti di depan kantor satpol PP saat kita cium kamu tadi, ya agar kita ditangkap terus kakak ada alasan untuk nikah sama kamu, kayaknya kita langsung nikah saja ya nggak usah pacar-pacaran, trauma diputusi lagi kalau kamu ngambek berat, beuh bisa gila kayak dulu," sambungnya dengan mimik menyebalkan, melihat kondisinya sekarang aku nggak yakin dia dulu bisa sampai gila saat aku putuskan.
"Ishhhhh sejak kapan sih elo jadi b******k gini!" aku berniat menendang kakinya tapi Gibran G keburu menahan kedua pahaku dengan pahanya.
"Sejak kamu minta putus," balasnya pelan dan wajahnya langsung berubah menjadi lebih serius, nggak ada tawa dan cengiran yang membuatku naik darah.
"Telat!" balasku sambil membuang wajah.
"Nggak ada kata telat saat cinta masih ada di hati, saat jantung masih berdetak dan saat nyawa masih dikandung badan," balasnya dengan serius sambil menunjuk dadanya. Aku memandang matanya tanpa berkedip, bukan karena terharu mendengar ucapannya tapi karena menurutku sekarang semua kata-kata itu nggak ada gunanya, kenapa baru sekarang? Kenapa nggak dari dulu saat aku ingin melihat usahanya mengejarku, tapi bukannya mengejarku yang ada dia malah menghilang bak ditelan bumi.
"Ckckckckck, adegan romantis dan layak masuk dalam skenario FTV," suara kak Aisha membuat Gibran G menjauh dariku, wajah seriusnya tadi kembali berubah dengan senyum andalannya.
"Hai calon kakak ipar, long time no see..." sapanya tanpa malu kepada kak Aisha dan kak Biyan.
"Dokter hewan ya? Astaga kamu dokter hewan mantannya Ocean yang dulu sempat lamar jadi mamanya ayamkan? Ya ampun kok beda dari yang dulu, tambah keren dan huwot," kak Aisha memegang tangan Gibran G dengan wajah kekaguman, kak Biyan berusaha menjauhkan kak Aisha dan memelototkan matanya kepada Gibran G.
"Hehehe iya kak, aku Gibran yang dulu," balas Gibran G.
"Wah Ocean kok bisa bodoh sih mutusin kamu, eh kamu tahu nggak kalau dulu..." astaga bumil satu ini resenya kambuh dan dengan sigap aku langsung menutup mulut embernya dengan tanganku sambil menariknya menjauh dari Gibran G.
"Kakak jangan rese ya... aku suruh ke sini sebagai jaminan agar aku bisa pulang."
"Kakak sudah bicara dengan satpol PP dan mereka sudah ceritakan masalah yang kamu buat, ckckckck untung Daddy atau Mommy nggak tahu, bisa-bisa mereka botakin kepala kamu dan kirim ke Somalia untuk jadi orang sana," ancaman yang mungkin saja terjadi kalau Mommy sampai tahu perbuatan yang aku lakukan.
"Makanya aku minta tolong kakak untuk menyelesaikan ini, dan aku bersyukur kakak mau datang."
"Beuh, siapa juga yang menyelesaikan masalah kalian, kalian sudah dewasa dan selesaikan sendiri. Kakak ke sini sih mau jemput martabak... ya kan sayang, kamu udah nggak sabarkan makan martabak," kak Aisha mengelus perutnya dan meninggalkanku dengan wajah kaget, jadi kedatangannya bukan untuk membantuku keluar dari sini, tapi demi martabak!
"Arghhhhh semua menyebalkan!" gerutuku sambil mengacak rambut dengan kesal.
****
Kak Aisha dan kak Biyan benar-benar manusia paling tega semuka bumi, mereka meninggalkanku lagi bersama Gibran G yang sibuk merayuku meski aku acuhkan dengan mendiamkannya.
"Ayo pulang, kalian berdua sudah boleh pulang," aku mendengar suara yang sangat tidak asing dari arah pintu, aku menolehkan kepalaku dan melihat Gibran S sedang berdiri bersama bapak berkumis tebal.
"Serius kak, aku sudah boleh pulang?" tanyaku antusias.
"Iya, tapi dengan syarat."
"Syarat apa?" tanyaku antusias.
"Mulai besok kalian harus ikut bersama dengan bapak-bapak satpol PP untuk membersihkan kandang-kandang ayam, sapi dan sebagainya selama satu minggu," hah! ayam lagi dan bersama dia, oh God! Tapi hukuman ini lebih baik dibandingkan harus menikah dengannya, lebih baik aku terima dan sekalian memulai tugas yang Pak Haikal beri mumpung dia masih ada di Jepang dan baru kembali minggu depan, jadi aku sudah menyiapkan jawaban atas semua tugas-tugasnya.
"Gue nggak mau! Gue benci ayam! Lo tahukan..." penolakan Gibran G dengan wajah mengiba membuatku shock dan kaget, ah aku yakin ini hanya akting agar aku iba dan mau menerimanya, mana mungkin manusia pecinta ayam jadi benci dengan binatang kesukaannya.
"G"
"Gue nggak mau! titik!" Gibran G pergi dan mengacuhkan teriakan bapak berkumis tebal yang mengejarnya, kini hanya tinggal aku dan Gibran S berdua dan entah kenapa aku masih terpesona setiap dia menolongku.
"Terima kasih sudah mau menjadi penjamin kami berdua," balasku dengan sopan dan ramah.
"Santai, sudah kewajiban saya membantu adik ipar saya,"balasnya sambil mengingatkan kembali kalau Gibran G adalah adik iparnya, "maaf kalau tingkahnya sedikit aneh dan kekananan, semenjak putus dan kepergian kakaknya membuat Gibran berubah 180 %," ujarnya pelan.
Kepergian kakaknya? Jangan bilang kak Winda sudah meninggal?
"Kak Winda..."
"Saya nggak mau membahasnya dan sebaiknya kamu pulang sebelum terlalu larut," balasnya meninggalkanku yang terdiam menatap kepergiannya.
Jadi kak Winda sudah meninggal? Kenapa? Apa mungkin ini yang menyebabkan Gibran jadi gila dan aneh, aku tahu mereka sangat dekat sejak kecil dan Gibran menganggap kak Winda sebagai pengganti bunda yang sudah meninggal, gumamku dalam hati.
****