Another World

1039 Words
Dari kecil Mirabell suka dongeng. Dia suka mamanya saat membacakan dongeng. Gadis itu tidak akan bisa tidur sebelum Ana membacakan dongeng untuknya. Mirabell selalu membayangkan bahwa menjadi tokoh dalam dongeng itu menyenangkan. Terutama mereka yang berperan sebagai putri di negeri dongeng. Mirabell  memandang sekelilingnya. Rumah ini bukan rumah biasa yang pernah Mirabell lihat. “Apa kalian sedang syuting film sekarang? Apa ini kamera tersembunyi?” Gumam Mirabell dengan pandangan kosong. Felix dan Edmund sama sekali tak mengerti ucapan Mirabell. Bukan sekali dua kali dia takjub dengan orang yang datang ke sini. Namun biasanya mereka datang atas kemauan mereka sendiri. Tapi kali ini gadis ini tampak berbeda. Dia terlihat linglung. “Aku tidak tahu apa yang kamu maksud, Mirabell? Sebaiknya kamu makan ini, biar kamu lebih tenang.” Edmund menyodorkan sebuah panchake dengan siraman sirup mengkilat. Terlihat lezat dan menggiurkan. Perut Mirabell memang terasa lapar namun dia tidak ingin gegabah dengan memakan makanan pemberian Edmund. Mamanya selalu berpesan bahwa Mirabell tidak boleh makan sembarangan pemberian orang. Kalau nanti dia dihipnotis gimana. “Aku tidak lapar,” gumam Mirabell. Kruk! Perut Mirabell tidak bisa bohong karena belum sempat Edmund mengambil kembali piring di hadapannya, perut Mirabell berbunyi. Wajah Mirabell berubah merah karena malu. “Kau ini lucu sekali,” gumam Edmund, “Makanlah, ini enak sekali,” gumam Edmund. Mirabell memandang Panchake Edmund dengan tatapan curiga. “Aku tidak menaruh apa-apa,” ujar Edmund seolah bisa membaca raut wajah Mirabell. Gadis itu tampak  tidak yakin dengan panchake buatan Edmund. Meskipun terlihat enak dan menggiurkan namun Mirabell tidak akan menyentuhnya. Ingat pesan mama bahwa Mirabell tidak boleh makan sembarangan di tempat yang asing. "Baiklah kalau kamu tidak percaya," gumam Edmund.  Felix yang sedang melihat mereka diam-diam tersenyum. Makanan buatan Edmund selalu enak. Dia memang pandai memasak. Selain pandai merangkai bunga,  Edmund juga pandai meracik resep makanan.  Di rumah ini Edmund yang bertanggung jawab mengolah makanan. Edmund mengambil garpu dan pisau kecil lalu mengiris panchake tersebut. Lelaki itu mencolok panchake dengan garpu lalu memasukkan ke mulutnya. Mirabell tempat mengamati Edmund dengan hati - hati. Dari wajahnya Edmund seperti orang baik. Tapi di dunia ini yang kelihatan orang baik bisa menjadi psikopat atau pembunuh sadis. Mirabell tidak mau salah menilai. Bisa jadi Edmund  ini salah satu penjahat berwajah tampan. "Lihat,  aku baik-baik saja kan?" Gumam Edmund. Mirabell mulai yakin bahwa makanan ini aman untuk dimakan. “Makanlah Mirabell, dia tidak akan meracunimu,” gumam Felix. Sebenarnya Mirabell masih ragu, namun dia tidak bisa membiarkan dirinya kelaparan. Akhirnya dia mengalahkan egonya dan mengambil piring yang disodorkan Edmund. Edmund tampak senang melihat Mirabell mau memakan masakannya. Mirabell menggigit panchake dengan hati – hati lalu mengunyahnya pelan. “Enak?” Gumam Edmund. “Ini mah bukan enak lagi tapi enak banget,” gumam MIrabell dengan wajah berbinar. Edmund dan Felix tertawa. Gadis itu sepertinya mulai akrab dengan mereka berdua. Mirabell pun  memakan panchake buatan Edmund dengan lahap hingga habis tak tersisa. *** Felix menitipkan Mirabell kepada Edmund. Dia harus mengurus sesuatu. Ini kesempatan bagi Mirabell untuk kabur. Pasti ada jalan buat Mirabell untuk pulang. Tempat ini benar-benar aneh. Mereka menyebutnya Quantrum Tetranum. Apa ini sebuah kota? Atau daerah? Mirabell tidak tahu. Gadis itu duduk di pojok ruangan dengan mata nanar. Biasanya jam segini dia akan makan donat kesukaannya yang dia pesan dari layanan aplikasi pesan antar. Tapi di sini mana ada layanan seperti itu, sinyal saja susah sekali. “Ma,Pa, Kak Rion, aku kangen,” lirih Mirabell. Gadis itu merindukan keluarganya. Felix dan Edmund tidak memberikan Mirabell kesempatan untuk keluar dari rumah ini. Dia menjaga Mirabell layaknya tahanan. Mirabell semakin yakin bahwa dirinya sedang diculik sekarang. Edmund yang tengah merangkai bunga tampak meletakkan kepalanya di meja. Mirabell memandang Edmund. “Apa dia tidur?” Gumam Mirabell dengan suara pelan. DIa berjalan mendekati Edmund dengan langkah setengah berjinjit. Ini kesempatan bagi Mirabell untuk kabur. Langkah demi langkah membuat Mirabell gugup. Gadis itu benar-benar berharap bahwa Edmund sedang tidur sekarang. Mirabell mendekati Edmund, lalu tersenyum. Edmund benar-benar tertidur. “Yes,” teriak Mirabell girang dalam hati. Mirabell berjalan menuju arah keluar dengan langkah yang sangat pelan. Dia menarik napas lega ketika berhasil keluar dari sana. Rasanya menegangkan sekali. Gadis itu langsung berlari sekuat tenaga. Dia harus menjauh terlebih dahulu dari tempat ini. Mirabell berlari dengan napas terengah-engah. Dia berhenti sebentar untuk mengambil napas. Sepanjang dia berlari dia sadar bahwa tempat ini adalah hutan. Banyak pohon pinus berjajar dan udara di sini lumayan dingin. Mirabell mengusap lengannya. Mencoba menyalurkan hawa hangat agar dia tak kedinginan. Mirabell memandang sekitar dengan pandangan kosong. Hutan ini begitu luas. Dia tak tahu arah mana yang bisa dia tuju untuk pulang. Kakinya mulai lelah berlari dan terus berlari. Di tengah keputuasaannya dia tetap percaya pasti ada jalan. Mirabell yakin pasti akan ada kendaraan yang lewat dan membantunya untuk pulang. Matahari sudah bersiap untuk pulang. Mirabell benar-benar tak tahu arah dan sepertinya dia tersesat. Warna oranye mulai terlihat di ufuk barat menandakan bahwa sebentar lagi hari akan mulai gelap. Hutan dengan hijau pepohonan ini akan terlihat menyeramkan. “Tuhan tolong,” desis Mirabell dengan putus asa. Dia bahkan tidak menemukan rumah maupun seseorang yang lewat dari tadi. Mirabell bingung. Dia benar-benar tersesat sekarang, di tengah hutan dan tak ada sinyal. Mirabell rasanya ingin menangis. Dia tidak mungkin berteriak, bisa jadi Felix, Bernald, Edmund dan Reynald akan menemukannya. Hari mulai gelap, Mirabell masih berjalan tanpa tahu arah. Kakinya terdapat banyak goresan, dia tak sadar telah melewati banyak pohon berduri dan semak-semak. Tak ada harapan untuk keluar dari sini, meski Mirabell terus meyakinkan diri sendiri bahwa dia bisa keluar dari sini. Berkali-kali Mirabell berdoa dalam hati. Matahari telah turun di ufuk barat. Gawat! Malam segera datang namun Mirabell tak juga menemukan tempat tujuan. Kaki Mirabell lemas, perutnya lapar. Seharian dia hanya makan panchake buatan Edmund dan itu tak cukup  memberinya tenaga untuk terus berlari. Haruskah Mirabell menyerah sekarang? Mirabell duduk dan menyandarkan dirinya di bawah pohon, “Ma, Pa, Kak Rion aku takut,” gumam Mirabell. Dia tidak bisa mengirim pesan kepada keluarganya dia juga tidak bisa minta tolong siapapun. “Kamu sedang apa di sini?” Tepat di tengah keputusasaan Mirabell  sebuah suara mengagetkannya. Bulu kuduk gadis itu berdiri. Dia tak berani menoleh. Firasatnya mengatakan satu hal buruk. Tuhan, tolong, Mirabell tidak ingin berurusan dengan hantu sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD