Peluit terdengar di seluruh penjuru Quantrum Tetranum. Felix yang sedang membaca buku langsung mengambil senjatanya. Dia mengambil tombak dengan ujung berwarna biru. Lelaki itu berjalan membangun Bernald yang tengah tertidur.
"Bernald bangun, Blue Blood," Felix mengguncangkan tubuh Bernald yang langsung membuat lelaki itu tergagap. Dia masih setengah tidur.
Blue Blood fenomena bulan purnama yang terjadi tidak menentu di Quantrum Tetranum. Bukan bulan purnama biasa, namun bulan purnama yang mampu membangkitkan kekuatan magis dan jiwa-jiwa yang telah mati di Quantrum Tetranum. Malam ini akan jadi pertarungan besar.
"Hah? Kenapa bisa tiba-tiba Blue Blood?" Tidak ada yang tahu penyebab terjadinya Blue Blood. Setiap bulan ini datang para penjaga agak disibukkan mengunci pintu dengan mantra. Sementara Edmund, Felix, Reynald, Bernald dan Steve harus mati-matian bertarung demi keselamatan penduduk Quantrum Tetranum.
"Aku juga tidak tahu. Cepat bersiap," ujar Felix memakai pakaian pelapisnya. Bernald langsung berlari untuk mencuci muka kemudian bersiap seperti Felix.
"Dimana Edmund, Steve dan Reynald?" tanya Bernald menyadari mereka tidak ada di sini.
Biasanya jam segini mereka akan berkumpul. Kecuali Steve karena dia harus tinggal bersama Mirabell. Hanya Steve yang mempunyai Briven (Seseorang yang harus dijaga dalam bahasa penduduk Quantrum Tetranum) sementara Felix menolak untuk menjaga siapapun, Bernald belum cukup umur untuk menjadi penjaga tunggal. Sementara Reynald dan Edmund masih menunggu kedatangan Briven mereka. Kelimanya disebut Vriven dalam bahasa Penduduk Quantrum Tetranum. Vriven terdiri dari lima orang terpilih untuk melindungi Quantrum Tetranum. Mereka yang berjiwa mulia, tangguh, dan tidak dipenuhi emosi apapun. Felix terpilih karena dia seseorang yang tenang dan bijaksana. Sementara Edmund terpilih karena kelembutan hatinya. Steve terpilih karena dia tak punya dendam, dan Reynald meski dingin dan tak berperasaan dia terpilih karena sikapnya yang tangguh. Bernald terpilih karena orang tuanya. Mereka sengaja menjadikan Bernald Vriven karena anaknya ini terlalu manja, mereka berharap dengan menjadi Vriven Bernald akan lebih tahu bagaimana cara bertanggung jawab pada seseorang.
"Mereka sudah di luar. Aku mendengar peluit Reynald dan Edmund."
Suara peluit saling bersahutan. Bernald gemetar. Ini pertama kalinya Blue Blood datang dan dia belum pernah bertarung. Keahlian memanahnya saja masih meleset apalagi jika dia harus berhadapan dengan puluhan makhluk itu. Bernald belum mau mati sekarang.
"Kenapa kau diam saja, cepat berkemas," teriak Felix dengan buru-buru. Bernald masih tenggelam dalam pikirannya. Felix berjalan ke arah Bernald. Felix tahu Bernald belum siap. Namun hanya Vriven yang bisa melindungi Quantrum Tetranum dan mereka harus tetap berlima untuk membaca mantra.
"Bernald dengarkan aku. Plugon tidak menyeramkan. Anggap saja mereka boneka. Tebas mereka atau bidik dengan panah kepalanya. Hanya kau yang bisa membantu kami. Bernald, tolong," ujar Felix menyadarkan Bernald. Momen ini akan jadi pembuktian pertama Bernald bahwa dia bukan lelaki manja lagi. Dia mampu menaklukkan Plugon. Sudah lama sekali dia membayangkan akan pulang ke rumah dan memeluk orang tuanya dan membayangkan mereka bangga pada Bernald. Ini kesempatannya. Bernald akhirnya membulatkan tekad. Malam ini dia akan melindungi Quantrum Tetranum. Dia berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan memenangkan pertarungan ini.
***
Reynald tak berhenti mengumpat. Dia benci berhadapan dengan Plugon. Memang ini bukan pertama kalinya tapi tetap saja ini menyebalkan. Terlebih dia harus bertarung dengan belati yang jelas bukan keahliannya. Tapi lelaki itu tetap mahir dalam menggunakannya. Setiap Vriven memang harus menguasai berbagai senjata. Karena mereka disiapkan untuk menghadapi sesuatu yang tak terduga. Lebih dari dua puluh tebasan dan darah hijau berceceran di tanah.
"Sial kenapa ada banyak sekali," gumam Edmund. Ini Plugon terbanyak sepanjang Blue Blood.
"Jangan banyak bicara lebih baik kau tebas saja," gumam Reynald enggan bicara. Edmund menarik anak panahnya. Hanya tinggal beberapa anak panah tersisa. Namun Plugon yang muncul begitu banyak.
"Rey, awas!" karena lengah berbicara dengan Edmund Reynald lengah. Di belakangnya seseorang berdiri dengan wajah pucat, darah di sekujur tubuhnya, dan gigi hitam. Makhluk berwarna hijau itu hampir saja menggigit Reynald. Reynald masih sibuk menahan dua Plugon di depannya. Sementara Edmund dia tak bisa membantunya karena Reynald jauh dari jangkauannya.
Jleb!
Sebuah anak panah menancap di punggung plugon. Makhluk itu roboh dalam satu anak panah. Edmund menarik napas lega.
"Maaf terlambat," gumam Felix yang langsung bergabung dengan mereka. Bernald masih terdiam kaku karena tak percaya. Lelaki itu baru saja membunuh Plugon.
"Bernald, sadar! Jangan melamun!" teriak Edmund. Lamunan Bernald langsung buyar. Reynald menepuk pundak Bernald, "Makasih," ujar Reynald sambil menyunggingkan senyumnya. Felix dan Edmund juga memandang Bernald dengan tatapan yang sama. Sebuah tatapan bangga, akhirnya Bernald bisa terlepas dari trauma masa lalunya.
***
Plugon, makhluk itu berwarna hijau dengan mata hitam lekat dan rambut berantakan serta gigi hitam. Mereka adalah jiwa-jiwa yang dikutuk di Quantrum Tetranum. Mirabell berjalan mundur. Tangannya bergetar hebat. Makhluk di hadapannya ini terlihat seperti zombie.
"Jangan mendekat," teriak Mirabel mengambil spatula di hadapannya.
"Makan.... Makan... " Makhluk itu bergerak lambat menuju Mirabell. Air liur berwarna hijau meneter dari mulutnya.
"Tolong!" Mirabell berteriak berharap ada bantuan tapi harapannya pupus ketika melihat dua makhluk yang sama muncul dari balik pintu. Makhluk-makhluk itu terus bermunculan memblokir pintu keluar. Mirabell berlari ke arah Barami. Perempuan itu menggigil ketakutan.
"Ma, Pa, aku takut," gumam Mirabell putus asa. Mirabell menutup telinganya. Makhluk itu berjalan mendekati Mirabell. Tuhan, tolong bantu aku, batin Mirabell.
"Tolong!" desis Mirabell hampir tak terdengar.
Sret! DUAK!
Terdengar suara pintu dibobol. Tuhan bagaimana kalau makhluk itu muncul lebih banyak lagi. Meski mereka berjalan lambat tapi Mirabell benar-benar terjebak.
"Mirabell! Kau baik-baik saja?" sebuah suara muncul dari balik pintu. Tubuh Mirabell masih bergetar hebat.
"Mirabell, lihat aku! Apa kau baik-baik saja?" tanya Steve sambil mendorong Makhluk-makhluk itu keluar.
Mirabell mengangkat wajahnya perlahan. Pandangannya kabur karena air mata yang menggenang di pelupuknya. "Tidak apa-apa aku di sini. Tutup matamu, Mirabell," perintah Steve.
Mirabell tidak punya tenaga untuk bertanya. Gadis itu menutup matanya. Dalam hitungan ketiga setelah Mirabell menutup matanya Steve mengayunkan pedangnya. Satu per satu Plugon di hadapannya dia tebas.
Duak! Satu pukulan berhasil mengenai wajah Steve. Lelaki itu terus melancarkan serangannya. Satu per satu Plugon rubuh. Mirabell menutup telinganya erat-erat. Dia tidak berani membuka matanya.
Setelah beberapa saat seseorang menyentuh tangannya membuat gadis itu refleks langsung berteriak, "Jangan sentuh aku!" teriaknya histeris. Gadis itu memberontak.
"Hey, ini aku," ujar Steve menahan tangan Mirabell.
"Jangan sentuh aku! Lepaskan!" Mirabell masih saja histeris. Gadis itu seperti menangkap sesuatu di belakang Steve. Dengan cepat Steve menarik Mirabell dalam pelukannya. Dia tidak ingin Mirabell melihat darah berceceran di belakangnya, Steve memeluk tubuh Mirabell erat. Meski gadis itu berteriak histeris dan memukul badannya "Tenang Mirabell, aku di sini. Maaf karena meninggalkanmu malam ini," ujar Steve mengelus rambutnya lembut.