4. Saya mau tubuh kamu

1296 Words
Raven tak memungkiri jika sentuhan wanita semalam terus membekas dalam ingatannya. Sepanjang pagi ini, ia tak bisa fokus bekerja. Padahal ini hari pertamanya menjabat sebagai CEO di perusahaan papanya dan banyak pekerjaan yang harus ia tangani. Namun, pikirannya terus teralihkan dan bayangan wanita itu terus menariknya larut dalam lamunan, dan kehilangan minat untuk meneruskan pekerjaannya. Raven meletakkan berkas yang sedang ia pelajari, ke atas meja dengan kasar. Ia tak bisa bekerja dengan pikiran seperti ini, lantas Raven pun mengambil gagang telepon dan menghubungi sekretaris papanya, yang kini juga merangkap jadi sekretarisnya untuk sementara waktu sampai ia mendapatkan sekretaris yang baru. "Halo, apa pegawai itu sudah datang?" tanya Raven, to the point. Sebelumnya Raven sudah menanyakan hal tersebut ke sekretarisnya saat tiba di kantor tadi pagi. Namun, pegawai yang ia maksud belum datang. Lalu sekarang, saat sekretarisnya memberikan jawaban kalau pegawai itu sudah tiba di kantor, sontak Raven bergegas bangkit dari tempat duduknya. "Antar saya ke sana!" perintahnya, lalu menutup sambungan telepon begitu saja. Ketika keluar dari ruangan, Raven sudah disambut Rani, sekretarisnya. Wanita itu memberikan tablet kepada Raven, di mana layar tablet menampilkan resume seorang pegawai wanita di perusahaannya dan wanita itu, ternyata wanita yang semalam tidur dengannya. "Maaf Pak, kalau boleh tahu, ada kepentingan apa ya, Pak Raven mencari Nayla?" tanya Rani, berusaha mengejar langkah Raven yang terburu-buru. "Bukan urusan kamu!" tukas Raven, enggan dicampuri urusannya. Ia tidak suka kelancangan sekretarisnya itu. "Antarkan saja saya untuk menemuinya!" Rani mengangguk patuh, ekspresinya tampak menahan sesuatu. Namun, demi keprofesionalan, ia tetap mengantarkan Raven menuju ruangan kerja Nayla. Namun, sesampainya di ruangan itu, keduanya justru disuguhkan dengan keributan yang sedang terjadi. Raven yang melihat wanita yang ia cari-cari sedang dalam ancaman, entah mengapa ia refleks menghentikan tangan sadis yang berniat menggampar pipi Nayla. Tentu saja aksinya mengejutkan semua orang, terutama orang yang ia coba lindungi. "Kamu!" Nayla terlihat kaget saat melihat Raven muncul. "Pak Raven!" Begitupun dengan Laura yang berubah ketakutan melihat bos barunya dengan kasar menghempas tangannya. "Bukankah kalian di gaji untuk bekerja, bukannya malah membuat keributan!" Ucapan bariton Raven membuat semua orang tarik nafas, emosinya bisa dirasakan setiap orang yang ada di ruangan itu. "Kamu! Ikut saya!" Raven menunjuk Nayla. "Dan kamu!" Raven beralih pada sekretarisnya. "Bawa dia ke bagian HRD, turunkan jabatannya, kalau dia nggak mau, pecat saja!" Laura yang mendengar vonis mengerikan untuknya dari Raven, tentu saja sangat terkejut. Ia pun protes dan mencoba meminta belas kasihan. "Pak Raven, tolong jangan turunkan jabatan saya." Laura meraih tangan Raven, berharap bisa meminta belas kasihan dari bos barunya itu. "Ini semua bukan salah saya, tapi ini semua salah dia!" Laura melimpahkan semua kesalahannya pada Nayla. "Saya nggak berbuat salah, justru saya di sini membantu memberi pelajaran pada karyawan yang nggak becus bekerja—" "Diam!" bentak Raven, membuat Laura seketika membisu. Raven menatap dingin Laura, sorot matanya penuh intimidasi. Ia mendekat ke hadapan Laura, lalu berkata dengan nada penuh peringatan. "Saya tidak suka ada kekerasan di lingkungan kantor saya, apa pun alasannya! Apalagi jika dilakukan oleh orang yang tidak punya wewenang untuk melakukannya!" Laura tertunduk takut, meski hatinya gondok setengah mati pada Nayla. Namun, di hadapan Raven ia seperti kutu yang sedang ditindas. "Maafkan saya Pak, saya janji tidak akan mengulanginya lagi. Tapi saya mohon, jangan turunkan jabatan saya." Raven spontan menepis tangan Laura yang berusaha meraih tangannya. "Urus dia!" perintah Raven pada sekretarisnya. "Dan jangan biarkan dia muncul lagi di depanku!" Tamat sudah riwayat Laura. Jika sebelumnya Raven masih memberinya sedikit belas kasihan dengan menurunkan jabatannya, sekarang justru Raven memecat Laura dengan tidak hormat. "Pak Raven, jangan pecat saya!" Laura terus memohon, tapi Raven tak mengindahkannya. Ia menugaskan Rani untuk segera membawa Laura pergi dari hadapannya. "Apa kamu juga mau bernasib sama seperti dia?" ucap Raven, menarik atensi Nayla yang sedang memandangi kepergian Laura dari ruangan itu. "Ya?" Nayla dengan wajah lugunya, menatap Raven. "Ikut saya!" ucap Raven, kemudian berlalu meninggalkan ruangan itu. Butuh beberapa saat untuk Nayla mencerna perintah Raven, sampai ia sadar dan bergegas mengekori bosnya yang sudah lebih dulu menuju lift. Nayla tidak tahu ke mana bosnya akan membawanya, ia tidak berani bertanya karena tak mau nasibnya akan seperti Laura dan sepanjang di dalam lift, Nayla juga tidak berani buka suara ataupun menatap punggung bosnya. Ia hanya tertunduk memandangi sepatu milik laki-laki yang semalam menidurinya. Sungguh, dunia ini begitu sempit. Tidak pernah terpikirkan oleh Nayla, jika laki-laki yang tidak sengaja menidurinya semalam, ternyata bos barunya di kantor. Rasanya baru tadi pagi mereka sepakat untuk melupakan kejadian semalam dan kembali menjadi orang asing, tapi bisa-bisanya sekarang mereka malah dipertemukan kembali dalam situasi yang berbeda. "Ada perlu apa ya, kenapa Pak Raven membawa saya kemari?" tanya Nayla ketika tiba di ruang kerja Raven. Raven yang berjalan di depannya sontak berbalik, matanya yang tegas menatap lurus Nayla. Sorot matanya tak sedetikpun berpindah dari Nayla, seakan mengintimidasi. Nayla menelan ludah, gugup dan takut bercampur jadi satu saat Raven berjalan ke arahnya. "Pak Raven," cicit Nayla, ketika Raven terus melangkah ke depannya. Nayla refleks berjalan mundur, sampai kakinya membentur sofa di belakangnya. "Pak Raven mau apa?" Nayla ketakutan, panik. Tapi tubuhnya seakan berkhianat, menolak untuk kabur dari ruangan itu. "Pak Raven—" "Kamu harus bertanggung jawab!" Suara Raven bagaikan petir yang menyambar jantung Nayla. "Ya?" Nayla tidak mengerti apa maksud Raven. "Bertanggungjawab? Soal apa?" Raven melangkah maju, tak peduli jika jarak dengan Nayla terus terkikis. Bahkan sampai Nayla terjatuh ke atas sofa, Raven malah terus maju dan mengungkung tubuh Nayla di bawahnya. "Pak Raven, jangan macam-macam ya, atau saya akan teriak!" ancam Nayla, ketakutan. "Lakukan, jika kamu berani," tantang Raven. "Saya mau lihat, seberapa besar nyalimu melakukannya?" Nayla gelagapan, saat merasakan embusan napas Raven menerpa wajahnya. Jarak mereka hanya tinggal sejengkal, bahkan Nayla bisa melihat dengan jelas wajah tampan yang ada di atasnya. "Minggir! Saya benar-benar akan teriak, jika Anda berani macam-macam!" Nayla terus melontarkan ancaman, berharap Raven akan takut dan segera menyingkir dari atas tubuhnya. Namun, Raven sama sekali tidak gentar mendengar ancaman Nayla. Malah ia tersenyum mengejek. "Apa kamu pikir, dengan kamu berteriak, orang-orang akan datang menyelamatkan kamu? Kamu pikir, mereka akan lebih percaya kamu atau saya?" "Apa maksud Anda?" Nayla tidak mengerti, sebenarnya apa maunya laki-laki ini! "Coba kamu pikir, jika kamu berteriak dan orang-orang datang melihat posisi kita. Apa mereka akan percaya dengan ucapan kamu, atau saya? Jika saya bilang sama mereka, kalau kamu yang menggoda saya dan kamu mengatakan saya yang bersikap tidak senonoh sama kamu, mana yang akan lebih mereka percaya?" Nayla menelan ludah, sadar jika posisinya sekarang tidak menguntungkan. Tentu saja orang-orang di kantor ini akan lebih percaya sama ucapan bosnya, bukan ucapan karyawan rendahan macam dirinya. Entahlah, takdir macam apa yang sedang menanti Nayla, sampai ia harus dipertemukan kembali dengan laki-laki ini! "Apa mau Anda sebenarnya?" Nayla memberanikan diri menatap bosnya, meski sekujur tubuhnya seakan terbakar saat mata mereka saling beradu. "Bukankah tadi pagi kita sudah sepakat untuk melupakan kejadian semalam. Lalu, kenapa Anda masih ingin meminta pertanggung jawaban dari saya? Bukankah seharusnya saya yang menuntut tanggung jawab pada Anda? Bagaimanapun di sini saya yang sangat dirugikan!" Raven tersenyum miring, tak menyangka jika wanita di bawah kungkungannya yang ia anggap seperti kucing kecil, ternyata bisa bersikap seperti harimau betina! Sangat menarik, membuat Raven kian menginginkannya. "Saya berubah pikiran," kata Raven dengan entengnya. "Apa?" Nayla tidak habis pikir, bisa-bisanya Raven bilang seperti itu. "Nyatanya saya tidak bisa melupakan kejadian semalam," terang Raven, jujur. "Saya terus terbayang kejadian semalam dan itu menganggu konsentrasi saya, sampai saya nggak bisa fokus bekerja dan itu semua karena kamu. Jadi kamu harus bertanggung jawab." "Bertanggungjawab? Tanggung jawab yang seperti apa?" Perasaan Nayla mulai tidak enak. "Saya tidak punya uang, jika itu yang Anda mau." Raven menggeleng. "Saya nggak butuh uang kamu, uang saya sudah banyak." "Lalu?" sergah Nayla, mulai kesal. "Kamu," jawab Raven. "Apa?" Nayla mendelik. "Saya mau tubuh kamu!" Raven dengan gamblang mengatakannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD