3. Wanita menarik

1263 Words
Nayla meremas kedua tangannya, berharap bisa mengurangi rasa gugup dan ketakutan yang bercampur jadi satu. Tubuhnya serasa menggigil, meskipun udara di dalam mobil cukup hangat. Rasa dingin yang ia rasakan bukan berasal dari suhu udara, melainkan dari tatapan tajam Raven yang sesekali mengarah padanya melalui kaca spion. Sejak mobil ini melaju meninggalkan halte busway, suasana terasa berat, seolah ada sesuatu yang tak terucapkan tetapi mendominasi ruang sempit di antara mereka. "Apa kau sudah ingat semuanya sekarang?" Suara bariton Raven memecah keheningan. Nada bicaranya datar, tapi ada sesuatu di dalamnya yang membuat Nayla merasa seperti sedang diinterogasi. Nayla mengerjap, tangannya yang berada di pangkuan menggenggam erat tali tasnya. Ia berusaha menenangkan diri, paham maksud dari ucapan laki-laki asing yang semalam menghabiskan malam panjang bersamanya. Nayla menarik napas dalam-dalam, sebelum menjawab, "Iya, aku ingat." "Jadi," ucap Raven, dalam dan penuh kontrol, "kau benar-benar tidak punya komentar tentang apa yang terjadi semalam?" Nayla menggeleng, mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Nggak ada yang perlu aku komentari. Aku tahu apa yang terjadi semalam, dan aku tidak akan menuntut apa-apa darimu. Itu bukan kesalahanmu.” Raven mendecakkan lidah, senyumnya miring, nyaris seperti mengejek. "Salahmu? Kau menyebutnya begitu, ya? Menarik sekali." Nada bicaranya membuat Nayla menggigit bibir, berusaha menahan gejolak emosinya. "Aku tidak tahu apa yang kau harapkan dariku. Kau ingin aku menangis? Menjerit? Memintamu bertanggung jawab?" Ia menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Raven yang sekilas ia tangkap dari cermin. "Aku tidak seperti itu." Raven menepikan mobil ke pinggir jalan dengan gerakan tiba-tiba, membuat Nayla terhenyak ke depan. Ia menoleh cepat, terkejut dengan tindakannya. "Apa yang kau lakukan?" tanya Nayla dengan nada sedikit panik. Raven menatapnya lekat, satu tangan masih di setir, sementara tangan lainnya bersandar di kursi kemudi. Matanya yang tajam menelusuri wajah Nayla, seperti sedang mencoba mengurai lapisan-lapisan yang menyelubunginya. "Aku hanya mencoba untuk mengerti," kata Raven dengan nada rendah, hampir seperti bisikan. "Kau begitu tenang. Terlalu tenang malah. Wanita lain pasti akan membuat keributan. Tapi kau? Kau bahkan tidak terlihat marah." Raven dibuat heran dengan sikap Nayla, berbeda dari wanita kebanyakan. Nayla memalingkan wajahnya, merasa terintimidasi oleh sorot mata pria itu. "Karena aku tahu apa yang terjadi. Tidak ada gunanya membuat drama. Lagi pula, kau sudah cukup menjelaskan semalam. Aku yang memintamu. Aku tahu itu. Jadi tidak ada yang perlu dipermasalahkan, anggap saja kejadian semalam tidak pernah terjadi." Suaranya gemetar, meskipun ia berusaha keras terdengar tegar. Raven tertawa kecil, nadanya penuh misteri. "Kau tahu? Kau sangat menarik, Nayla. Baru kali ini aku menemukan seorang wanita seperti dirimu." Panggilan nama itu membuat Nayla menegang. "Apa maksudmu?" Dari mana laki-laki asing itu tahu namaku! Nayla menatap takut Raven, seakan tengah melihat hantu menyeramkan! Raven mengabaikan ekspresi tegang yang begitu kentara di wajah Nayla. Ia melanjutkan ucapannya, "Biasanya, wanita yang kutemui akan memanfaatkan situasi ini. Mereka akan mencoba memeras, menuntut sesuatu dariku. Tapi kau tidak melakukan itu. Bahkan sekarang, kau lebih sibuk menyalahkan dirimu sendiri dan menganggap kejadian semalam bukan apa-apa. Padahal .... " Ucapan Raven menggantung, ia menyandarkan punggungnya ke kursi, matanya masih menatap Nayla dengan intensitas yang membuatnya merasa kecil. "Kau baru saja kehilangan mahkotamu dan aku adalah orang pertama yang merenggutnya." "Aku bukan orang seperti itu," jawab Nayla pelan, meskipun ia tahu suaranya terdengar lemah. "Aku punya harga diri. Jadi, aku tak akan mengemis apa pun darimu." Raven tersenyum kecil, kali ini tanpa sinisme. "Harga diri, ya? Itu sesuatu yang langka untuk saat ini. Biasanya, wanita yang mendatangiku, mereka melupakan harga diri mereka hanya untuk mendapatkan keuntungan dariku. Tapi kau? Padahal kau punya alasan kuat untuk itu, tapi kau lebih memilih mempertahankan harga diri, ketimbang meminta pertanggungjawaban kepadaku." Nayla mengalihkan pandangan, tangannya meremas-remas ujung jaketnya. Ia berharap percakapan ini segera berakhir, tapi Raven sepertinya tidak ingin berhenti. "Tapi kau tahu," Raven melanjutkan, nada bicaranya berubah sedikit lebih tajam, "tidak berarti aku akan begitu saja melepaskanmu." Kata-kata itu membuat Nayla menoleh cepat. Matanya membelalak, tak percaya. "Apa maksudmu?" Raven menyeringai, seolah menikmati keterkejutan Nayla. "Kau pikir ini akan berakhir di sini? Bahwa kita hanya melupakan apa yang terjadi semalam dan melanjutkan hidup masing-masing? Maaf, Nayla, aku bukan pria seperti itu." "Kau! Aku tidak—” Nayla berhenti bicara, merasa tenggorokannya tercekat. Ia tidak tahu harus mengatakan apa. Pria ini begitu berbeda dari semua orang yang pernah ia temui. Dominan, penuh kendali, tapi juga misterius dan… mengintimidasi. Raven mengulurkan sesuatu ke arahnya. Sebuah kartu. Nayla menerimanya dengan ragu, matanya mengenali kartu tersebut. Itu kartu tanda pengenal miliknya, jadi karena kartu itu makanya laki-laki asing ini tahu namanya. "Kita akan bertemu lagi," kata Raven dengan nada dingin yang penuh keyakinan. "Aku akan memastikan itu, dan kau tak akan bisa kabur dariku." Apa maksudnya? Nayla tidak tahu apa mau laki-laki asing itu sebenarnya, tapi yang pasti perasaannya mengatakan sesuatu yang buruk akan terjadi. *** Nayla melangkah memasuki ruang kantor dengan napas terengah. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi—terlambat hampir dua jam dari waktu kerja normal. Sepatu hak rendahnya terdengar menggema di lantai keramik, tapi ia tak peduli. Yang penting ia sampai, meski kini pikirannya masih dihantui kejadian menjijikkan itu. Namun, suasana kantor yang biasanya penuh suara ketikan dan obrolan kecil mendadak terasa mencekam. Laura, rekan satu divisi yang selalu tampak berlebihan dalam segala hal, berdiri tegak di tengah ruangan dengan tangan bersedekap dan wajah menyiratkan amarah. "Nayla!" suara Laura melengking, membuat semua di ruangan itu menoleh. "Akhirnya datang juga, ya? Pura-pura lupa atau memang sengaja?" Nayla menghentikan langkahnya, mencoba tetap tenang meski jantungnya berdetak lebih cepat. "Gue tahu gue terlambat. Gue bakal jelasin nanti ke HR." “HR? Gue bukan cuma ngomongin keterlambatan lo, Nayla!" Laura mendekat, matanya menyorot tajam seperti elang yang siap menerkam. "Gue ngomongin ini!" Dia mengangkat ponselnya, menunjukkan layar ponsel berisikan room chat mereka. Di mana Laura terus menagih uang yang semalam ia berikan pada Nayla. "Balikin duit gue!" "Nggak mau!" Dengan berani Nayla menjawab. "Itu sudah jadi hak gue, seharusnya nggak diminta lagi!" Laura menggeram! Ia melangkah lebih dekat ke hadapan Nayla dan mengintimidasi dengan tatapannya yang menusuk. "Balikin sekarang, atau lo lebih suka masuk penjara. Apalagi lo udah bikin pak Broto masuk rumah sakit!" Tuduhan itu membuat Nayla mendongak dengan cepat. Matanya bertemu pandang dengan Laura yang kini hanya berjarak beberapa langkah. "Apa?" Nayla tak gentar, tersenyum sarkasme. "Apa gue nggak salah dengar? Gue yang buat dia sakit? Jelas-jelas ini semua terjadi gara-gara lo yang jebak gue! Lo sengaja kan, lo sama pak Broto udah sekongkol dan rencanakan semuanya, kan!" "Jaga mulut lo, Nayla!" Laura menunjuk wajah Nayla dengan kasar. "Lo itu enggak tahu diri. Gue yang udah bantu lo, kasih kerjaan gampang ke lo dengan bayaran gede, tapi bisa-bisanya lo malah bikin pak Broto sampai masuk rumah sakit!" Nayla mencengkeram sisi meja, tangannya bergetar menahan emosi. Ia tahu jika ia tidak melawan sekarang, semuanya akan semakin buruk. "Bantu, kata lo? Lo itu yang menjual gue ke si tua bangka itu, Laura! Lo bilang itu bantu? Asal lo tahu, dia hampir ngelecehin gue! Masih untung gue bisa kabur dari ruangan itu, dan sekarang lo malah menyalahkan gue atas kondisi dia? Lo gila sih! Benar-benar gila! Nggak ada bedanya lo sama g***o!" Perdebatan itu semakin memanas. Suara-suara kecil karyawan lain terdengar samar, tapi tak ada satu pun yang berani mendekat. Laura semakin tersulut, wajahnya merah padam. "Beraninya lo bicara seperti itu, dasar—" Dengan gerakan cepat, Laura mengangkat tangannya, berniat memukul Nayla. Namun, sebelum tangannya sempat mengenai sasaran, seseorang mencekal pergelangannya dengan kuat. Laura terkejut, begitu pula Nayla. Mereka berdua menoleh bersamaan. Sosok tinggi dengan jas hitam berdiri di antara mereka. Raven. "Kamu?" Suara Nayla terdengar kecil, nyaris seperti bisikan. Matanya melebar, tak percaya melihat lelaki itu ada di sini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD