PART. 5 CEPAT TUA

1019 Words
Wira merah wajahnya. Tidak menyangka melihat Dina tanpa busana, hanya mengenakan pakaian dalam saja. Wira merasa bersalah karena tidak mengetuk pintu dulu. Wira lupa kalau ini bukan rumahnya, dan itu bukan kamarnya. Wira masuk kamar karena ingin mengambil dompet. Wira lupa membawa dompet. Untuk mengisi celengan di masjid. Wira sekarang pergi ke masjid dengan dibonceng pakai motor oleh Dika. Dika saudara kembar Dina. Sedang Difa membonceng ayah mereka. Masjid tidak jauh dari rumah. Jadi mereka naik motor saja. Tubuh mereka berempat sama besarnya. Tiba di masjid mereka jadi pusat perhatian orang satu kampung dengan Dina. "Pak Ustadz." Seorang warga yang anaknya murid Wira di TPA, mengulurkan tangan kepada Wira, seraya membungkukkan tubuhnya dalam. Wira juga membungkukkan tubuhnya sejajar dengan pria itu. Beberapa orang lagi mendekat. Mengulurkan tangan sama persis dengan bapak yang pertama tadi. Ini memang bukan untuk pertama kali Wira salat Jumat di sini. Walau biasanya ia salat Jumat di masjid kampungnya sendiri. "Bang Wira sangat dihormati." Dika berbisik kepada Wira. "Mereka orang tua murid-muridku. Sudah biasa seperti itu kalau bertemu." "Bang Wira masih mengajar di TPA?" "Masih." "Tidak mengajar di tempat lain?" "Tidak." "TPA kan sore. Kalau pagi Bang Wira ngapain?" "Ngurus sapi di kandang." "Hah. Ngurus sapi?" Dika terkejut mendengarnya. Dika menatap wajah Wira. Lalu menatap lengan Wira. Dika tidak yakin kalau Wira mengurus sapi. Kulit tubuh Wira tetap putih seperti dahulu. "Iya. Abba membangun kandang sapi di belakang kebun Bang Risman." "Aku boleh berkunjung ke sana?" "Tentu saja boleh." "Hari Minggu aku ke sana. Sebelum aku pulang ke Jakarta." "Iya. Tentu saja boleh." "Sudah berapa lama bikin kandang sapi?" "Sudah lima tahun." "Jadi Abbanya Abang tidak kerja di batubara lagi?" "Tidak. Kami sudah pindah rumah. Tidak tinggal di rumah nenek lagi. Sekarang pindah ke rumah di depan kebun Bang Risman." "Oh." Mereka berdua diam karena salat Jumat akan segera dimulai. Setelah salat Jumat mereka kembali ke rumah. Makan siang sudah disiapkan di atas meja makan. Wira menuju kamar. Wira mengetuk pintu kamar. Wira berhati-hati agar tidak nyelonong lagi. Dina membuka pintu kamar. "Assalamualaikum." "Wa'alaikum salam." "Permisi aku mau ganti baju." "Oh silakan. Aku mau keluar." "Silakan." Wira masuk ke dalam kamar, Dina keluar kamar. Obrolan mereka hanya sekadar saja. Mereka seperti orang yang baru bertemu. Padahal dahulu hampir setiap hari bertemu. Karena Wira mengajari mengaji tiga beradik itu. Saat tiga bersaudara kuliah di Jakarta, mereka hampir tidak pernah bertemu lagi. Hanya orang tua mereka yang saling mengunjungi. Wira mengganti pakaian. Wira mengenakan celana kain warna hitam, dan hem lengan panjang warna hitam juga. Wira keluar kamar, menuju ruang makan tempat keluarga berkumpul untuk makan siang. "Ayo, Wira. Silakan duduk." "Terima kasih, Ayah." Prana tersenyum hatinya berbunga-bunga dipanggil ayah oleh Wira. Tidak ada keraguan dalam cara Wira memanggil dirinya ayah. Dika dan Difa berdehem menggoda Dina. "Apa sih!?" Mata Dinda melotot ke arah dua saudaranya. "Biar mata kamu melotot tetap saja sipit," ujar Dika. Difa tertawa. "Kalian ini ribut saja. Maaf ya, Wira." Nana kesal pada ketiga anaknya. "Tidak apa, Ibu. Di rumah juga begitu." Wira membayangkan bagaimana ributnya trio kepeleset kata kalau berkumpul. "Zia, Via, dan Sifa. Mereka bertiga kompak sekali. Seperti tiga sahabat." "Iya." "Ayo silakan makan. Sengaja bikin ikan bakar, lalapan, dan sayur keladi. Juga mandai. Di Jakarta tidak ada sayur yang seperti ini." Nana mempersilakan Wira mengambil menu makanan. "Bang Wira sekarang mengurus kandang sapi. Aku mau ikut ke kandang sapi hari minggu nanti. Kamu mau ikut Difa?" "Kandang sapinya di mana?" "Di belakang rumah. Tepatnya di belakang kebun Bang Risman." "Siapa yang punya kandang sapinya?" Tanya Prana. "Abba." "Jadi karena itu Abba kamu berhenti bekerja di kantor batubara?" Tanya Prana. "Abba tidak ingin pergi terlalu jauh dari rumah lagi. Abba ingin menikmati hidup. Jadi Abba memutuskan untuk membuat kandang sapi. Ini usaha Abba sendiri tidak kerjasama dengan Paman Raka." Wira menjelaskan dengan suaranya yang lembut. "Lalu usaha yang kerjasama dengan pamanmu bagaimana?" Prana bertanya lagi. Prana tahu kalau kerjasama El dan Raka sudah membangun usaha yang cukup beragam. Bukan hanya kandang sapi. Tapi beberapa toko juga. "Berjalan dengan baik. Kandang sapi Abba satu saja. Kata Abba agar tidak menjadi pengangguran." Wira menceritakan apa yang dikatakan Abba nya kepada mertuanya. "Abba kamu banyak sekali memiliki usaha. Walaupun disebut orang pengangguran, tapi pengangguran yang berpenghasilan." "Alhamdulillah." "Usia Abba Bang Wira berapa?" Tanya Difa. "Hampir 65 tahun." "Lebih tua sedikit dari Ayah. Ayah 58 tahun. Tapi Ayah kelihatan lebih tua dari Abba nya Bang Wira." Difa tersenyum menggoda ke arah ayahnya. "Itu karena Ayah pemarah." Nana menanggapi ucapan putranya. "Itu zaman dulu, Sayang. Sebelum kita punya anak." "Abba Bang Wira pemarah tidak?" Dika bertanya tentang El. "Abba tidak pernah marah." "Pantesan saja awet muda. Tuh, dengar Dina. Orang pemarah itu cepat tua. Apalagi kalau perempuan. Sudah pemarah, judes, jutek! Hiy seram!" Dika meledek Dina. "Nanti mungkin kelihatannya lebih tua Dina daripada Bang Wira." Difa ikut menggoda Dina. "Ayah! Lihat mereka!" Dina merajuk pada ayahnya. "Sudah nikah masih manja." Dika tertawa. "Maaf ya, Wira. Beginilah kalau ngumpul." Nana merasa tidak enak terhadap Wira. "Tidak apa, Bu." Wira sangat mengerti hal seperti ini. Karena sejak kecil perselisihan kecil seperti ini kerap terjadi di meja makan. Raka, pamannya senang sekali menggoda Zia. Bahkan sampai sekarang setelah Zia menikah dan memiliki dua anak yang beranjak remaja. Pamannya masih saja suka menggoda Zia. Zia memang masih tetap manja. Bahkan kedua anaknya kalah manja dari Amma nya. Anak-anak Zia sangat mengerti seperti apa amma mereka. Mereka paham Abba mereka sangat mencintai amma mereka. Setelah makan siang mereka bersiap pergi ke hotel untuk acara resepsi. Wira dan Dina masuk kamar berdua. Pakaian yang akan dibawa sudah di persiapkan. "Kita harus bicara tentang pernikahan ini." Dina memulai pembicaraan. "Iya. Aku mengerti. Sebaiknya kita bicarakan nanti setelah acara resepsi." Ponsel Wira berbunyi. Wira menatap ponselnya. "Assalamualaikum, Sayang." Via yang menelpon. "Wa'alaikum salam. Abang saduh pegri ke hotel, lebum?" Suara Via terdengar di seberang sana. "Belum, Sayang. Ini baru siap ingin berangkat." "Oh. Kita juga mau bengkarat. Ya saduh, assalamualaikum." "Wa'alaikum salam.' Wira tersenyum. "Siapa?" Dina tidak bisa menahan rasa ingin tahu. "Oh. Via." "Oh." Mereka saling diam. Dina yang biasanya selalu suka bicara, kali ini hanya diam saja. Dina seperti kehilangan suaranya. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD