Mereka sekeluarga berangkat ke hotel tempat acara akan dilakukan. Difa, Dika, Wira, dan Dina, satu mobil. Keluarga yang lain di mobil lainnya. Dalam perjalanan hanya Difa dan Dika yang bicara. Wira. menanggapi pertanyaan mereka saja. Wajah dan sikapnya tetap tanpa ekspresi. Dina yang berada di sampingnya merasa gemas sekali. Karena sikap Wira yang membuat perhatian Dina terfokus kepadanya, sehingga Dina melupakan masalahnya dengan Dirta.
Dina mengingat masa lalu mereka. Wira memang seperti ini orangnya. Terlihat santai, lebih banyak diam, tanpa bicara yang tidak perlu. Kesannya seperti pria yang menyimpan misteri di dalam dirinya. Dina sendiri tidak tahu misteri apa yang disimpan Wira.
'Heh. Kenapa aku harus terus memperhatikannya. Pernikahan kami hanya sandiwara. Tidak akan ada kelanjutannya. Waktu dua bulan adalah batas terlama kami menikah. Aku tidak akan betah memiliki suami seperti patung begini. Eh, patung apa kulkas sepuluh pintu ya. Huh! Empat tahun tidak bertemu, ternyata tidak ada perkembangan terhadap dirinya. Masih saja seperti ini. Apa hidupnya menyenangkan seperti ini? Apa ada kekecewaan di dalam dirinya? Kecewa karena apa. Hidupnya tidak mungkin kekurangan. Keluarganya keturunan orang berada dari zaman dahulu. Apakah memang asli pembawaannya seperti ini, atau karena pernah patah hati. Hey, Dina berhenti memikirkan dia. Dia hanya singgah sejenak di dalam kehidupanmu. Tidak akan menjadi siapa-siapa bagi dirimu!'
Dina berusaha berhenti memikirkan tentang kulkas sepuluh pintu di sampingnya. Si kulkas saja tidak ada memperhatikannya. Tidak mengajaknya bicara. Seakan duduk di jok belakang ini hanya sendirian saja. Ada rasa kesal di hati Dina. Wira terkesan mengabaikannya. Seperti tidak melihat ada dirinya di sebelahnya. Andai sudah kenal dekat, pasti tidak luput dari omelan Dina. Tapi saat ini mereka bukan orang yang dekat. Walaupun pernah jadi gurunya mengaji dahulu.
Mereka tiba di depan hotel. Difa, Dina, dan Wira keluar dari dalam mobil. Sedang Dika memarkir mobil di tempat parkir. Mereka menunggu Dika dan yang lainnya datang. Setelah berkumpul semua keluarga Prana, mereka menuju tempat yang sudah dipersiapkan. Wira tidak bicara apa-apa. Langkahnya mengikuti langkah semua orang. Dina kadang mendongakkan kepala, untuk melihat wajah Wira yang lebih tinggi darinya. Wira tingginya sama dengan ayahnya. Kulit ayahnya agak hitam sekarang, sementara kulit Wira tetap putih. Seakan tidak pernah kena sinar matahari.
Mereka sampai di tempat yang dituju.
"Kalian istirahat dulu sebentar. Nanti akan Ibu bangunkan kalau sudah tiba waktunya. Masih ada waktu sebentar untuk beristirahat."
"Terima kasih, Ibu."
Nana ke luar dari pintu kamar. Meninggalkan Wira dan Dina berdua dalam kamar. Wira duduk di sofa. Dina duduk di tepi ranjang.
"Silakan kalau kamu ingin beristirahat. Saya beristirahat di sini saja."
Wira membaringkan tubuhnya di atas sofa. Matanya terpejam. Wajahnya terlihat tenang. Tidak bisa tebak apa yang sedang dipikirkan. Dina menganggap Wira seperti tidak merasa penting pernikahan ini. Tidak ada ekspresi atau ucapan apapun yang menunjukkan kalau Wira menganggap penting acara resepsi pernikahan mereka. Dina sungguh gemas jadinya. Kenapa mendapatkan mempelai pengganti yang dingin seperti Wira.
Dengan perasaan kesal, Dina berbaring di atas ranjang. Berusaha istirahat dan memejamkan mata. Tidak ingin berpikir macam-macam. Berusaha untuk siap menghadapi pertanyaan banyak orang. Kenapa yang menikah dan menjadi suaminya bukan Dirta. Sedang di undangan yang tertulis Suedirta Mahaputra. Pria yang menjadi mempelainya justru Arsen El-Fauzi Wiratama Ramadhan. Seorang guru di TPA. Dina berpikir berapa penghasilan menjadi guru TPA. Dina yakin gaji Wira tidak lebih besar dari penghasilannya. Mungkin hanya cukup untuk makan sehari-hari saja.
'Apakah dia minta bantuan kepada orang tuanya, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Penghasilan sebagai guru, aku yakin tidak besar. Penghasilanku pasti jauh lebih tinggi dari dirinya. Heh! Kenapa aku harus memikirkan itu. Tidak usah terlalu jauh berpikir. Pernikahan ini terjadi karena dalam keadaan terpaksa. Andai bisa memilih, aku tidak ingin memilih menikah dengan dia. Hidup dengan pria yang dingin, tidak akan ada warnanya. Pasti warnanya putih seperti salju saja.'
Tanpa sadar Dina terus memikirkan tentang Wira. Dina melirik Wira yang berbaring dengan kedua tangan di atas d**a. Dari samping terlihat hidungnya yang mancung. Bulu matanya yang lentik. Pipinya yang putih. Dina memperhatikan jemari Wira yang terlihat putih bersih dan bentuknya panjang. Kukunya terpotong dengan rapi. Cincin kawin mereka terlihat di jarinya. Jelas kalau Wira seorang pria yang menyukai kebersihan. Bibirnya juga merah, karena tidak pernah merokok.
'Ya Allah. Untuk apa aku memperhatikan dia. Dia hanya mempelai pengganti yang akan menjadi suami sementara saja.'
Dina berusaha tidur. Suara ponsel mengganggu pendengarannya. Ternyata ponsel Wira yang berbunyi. Wira bangun dari berbaring.
"Assalamualaikum, Sayang." Suara lembut Wira menyapa.
"Abang dinama?"
"Sudah di hotel. Zia di mana, Sayang?"
"Di hotel juga. Abang sedang apa serakang?"
"Abang ingin tidur siang sebentar."
"Oh. Tidur bareng Dina ya?"
Pertanyaan Zia membuat Wira menatap Dina. Tatapan mereka bertemu, karena Dina sedang memperhatikan Wira.
"Tidak."
"Kepana tidak?"
"Ya tidak apa-apa."
"Saduh cium Dina lebum?"
"Tidak."
"Lebum cium sama selaki?"
"Belum. Zia dengan siapa di situ?"
"Aa Iman, Via, kedua anak Zia."
"Oh. Abang istirahat dulu ya."
"Iya deh. Assalamualaikum.".""Wa'alaikum salam."
Wira meletakkan lagi ponsel di atas meja.
"Siapa?"
Wira terkejut dengan pertanyaan Dina.
"Zia." Wira menjawab pendek saja. Jawaban yang membuat Dina menjadi gemas.
Wira kembali berbaring. Dina juga berbaring lagi.
'Apa dia tidak punya tenaga untuk menjawab dengan lebih panjang. Seharusnya menjawab sambil menjelaskan. Bukan ... hah! Terserah dia lah! Lebih baik aku tidur!'
Dina memejamkan mata. Kali ini terdengar suara ponsel lagi. Itu suara ponsel yang berasal dari dalam tasnya. Dina mengambil tas, lalu mengambil ponselnya dari dalam tas. Dina mengernyitkan kening. Nomor yang menelpon tidak ia kenal. Ponsel terus berbunyi. Rasa penasaran Dina mendorong untuk menerima panggilan telepon itu.
"Halo."
"Dina. Aku ingin ...."
"Aku tidak peduli dengan keinginanmu. Jangan hubungi aku lagi. Aku sudah menjadi istri seseorang. Tidak pantas lagi bagi kamu untuk menggangguku. Selamat siang!"
Dina langsung memblokir nomor itu. Dalam hati Dina berjanji, tidak akan menerima panggilan telepon dari nomer yang tidak ada kontak di ponselnya.
Dina menatap Wira. Tidak ada pergerakan dari Wira.
'Huh. Punya perasaan tidak sih. Apa dia tidak kepo siapa yang menelpon aku. Atau memang sudah terbiasa seperti itu. Bukannya dia seorang guru, harus punya perhatian kepada muridnya. Dia terlihat dingin saja. Tadi menelpon dengan adiknya memanggil sayang. Artinya dia punya perhatian kepada adiknya. Tapi kenapa tidak ada perhatian sedikitpun untukku. Apa aku ini tidak menarik bagi dia? Huh. Berhenti memikirkannya, lebih baik kamu tidur siang sekarang!'
*