Dina tidak bisa tidur. Dina merasa terganggu dengan adanya Wira di dalam satu kamar dengannya. Padahal Wira tidak melakukan apa-apa. Hanya diam seperti patung saja. Bahkan tidak bicara kalau tidak diajak bicara. Pria jenis kulkas sepuluh pintu. Seingat Dina di sekolah dulu, Wira cukup hangat dan sering bercanda dengan santrinya. Sikapnya di luar sekolah sangat berbeda. Dina tanpa sadar terus menatap ke arah Wira yang berbaring di atas sofa. Wira sangat berbeda dalam hal apapun juga dengan Dirta. Dirta orang yang ramah, pergaulannya luas, sukses melanjutkan usaha orang tua. Pria yang dulu setia, sangat memahami keinginan Dina. Tidak pernah memaksa Dina melakukan yang tidak ingin dilakukannya. Selalu mengerti kemauan Dina. Dina tidak pernah terpikir, Dirta bisa mengkhianatinya. Kenangan bersama Dirta memang indah, tapi sudah ia lupakan, karena pengkhianatan yang menyakitkan.
Wira merubah posisinya jadi miring menghadap ke arah Dina. Dirta berdarah Indonesia asli. Ayahnya orang Jawa, ibunya orang Banjar. Sangat berbeda dengan Wira. Wajahnya seperti aktor India. Padahal sudah keturunan yang kesekian dari nenek moyangnya. Keturunan yang tidak ada berubah wajahnya. Walau sudah tercampur dengan keturunan dari negara lain, tetap saja wajah mereka seperti nenek moyang mereka. Hanya berbeda pada bola mata saja. Ada yang bola matanya sipit karena menikah dengan orang Cina. Ada yang bola matanya biru karena menikah dengan orang bule. Selebihnya tetap sama.
Dina terkejut saat tiba-tiba mata Wira terbuka. Mata besar dengan bulu mata panjang dan lentik. Wira menatap wajah Dina, tapi tidak bicara apa-apa. Wira merubah posisinya kembali berbaring telentang. Dina tanpa sadar wajahnya cemberut. Dalam novel, jika terjadi seperti yang tadi, sang pria pasti akan bertanya, ada apa pada sang wanita. Tidak seperti Wira, sang patung, yang seperti kulkas sepuluh pintu. Dina merasa diabaikan oleh Wira.
'Apakah aku ini tidak menarik sama sekali di matanya. Apa dia tidak suka wanita dengan mata sipit. Atau merasa rendah diri karena aku bos dia hanya guru. Eh, guru tidak sekadar hanya, itu pekerjaan yang mulia. Atau dia punya pengalaman buruk dengan wanita bermata sipit seperti aku. Mungkin dia pernah jatuh cinta, tapi ditolak oleh seorang wanita. Wanita mana yang menolak cintanya? Dia nyaris sempurna sebagai lelaki, walau seperti patung dan kulkas sepuluh pintu. Heh, kenapa aku harus pusing memikirkan dia. Lupakan saja dia!'
Dina berbaring telentang. Matanya terpejam tapi tidak bisa tidur. Bukan Dirta yang ia pikirkan. Benaknya dipenuhi oleh Wira. Dina teringat kalau dulu ia jatuh cinta kepada Abi. Abi lebih hangat daripada Wira, walau pendiam juga.
'Aduh. Keluarga Ramadan kenapa menyesaki benakku sih! Jauh-jauh sana! Keluarga kalian memang semuanya tampan. Tapi aku benci dengan patung bak kulkas sepuluh pintu ini. Kenapa harus dia yang jadi mempelai pengganti. Apa tidak ada lagi pria lain selain dia. Huh! Aku sudah menikah dengan dia. Dia sudah jadi suamiku. Aku hanya harus menunggu dua bulan saja. Sabaaaar ....'
Dina mengusap dadanya. Berharap sabar menghadapi Wira.
Suara pintu diketuk. Suara ibunya memanggil. Wira langsung bangun dari berbaring. Mendahului Dina yang bangun dari berbaringnya. Wira membukakan pintu kamar. Ada Nana yang mengetuk pintu tadi.
"Wira. Kamu bersiap di kamar sebelah. Di sini Dina yang bersiap." Nana memberitahu Wira kalau bersiap di kamar sebelah. Tidak bersiap bersama-sama dengan Dina di kamar ini. Agar tidak terganggu persiapan mereka.
"Iya, Bu. Saya cuci muka dulu."
Wira melangkah ke kamar mandi, Nana masuk ke dalam kamar. Nana berdiri di depan putrinya.
"Kamu bisa tidur?" Tanya Nana.
"Tidak bisa." Kepala Dina menggeleng.
"Kenapa? Tidak mungkin Wira mengganggu kamu kan. Dia sangat pendiam, tidak mungkin dia menggoda kamu."
Nana merasa heran kenapa putrinya tidak bisa tidur. Seharusnya suasana tenang bisa membuatnya tertidur dengan nyaman.
"Ibu. Si Patung bak kulkas sepuluh pintu itu tidak menggangu aku. Tapi justru kediamannya yang mengganggu aku."
Dengan jujur Dina mengatakan alasannya kenapa tidak bisa tidur.
"Eh, kamu ini aneh! Orang diam dibilang mengganggu. Mengganggu apanya?" Tanya Nana bingung.
"Dia ...."
Wira sudah keluar dari pintu kamar mandi. Dina tidak melanjutkan ucapan untuk membicarakan Wira.
"Saya sudah siap, Bu." Wira tersenyum kepada Nana, tapi tidak menoleh kepada Dina.
"Ayo. Kita ke kamar sebelah. Dina, nanti perias pengantin masuk ke sini. Kamu bersiap dulu." Nana memberitahu Dina kalau beras pengantin akan segera datang.
"Iya."
"Aku ke kamar sebelah dulu." Wira menatap Dina dengan tatapan biasa.
"Silakan."
Wira dan Nana melangkah meninggalkan kamar. Mereka menuju kamar sebelah tempat di mana Wira akan bersiap. Mempelai akan menggunakan pakaian pengantin khas Banjar. Dina jadi membayangkan bagaimana Wira mengenakan pakaian pengantin khas Banjar.
'Lupakan, Dia! Lupakan!'
"Nona Dina."
"Silakan masuk."
Perias pengantin datang untuk merias Dina menjadi mempelai yang sangat cantik.
*
Wira dan Dina berjalan menuju pelaminan. Diiringi oleh keluarga mereka. Disambut oleh kesenian khas Banjar. Suara musik mengiringi langkah mereka. Menuju pelaminan. Dengan perpaduan hiasan modern. Panggung yang sangat luas dihias sedemikian rupa. Siap menjadi tempat kedua mempelai. Melihat Wira dalam pakaian khas Banjar. Dina merasa terpesona. Tubuh Wira yang putih terlihat bersinar, karena pakaian pengantin mereka berwarna merah marun. Wira benar-benar seperti patung yang sangat tampan. Dina harus melangkah dengan hati-hati. Karena mengenakan sepatu tinggi. Untuk menyeimbangkan tinggi badannya dengan tinggi badan Wira. Untungnya Dina sudah biasa mengenakan sepatu tinggi seperti itu.
Kini mereka berdua sudah duduk di pelaminan. Ada kedua orang tua mereka di kiri dan kanan. Para tamu undangan sudah berdatangan. Rangkaian acara dimulai. Sampai dengan tiba waktunya para tamu boleh naik ke panggung untuk mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Kedua mempelai harus berdiri, untuk menerima selamat dari para tamu. Dina harus menahan lelah kakinya. Karena berdiri begitu lama. Tamu undangan yang datang membludak. Walau sebagian dari tamu undangan itu, adalah undangan dari keluarga Dirta. Tentu saja ini menjadi pembicaraan para tamu. Mempelai pria yang ada di undangan, tidak sama dengan mempelai pria yang ada di acara resepsi. Walau MC sudah mengatakan, mempelai pria berbeda dengan yang sudah diberitakan. Karena ada masalah sedikit sehingga mempelai pria diganti dengan pria yang lain. Meski begitu para tamu undangan dari keluarga Dirta, tetap mengucapkan selamat dan memberikan doa untuk pengantin. Hal ini membuat lega keluarga Prana dan keluarga Ramadan. Karena kebanyakan tamu itu mengenal keluarga Ramadan sebagai keluarga konglomerat. Memiliki berbagai usaha. Bukan hanya ada di Kalimantan, tapi usaha mereka juga ada di luar Kalimantan. Keluarga Ramadan terkenal sebagai keluarga yang kaya raya namun tetap sederhana.
*