"Di sana ada siapa?" tanya Laras.
"Sekretarisku Riko." Sebastian menjawab langsung.
"Panggil dia lalu minta tolong sesuatu padanya."
"Sekarang? Aku tidak butuh bantuan."
Laras mendecak dari seberang telepon. "Lakukan saja seperti yang aku katakan, minta saja buat kopi begitu." Kali ini Sebastian yang mendesis kesal.
Dari seberang telepon Laras bisa mendengar suara Sebastian yang memanggil Riko. "Ya ada apa Tuan?" Pertanyaan sekretarisnya tak serta merta dijawab oleh Sebastian.
Laras sadar akan hal ini dan berdeham. "Ayo Tuan, bicaralah. Tolong siapkan kopi untukku."
"To, to..." Suara Sebastian terdengar, tampak tidak mudah mengucapkan kata pertama.
"Ikuti kata-kataku, to-long. To-long."
"To-long siapkan kopi untuku." Sebastian akhirnya berhasil meski terbata-bata.
"Baik Tuan." Sepeninggal Riko Sebastian bernapas lega. Bahkan keringat dingin menguncur di pelipisnya.
"Nah sekarang saat dia kembali bilang terima kasih." Sebastian mendengus kesal. Tantangan ini tidak bisa ditolak demi harga diri.
Riko pun datang dengan membawa kopi. Ia letakkan di samping Sebastian kemudian bergerak mundur, keluar dari ruangan. "Ayo cepat, tunggu apa lagi!?" desak Laras dari balik telepon.
"Riko," panggil Sebastian. Pria itu berhenti, dia membalikkan badan pada atasannya menunggu Sebastian berbicara. "Terima kasih." Riko tertegun. Menatap aneh pada Sebastian sebelum akhirnya mengucapkan sama-sama.
"Nah begitu dong, bagaimana sensasinya setelah berterima kasih?" tanya Laras.
"Memalukan. Kau tak lihat ekspresinya padaku, dia pasti menganggapku aneh."
"Tidak ada yang menganggapmu aneh. Sudahlah, kau tak usah pikirkan. Jadi aku mau kau melakukan itu tiap hari dalam sebulan."
"Sebulan lagi? Yang tantangan kemarin?" tanya Sebastian meminta penjelasan.
"Ya, kau mau berubah, kan demi dia? Semuanya harus selesai." Sebastian mendengus.
"Baiklah, akan aku coba." Telepon ditutup sepihak oleh Sebastian tanpa peringatan. Kini Laras yang kesal.
Sedikit senang juga karena pria yang keras kepala itu mau menuruti permintaannya. Sebab Sebastian mau berubah maka Laras pun harus juga membantu Lucy untuk memahami Sebastian.
Laras harus mencari tahu segala sesuatu tentang Sebastian termasuk bahasa cinta. Pasti tidak mudah tapi demi sahazbatnya dan uang bonus, dia akan melakukan apapun.
***
Sebastian akhirnya pulang dari kerja dengan raut wajah masam. Suasana hati yang buruk membuatnya diam saja tanpa berminat marah. Tantangan Laras terlalu membebani. Kadang-kadang dia lupa dan merasa bodoh.
Bodoh sebab mengikuti keinginan Laras. Sebastian adalah pemimpin, bagaimana bisa dia tunduk pada Laras. "Akhirnya kau pulang juga." Suara Laras menyapa sambil tersenyum. Ada yang aneh. Tidak biasanya wanita itu menyapa dengan senyum.
"Ayo duduk, aku sudah membuatkan makan malam yang enak untukmu." Sebastian patuh saja, memperhatikan wanita itu seksama. Laras bergegas memberikan piring dan alat makan untuk Sebastian kemudian mengisi piring tersebut dengan nasi goreng yang dia buat sendiri.
"Malam begini kau menyediakanku nasi goreng?" tanya Sebastian sebagai bentuk protes.
"Kau saja belum mencicipinya. Kau makan dulu baru komentar lagi pula aku sengaja meminta Gino untuk tidak meqnyiapkan makan malam. Hanya nasi goreng ini yang aku buat sendiri. Anggap saja ini adalah bentuk terima kasihku karena kau sudah memperkerjakanku dengan gaji yang tinggi."
Sebastian hanya memandang aneh. Curiga pada setiap gerak-gerik Laras. Takutnya juga bisa jadi dia mencampur sesuatu pada makanan yang dibuat. "Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Laras sadar akan tatapan Sebastian. "Ayo makan."
Sebastian mengaduk makanannya tak berminat. Dia mengambil nasi dengan sendok dan mulai memasukkannya ke dalam mulut. Baru saja terasa di lidah pria itu terdiam. Rasa ini ... terasa tak asing.
"Bagaimana? Enak tidak? Nasi goreng ini resepnya buatan nenekku." Sebastian masih bergeming, mulai mengunyah perlahan sambil terus menikmati rasa di lidah.
Rasa nasi goreng ini mengingatkan dia pada bekal makanan saat sekolah dulu. "Laras? Kau tahu dari mana resep ini? Apa kau belajar dari sahabatmu?" tanya Sebastian.
"Kau tak dengar, aku bilang ini resep nenekku. Ini masakan turun temurun, aku tidak akan memberikan resep ini pada siapapun." Sebastian mematung. Menatap nasi goreng yang di depannya dan kembali pada Laras. Lagi dia melempar pandangan aneh.
Sebastian segera menghabiskan nasi goreng di piringnya dan meminta agar piringnya di isi lagi, tak cukup makan sekali. Laras hanya terpaku, perlahan senyuman tampak di bibir menatap Sebastian yang makan lahap. Dia kemudian mencatat sesuatu dalam buku kecil tanpa disadari oleh pria itu.
Beberapa menit kemudian, keduanya selesai makan malam. Laras sibuk membersihkan piring kotor sementara Sebastian mengelap bibirnya. "Terima kasih Laras." Laras yang mengelap meja, menghentikan kegiatannya.
Pandangannya kini tertuju pada Sebastian yang berdiri ingin pergi. "Makanannya enak sekali. Aku suka."
Laras tersenyum senang. Masih dengan suasana hati baik, dia dihampiri oleh Gino. "Nona Laras, Tuan tampaknya suka dengan makan malam hari ini. Ini adalah pertama kalinya Tuan bisa makan selahap itu. Kalau boleh tahu resep makanannya apa?" Senyum Laras menghilang. Berganti dengan bibir wanita itu mengerucut.
"Resepnya rahasia. Turun temurun dari keluarga, tidak ada yang boleh mengetahuinya kecuali anggota keluarga." Laras lantas melengos pergi menuju kamarnya. Membiarkan Gino membersihkan sendiri meja makan.
***
Esok hari begitu Sebastian keluar dari rumah untuk bekerja, Laras senantiasa berada di perpustakaan rumh Sebastian. Hanya untuk menghabiskan waktu membaca buku. Buku apa saja asal dirinya tak suntuk sepanjang hari. Di sana juga ada Gino bertugas mengawasi wanita itu.
"Tuan Gino boleh aku bertanya?" tanya Laras saat dirinya fokus membaca.
"Nona mau bertanya apa?" Gino balik bertanya dengan nada sopan.
"Hubungan majikan kalian dengan sahabatku itu seperti apa? Apa dia pernah diperlakukan kejam oleh majikan kalian?" Gino diam sejenak mencoba untuk berpikir.
"Hubungan Nona dan Tuan Besar bisa dibilang baik-baik saja. Hanya saja setelah tunangan Tuan datang, mereka lebih memiliki jarak. Nona merasa Tuan lebih perhatian pada tunangannya ketimbang Nona."
"Apa yang kau maksud dengan jarak? Sebelum majikanmu bertunangan apa ada jarak di antara mereka?" Gino mengangguk membenarkan.
"Mungkin Tuan tidak mengatakannya secara langsung tapi dari gelagatnya saja saya langsung tahu kalau dia tak nyaman dekat dengan Nona. Tuan hanya memperlakukan Nona layaknya seorang kekasih tapi tak sampai bermesraan. Dia kesal ketika pria lain bersama Nona bukan karena cemburu tapi sebab tak merasa apa-apa pada Nona."
"Kenapa Tuan Gino percaya diri soal perasaan majikan kalian? Dari sekilas saja aku tahu jika majikan kalian itu orangnya tertutup."
Gino tertawa. "Karena saya sudah bersama dengan Tuan sejak lama. Dari dia lahir sampai sekarang, saya yang terus bersamanya bahkan saat dia dibuang oleh Tuan Besar saya terus bersamanya."
"Dibuang?" beo Laras tak mengerti.
"Iya, saat Tuan Besar ingin menikah lagi Tuan diusir dari rumah sebab istri Tuan Besar tak mau Tuan ada tapi setelah tahu Tuan yang mendapat seluruh warisan dari Ibunya mereka malah cari muka tapi Tuan malah mengusir mereka tanpa uang sepeser pun. Dalam pengusiran itu Tuan bertemu dengan Nona. Dia menyukai Nona sebab hanya Nona yang memberi dia perhatian," tutur Gino berterus terang.
Gino lalu berjalan menuju sebuah rak mengambil sebuah buku tebal yang lalu dia berikan pada Laras. "Ini adalah album foto sekolah yang disimpan oleh Tuan dan meski tak sampai tamat dia selalu menyimpan sebab ingin terus mengingat wajah Nona."
Laras membuka album tersebut menemukan beberapa foto-foto masa SMA dulu. Saat mereka masih muda, bodoh dan hidup terasa menyenangkan. Dia tersenyum mengingat segala kenangan manis di SMA. Dia berhenti saat memandangi foto semua murid dan Lucy dilingkari oleh spidol warna merah. Di samping ada Laras muda yang tersenyum lebar.
"Oh ya Tuan Gino, kalau boleh di mana Tuan kalian di dalam foto ini?" tanya Laras.
"Tuan tidak ada di foto itu. Dia hanya bersekolah saat kelas 2. Belum ujian, dia sudah keluar."