Kesabaran di ambang Batas

1077 Words
Yanti mendesah kecewa, beberapa hari terakhir dia sudah berusaha menghubungi Laras tapi selalu saja tidak diterima. Semenjak insiden live dengan pimpinan mereka, Laras tak kunjung masuk yahg makin membuat Yanti gelisah. Saat dia datang ke rumah Laras pun, para tetangga mengatakan wanita itu sudah beberapa hari tak pulang. Hanya semalam Yanti baru saja tahu jika Laras datang bersama Sebastian menuju sebuah pesta formal tapi tetap saja dia tak lega sama sekali jika sahabatnya itu tak menelepon. Belum lagi setelah berita semalam Sebastian bersikap begitu aneh. Sifatnya yang tak ramah dan sering murka kini hilang begitu saja padahal pimpinan mereka itu sekecil saja apapun kesalahan Sebastian akan marah besar. Hanya sekretarisnya Lucy yang bisa mnenangkannya dan beberapa hari sebelumnya Sebastian selalu tidak mengontrol emosinya. Hari ini Sebastian tetaplah bersikap angkuh tapi dia sama sekali tak marah. Beberapa karyawan bergosip banyak di kantin, mengatakan jika Sebastian hanya menatap galak mereka tapi tak sekali pun dia mengeluarkan kata-kata kasar. Dia sepertinya ingin membentak tapi entah kenapa Sebastian berusaha menahan amarahnya yang meledak-ledak itu. Semua itu digantikan dengan beberapa saran tanpa ada kata-kata sadis yang menyinggung perasaab karyawan. Andai saja Laras ada di sini, mungkin Laras akan melanjutkan drama favorit mereka. "Yanti." Suara Pak Karim terdengar memanggil. Dia lantas berdiri memandangi atasannya. "Ke ruangan saya sekarang." Yanti segera mengikuti Pak Karim menuju ruangannya. Dari ekspresi yang ditampilkan, wanita itu tahu suasana hati Pak Karim tidak baik. "Bagaimana? Kamu sudah bisa menghubungi Laras?" tanya Pak Karim langsung pada inti permasalahan. "Belum Pak, sampai sekarang pun dia tak pernah mengangkat telepon saya. Saya hanya tahu kalau semalamdia baru saja datang ke pesta bersama pimpinan." "Kalau itu saya juga tahu. Mentang-mentang udah dekat sama pimpinan, berani sekali Laras tidak pernah datang ke kantor?! Saya tidak suka kalau ada yang makan gaji buta! Kalau besok dia tak datang, tulis surat resign untuk Laras!" perintah Pak Karim dengan emosi menggebu-gebu. "Tapi Pak saya khawatir bagaimana kalau Laras nggak terima? Dia bisa menuntut balik perusahaan ini, masalah dengan pimpinan saja baru berakhir apa Pak Karim tak bisa pertimbangkan lagi?" tanya Yanti menawarkan. "Memangnya saya peduli dengan itu?! Pokoknya kalau Laras tidak datang besok siapkan saja surat resign." Pak Karim tetap bersikukuh. Raut wajah Yanti berubah tak enak. Ingin sekali dia menghardik Pak Tua di depannya ini. Hanya karena Laras tidak ada seenaknya saja ingin memecatnya mengingat keduanya tak memikiii hubungan baik. Jelas ini adalah kesempatan untuk menyingkirkan Laras. Sayangnya Yanti tidak seberani seperti sahabatnya. Lidahnya terasa sulit sekali mencoba membela Laras dan perlahan muncul perasaan bersalah. Yanti merasa cemas jika Laras akan kehilangan pekerjaan sebab ia tak mampu melakukan apapun. Suara pintu terdengar diketuk. Sekretaris baru Sebastian, Riko membuka pintu memandang teduh pada Pak Karim. "Loh Pak Riko, kenapa di sini? Apa ada yang bisa dibantu?" Suara Pak Karim kini lebih lembut dan pelan saat berhadapan dengan Riko. Yanti lantas dongkol. Hanya karena Riko adalah sekretaris pimpinan, Pak Karim bersikap begitu sopan padahal dari nada bicara sebelumnya terdengar begitu kasar. Riko tidak banyak bicara. Dia bergegas masuk dan memberikan Pak Karim sebuah surat. "Ini adalah surat pengajuan cuti untuk karyawan Anda yang bernama Laras. Dalam surat ini, sebelum Laras menyelesaikan cutinya dia berhak mendapat gaji sebulan penuh ditambah dengan bonus sesuai dengan yang tertera di dalam surat." Pak Karim lantas membuka surat tersebut. Membaca sebentar dengan mata melebar sementara Riko sudah berjalan pergi. "Dasar wanita sialan!" umpat Pak Karim. "Kenapa dia selalu saja bisa memiliki jalan bisa kabur dariku!" Dengan suara bentakan, Pak Karim mulai mengomel. Yanti lantas keluar sambil menahan tawa. Dia lega. Lega sekali. Sebab meski Laras tidak berada di sini, dia sudah menemukan cara untuk mengamankan diri. Langkah Laras selalu saja tak bisa ditebak. *** Ini sudah dua minggu semenjak Sebastian menerima tantangan Laras. Sebab karena tantangan, Sebastian berubah menjadi tenang sebab terbiasa memendam emosi. Masalah kecil kali ini bukanlah hal yang besar lagi. Laras begitu senang melihat perubahan besar dari Sebastian. Tak sia-sia Laras meneleponnya setiap saat hanya untuk memastikan Sebastian memendam emosinya. Laras akhirnya memutuskan untuk menambah tantangan. Setelah makan siang, dengan penuh pertimbangan Laras akhirnya menelepon menggunakan telepon rumah yang khusus hanya untuk menelepon Sebastian. Dia pernah mencoba menelepon Yanti tapi selalu terputus entah karena apa. "Halo," sapa Sebastian dari balik telepon. "Halo, Bos. Bagaimana kabarmu? Masih sanggup bertahan?" tanya Laras sedikit mengolok-olok. "Huh? Sanggup bertahan? Satu bulan pun aku tahan." Laras tidak tahu bagaimana ekspresi Sebastian di sana tapi mendengar nada bicaranya jelas pria itu mengejeknya. "Baguslah, sepertinya kau bisa meredam emosimu dengan baik. Aku tampaknya meragukan kemampuanmu." Ejekan tertawa terdengar dari balik telepon. Sebastian tetaplah Sebastian yang begitu angkuh dan otoriter. "Tentu saja aku bisa melakukannya. Jadi apa bisa kita ke tahap selanjutnya?" tanya Sebastian langsung pada inti permasalahan. "Santai saja, aku sebenarnya mau memberikanmu tantangan lagi." "Tantangan apa lagi? Aku sudah menuruti permainan bodoh ini kenapa kau mau menambah tantangan lagi?" tanya Sebastian tak terima. "Ah Tuan jangan emosi, ingat ini belum sebulan sesuai dengan kesepakatan kita." "Tapi aku tak mau menambah tantangan lagi." Kali ini Sebastian merendahkan suaranya setelah agak lama diam. "Wah Tuan aku takut kau tak bisa menolak tantangan ini. Oh, apa jangan-jangan Tuan takut dengan tantangan yang aku berikan pada Tuan?" tanya Laras mengejek. "Apa maksudmu aku takut?" Sebastian mendengus kesal. "Aku tidak pernah takut dengan tantangan. Jadi tantangannya apa? Aku yakin aku bisa mengatasinya." Laras menyunggingkan senyum licik. "Baguslah kalau Tuan mau, tantanganku adalah ucapkan tiga kata saja. Tolong, terima kasih, dan maaf." Suara gebrakan meja terdengar dari seberang. "Jangan merendahkanku Laras! Ingatlah kau hanya karyawan rendahan dan aku atasanmu! Bagaimana bisa kau merendahkanku hanya karena kita punya kesepakatan?!" bentak Sebastian keras. "Oh jadi Tuan benar-benar takut ya dengan tantangan ini? Tuan kau pengecut sekali." Laras kembali mengejek. "Ini bukan soal aku takut. Tapi tantanganmu ini merusak citraku. Aku seorang pemimpin perusahaan, aku tak pernah minta tolong, berterima kasih atau pun minta maaf." "Tuan ingat tidak apa yang kau katakan padaku? Kau ingin berubah untuk kekasihmu. Kalau kau masih memelihara egomu bagaimana bisa sahabatku percaya kau berubah. Lagi pula minta maaf, minta tolong dan berterima kasih itu tidak akan merusak citramu. Iya benar kalau mengucapkan tiga kata itu terasa kita seperti orang naif tapi kita juga akan dapat yang namanya kehormatan dan rasa segan itu jauh lebih dari rasa takut." Laras diam. Tidak ada tanda dari Sebastian yang mau menerima tantangan itu. "Ah iya asal kau tahu saja sahabatku suka sekali dengan pria yang bisa bersikap baik dan biasanya mereka mengucap tiga kata hal itu." "Baiklah, kau mau aku melakukan apa?" tanya Sebastian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD