Egois II

1014 Words
Pria itu mengangguk. Agak terhibur dengan ucapan Laras. "Terima kasih..." Dia tak menyelesaikan kata-katanya sebab tak tahu nama sang lawan bicara. "Namaku Laras, senang bertemu denganmu..." Laras menjulurkan tangan mencoba memperkenalkan diri. "Namaku Kaivan, senang bertemu denganmu Laras." Kaivan menjabat tangan Laras disertai senyuman ramah. Keduanya lalu berpisah. Kaivan berjalan pergi lebih dulu sedang Laras berjalan ke arah yang berbeda. Dia tak menyadari kehadiran Sebastian yang bersandar di tembok, mendengarkan percakapan Laras dan Kaivan. "Aku tak mengerti." Laras terlonjak kaget, dia berbalik menatap Sebastian. "Kau bisa berbicara ramah dengan Kaivan? Aku pikir kau itu adalah gadis kasar yang suka berbuat semaunya sendiri." "Jangan kau samakan dirimu dengan Kaivan. Dia baik, gentleman, ramah dan lebih penting Kaivan peduli kepada sahabatku. Tidak seperti dirimu. Saat pertama kali kita bertemu kau hampir membunuhku, kau sombong, angkuh, tak pernah mau mendengarkan orang lain. Kau adalah orang yang paling egois yang pernah aku kenal wajar kalau sahabatku pergi meninggalkanmu?!" kata Laras emosi. Dia sengaja menekan setiap kata terakhirnya agar Sebastian sadar. "Ya aku akui. Aku egois, angkuh dan tidak suka direndahkan oleh orang lain tapi kau salah besar saat kau bilang Kaivan jauh lebih mempedulikan kekasihku, aku juga peduli padanya!" Sebastian membela diri. Tak mau kalah argumen. "Omong kosong!" potong Laras. "Kalau kamu memang peduli padanya kenapa kau membela wanita lain ketinbang dia? Kenapa kau memaksanya untuk tetap tinggal sementara kau memperlakukan dia dengan buruk? Aku tak mengerti dengan kalian berdua terutama kau." Sebastian mendecak. "Aku selalu bilang padanya, aku tak punya hubungan dengan anak pejabat itu, ya kami bertunangan tapi tak pernah terpikirkan aku akan menikahinya. Satu-satunya orang yang aku sayangi itu hanya sahabatmu saja!" kata Sebastian bersikukuh. Laras mendengus diselingi dengan tawa ejekan. "Dugaanku benar rupanya, kau itu orang yang tidak punya simpatik dan rakus ingin segalanya, kalau kau benar mencintai sahabatku, kau pasti sudah meminta membatalkan pertunangan tapi kau diam saja tidak melakukan apapun. Kau hanya menganggap bahwa sahabatku itu adalah pilihan dan jika dia tak memenuhi syarat kau akan membuangnya." Laras berjalan mendekati Sebastian menatap tajam tepat pada pria itu dengan jarak yang dekat. Segala emosi marah tampak terlihat jelas dari caranya memandang rendah Sebastian. "Aku selalu mengatakan hubunganmu dengan dia itu buruk tapi dia tak mendengarkanku karena terlalu mencintaimu. Sekarang kau tahu apa yang dibenakku? Kau tak pantas mendapat cinta dari sahabatku dan aku bersyukur dia pergi darimu. Dengan sikapmu sekarang, aku yakin dia tak akan mau bertemu denganmu lagi." Wanita itu kemudian berjalan pergi tanpa peduli akan Sebastian, mengingat ini waktu yang tepat untuk kabur. Dia lantas menuju depan bangunan. Laras melihat tidak ada lagi paparazi. Tampaknya sudah pergi. Laras melepas sepatu high heels yang ia kenakan. Merasa dirinya sudah aman, dia berjalan menuruni tangga lalu berjalan menjauh dari tempat itu. Bangunan masih terlihat dan Laras terus melangkahkan kakinya. Dari arah bangunan, sebuah mobil bergerak pelan menepi tepat di samping Laras. Mobil tersebut kemudian merendahkan kecepatannya. Perlahan kaca mobil turun menampakkan Sebastian yang mengemudikan mobil. Laras mendengus. Harusnya tahu jika mustahil untuk kabur dari pria itu. "Masuk." Sebastian memerintah dan Laras tak melawan, dia tahu jika lari hanya akan menambah masalah. Pada akhirnya Laras masuk ke dalam mobil tapi dia tak berminat untuk duduk dekat dengan Sebastian, melainkan di kursi penumpang. Serasa Sebastian kini adalah supir sementara Laras adalah majikannya tapi entah kenapa Sebastian tidak protes. "Aku mau berubah," ucap Sebastian tiba-tiba. "Jika benar dia pergi karena sikapku egois maka aku akan berubah untuk dia." Laras tidak menanggapi. "Aku mau kau harus mengubahku menjadi tipe pria yang dia inginkan. Karena kau sahabatnya kau pasti tahu pria seperti apa yang disukai olehnya." "Lalu apa untungnya untuk aku?" tanya Laras ketus. "Gajimu dalam beberapa bulan sebelum ia datang akan dibayar ditambah dengan bonus jika kau sukses." Laras langsung mengalihkan pandangan ke arah Sebastian. "Dan berapa bonus yang kau berikan?" tanya Laras kali ini terlihat tertarik. "Dua kali lipat dari gajimu." Sebastian menyunggingkan senyumnya yang angkuh. Dia langsung tahu Laras akan setuju. Laras menutup mulutnya, tak mengira jika Sebastian berani membayarnya lebih banyak dari gaji karyawan. Dia lantas berpura-pura memasang wajah datar. "Tiga kali lipat," usul Laras. "Deal." Mata Laras berbinar, dia tak bisa menyembunyikan senyumnya saat Sebastian langsung setuju. Lucy memang sahabatnya tapi jika berhubungan dengan uang musuh pun bisa jadi teman. "Baiklah, senang bekerja sama denganmu Tuan Sebastian. Aku pasti akan membimbingmu dengan baik." "Huh, sudah kuduga kau tidak akan menolak uang." "Tapi kau harus janji kau tidak akan melanggar uang bonusku." "Aku atasanmu jelas aku bisa memegang janji. Jadi apa yang harus aku lakukan." Laras diam sebentar, berpikir langkah pertama apa yang harus dilakukan pertama terutama untuk orang seperti Sebastian. "Aku ingin dalam sebulan ini, kau menahan emosimu. Apapun kesalahan yang dibuat oleh orang-orang sekitarmu tanggapi dengan tenang. Kalau mau berikan nasihat jangan berikan kata-kata yang menekan. Hindari membentak orang atau pun meninggikan nada, hanya itu yang harus kau lakukan." "Kau bercanda? Hanya itu?" Laras mengangguk menjawab pertanyaan dari Sebastian. "Baiklah, dalam sebulan ini. Aku bisa melakukan semua itu, lihat saja aku akan menyelesaikan tantangan ini sebelum satu bulan." Sebastian berucap angkuh. "Jangan bilang aku tidak memperhatikanmu, aku akan terus menghubungimu lewat telepon." "Aku akan menyuruh Gino untuk memasang telepon rumah agar kau bisa menghubungiku." Laras mengangguk setuju. Tidak lama mereka akhirnya sampai di kediaman milik Sebastian. Gino menghampiri keduanya sementara Laras berjalan menuju kamarnya, Gino dan Sebastian tetaplah berbincang. Jika saja Laras diberi kebebasan, dia pasti bisa mengawasi di kantor tapi Sebastian itu keras kepala, tak mau mendengarkan. Jika saja uangnya tak besar pasti Laras akan menolak. Sepeninggal Laras menjauh, Sebastian menatap pada Gino. "Bagaimana? Sudah lakukan apa yang aku minta?" tanya Sebastian. "Tentu Tuan, mereka langsung mencari Nona begitu dibayar. Serta segala informasi tentang Nona Laras telah kami dapatkan. Ternyata Nona Laras dari kecil sudah lama mengenal Nona bahkan mereka sering satu sekolah termasuk di SMA Bina Bangsa." "Jadi mereka sudah lama berteman?" Gino membenarkan dengan sebuah jawaban singkat. "Terus cari dia, jangan beritahu Laras soal ini dan buatkan sebuah kontrak untukku." Sebastian kembali memerintah. "Baik Tuan, kalau boleh tahu kontrak untuk apa?" tanya Gino sopan. Sebastian melihat ke arah punggung Laras yang menjauh. "Kesepakatan bekerja sama, minta Riko yang membuatnya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD