BAB SEMBILAN BELAS

1863 Words
   Saat hari mulai gelap, Rei dan Yuri memutuskan untuk berjalan - jalan ke sungai Han sambil berbincang - bincang.     Tawa mereka sesekali terdengar saat membicarakan masa lalu mereka saat berada di tempat les piano yang sama.  “Aku tidak menyangka sekarang aku bisa punya tempat mengajar les piano ku sendiri.” , ucap Yuri dengan bangga pada dirinya.  Rei tersenyum, “Kau benar - benar hebat, nee-san. Aku iri padamu.”  Yuri menengok ke samping menatap Rei dengan menaikkan alisnya sebelah, “Iri? Kenapa?”  “Aku iri kau bisa benar -benar mengejar apa yang kau sukai dan tidak mengkhawatirkan yang lainnya.” , jawab Rei dan ia menghentikan langkahnya.  Mendengar hal itu, Yuri tersenyum miris. Ia pun menghentikan langkahnya, “Kau tahu.. Aku sama seperti yang lainnya. Untuk mencapai hal itu, banyak hal yang aku korbankan,” , Rei diam mendengarkan.  “Aku tidak ingin membuatmu merasa kasihan padaku jika aku menceritakan hal-hal sedih yang aku lalui. Yah, kau tahu, aku ingin kau tetap melihatku seperti aku ini sosok yang hebat. Pertahankan, ya.” , tambahnya. Dengan senyum manisnya, Yuri menepuk bahu Rei dengan harapan Rei segera berhenti menatapnya dengan tatapan kasihan seperti itu.  Rei tersenyum geli, “Kau tahu, nee-san?” , ucap Rei menggantung membuat senyum Yuri memudar digantikan dengan wajah penasaran akan apa yang Rei katakan selanjutnya.  Rei menurunkan tangan Yuri di bahunya, “Walaupun kau menceritakan hal - hal menyakitkan seperti itu, aku tidak akan merubah cara pandangku padamu.” , Yuri diam dan ingin mendengar lebih banyak lagi.  “Mendengar hal - hal yang sudah kau lalui untuk mencapai semua itu,” , Rei melanjutkan, “Hanya akan membuatku semakin kuat. Setidaknya, aku menyadari bahwa aku tidak sendirian. Orang lain pun melalui hal - hal sulit dan mereka bertahan.”     Yuri masih terdiam. Dalam pikirannya, ia berpikir Rei berkata seperti itu karena ingin ia menceritakan semua hal yang sudah ia lalui.  “Kau tidak perlu menceritakannya, nee-san.” , sahut Rei tiba - tiba seakan menjawab prasangka yang baru saja terpikirkan olehnya.  “Dengan mengatakan bahwa kau juga melalui hal - hal sulit, itu sudah cukup. Aku sudah merasa tidak sendirian.” , tambah Rei.  Yuri tersenyum bangga, “Kau tahu, Rei? Kau harus mewujudkan mimpimu. Apapun yang terjadi. Hidup hanya sekali, dan dengan terus berusaha untuk mewujudkan mimpi yang kita miliki itulah kita bisa merasa hidup.”     Rei terdiam. Kata - kata yang Yuri katakan padanya seakan ada hantaran listrik yang membuat api dalam dirinya menyala. Ia menjadi semakin yakin dengan keinginannya untuk menjadi pianist yang terkenal akan kemampuannya.  “Nee-san..”  “Hm?”  “Aku ingin seperti nee-san.”  ***    Sebuah motor melintas tiba - tiba di hadapan Sora membuatnya harus mengerem mendadak hingga mengeluarkan suara memekakan telinga dari gesekan antara ban sepeda dengan bantalan rem. Hal itu membuatnya sedikit shock. Jika ia terlambat sedikit saja, entah akan bagaimana nasibnya sekarang.  “Apa ini? Tadi benar - benar nyaris sekali.” , Sora melihat kanan kiri sebelum kembali mengayuh sepedanya. Kali ini ia mengayuh lebih pelan dari sebelumnya.     Hari sudah gelap saat Sora sampai di lokasi. Dengan terburu - buru ia memakirkan sepedanya di antara sepeda - sepeda lain yang ada di sisi gedung dan segera berlari kecil menuju pintu masuk. Ia sudah khawatir dirinya akan terlambat di hari pertamanya, dan sungguh bukan kesan yang baik jika ia benar - benar terlambat.     Sora masih berlari kecil saat memasuki gedung dan mencari ruang kelasnya. Hal itu tertangkap basah oleh salah seorang tutor yang bekerja disitu dan menyuruh Sora untuk tidak berisik. Sora pun melangkah dengan lebih pelan dan berusaha untuk tidak meninmbulkan suara.  Ia mengamati papan nama kelas yang tergantung pada tiang horizontal pendek dan menempel pada dinding di atas pintu.     Tempat itu berbentuk persegi panjang dengan lorong panjang berbentuk tanda pertambahan dalam matematika. Di setiap lorong terdapat empat ruangan yang saling berhadapan dengan dua ruangan masing - masing di kiri dan kanan. Setelah melewati ruangan administrasi, terdapat simpangan perempatan lorong yang masing-masing terdapat dua tingkatan kelas di tiap lorongnya.     Pada lorong sebelah kiri adalah ruangan untuk tingkatan sekolah menengah pertama kelas tujuh dan tingkatan sekolah menengah atas kelas sepuluh yang masing - masing terdapat dua kelas dengan kualitas kelas yang berbeda. Ruang kelas dengan huruf B di sebelah angka tingkatan kelas pada papan nama kelas adalah kelas biasa dengan fasilitas yang biasa. Sedangkan untuk ruang kelas dengan huruf A di sebelah angka tingkatan kelasnya adalah kelas VIP dengan harga yang lebih tinggi dan juga kualitas guru, materi, serta fasilitasnya lebih bagus dibandingkan ruang kelas dengan huruf B.     Di sebelah kiri, terdapat lorong untuk ruangan tingkatan sekolah menengah pertama kelas delapan dan tingkatan sekolah menengah atas kelas sebelas. Pada lorong ini juga terdapat masing - masing kelas memiliki dua ruangan dengan kualitas yang berbeda sesuai harga kelas.     Sedangkan, untuk lorong yang berhadapan dengan pintu masuk adalah lorong untuk tingkatan sekolah menengah pertama kelas sembilan dan tingkatan sekolah menengah atas kelas dua belas. Sama seperti lorong yang lainnnya, di lorong ini juga terdapat dua ruangan untuk masing - masing kelas dengan kualitas yang berbeda. Lorong ini merupakan lorong sunyi yang tidak diijinkan membuat suara bising dan mengganggu.     Ruangan yang Sora cari adalah ruangan berpapan nama kelas sebelas dengan huruf B. Sora yang tidak sempat berkeliling saat mendaftar kemarin, terpaksa harus berkeliling menelusuri tiap lorong hanya untuk menemukan ruangannya.     Tidak tahu harus memeriksa lorong sebelah kanan atau kiri, Sora memilih untuk memeriksa lorong di hadapannya. Kepalanya menengok kanan dan kiri membaca detail nama kelas dan tidak berhasil menemukan ruangannya.  “Sepertinya bukan disini.” , gumamnya.     Ia pun berbalik dengan cepat dan wajahnya bertabrakan dengan d**a seseorang yang sekarang ada di hadapannya. Sora mundur sedikit untuk melihat siapa yang ia tabrak ataupun siapa yang menabraknya. “Seowoo sunbae?!” , pekik Sora.     Seowoo segera menutup mulut Sora dengan tangan kirinya dan tangan kanannya menempelkan telunjuknyadi depan bibirnya mengisyaratkan untuk jangan berisik. Sora mengangguk mengerti, Seowoo pun melepaskan tangannya dari mulut Sora dan menarik tangan Sora ke tengah - tengah persimpangan empat lorong tersebut.  “Kau tahu, tidak boleh ada suara - suara yang mengganggu di lorong itu.” , tegas Seowoo sambil menunjuk lorong tadi dengan dagunya.  Sora mengangguk mengerti dengan mulut terbuka.  “Kita bertemu lagi.” , ucap Seowoo dengan senyum manisnya.  “Yah, kau benar. Aku tidak pernah menduga akan hal ini sama sekali sebelumnya.” , balas Sora.  Seowoo memiringkan sedikit kepalanya, “Kau benar. Aku juga tidak pernah menduga hal ini sebelumnya. Apakah ini yang dinamakan takdir?”  Sora mengangkat kedua bahunya, “Molla (tidak tahu). Aku tidak pernah percaya pada takdir.”  “Oh ya? Aku juga. Tapi aku ingin mempercayainya kali ini.”  Mata Sora menyipit menatap Seowoo, “Apa kau memang selalu bicara manis pada semua penggemarmu di sekolah?”  Kali ini ganti Seowoo yang menaikkan bahunya merespon dugaan Sora.  “Kau mengambil kelas tambahan disini? Kelas apa?” , tanya Seowoo.  “Kelas sebelas B.”  “Ah, ruanganmu ada di ujung sana. Ruangan sebelah kiri.” , Seowoo menunjuk lorong di belakangnya dengan ibu jarinya.  “Ah~ Geogi ne (disana ya)..” , gumam Sora.  “Aku sudah terlambat.” , Seowoo melihat jam tangan kulit berwarna hitam yang melingkar di pergelangan tangannya,  “Sampai nanti.” , pamit Seowoo dan berlalu pergi ke arah lorong yang tadi Sora datangi.  “Sunbae, gomawo (terima kasih).” , sahut Sora dengan suara agak kencang saat Seowoo sudah menjauh.     Hal itu membuat Seowoo berbalik dengan jari telunjuk di depan bibirnya sambil menunjukkan wajah marahnya memperingatkan karena Sora mengabaikan omongannya soal tidak boleh ada suara bising. Sora segera menutup mulutnya dengan kedua tangannya, menatap ke kanan dan ke kiri untuk memastikan tidak ada yang terganggu karena suaranya tadi.   ***     Kali ini, Rei dan Yuri duduk - duduk pada taman Banpo Hangang Park yang terletak di tepi selatan sungai Han dekat jembatan double deck Banpo dan Jamsu yang berhadapan langsung dengan sungai Han. Cuaca dingin malam musim gugur dihangatkan dengan mie instan cup yang masih panas. Udara dinginnya membuat uap panas dari mie instan begitu terlihat jelas membumbung.  “Kapan pertunjukkan air mancurnya akan muncul, Rei?” , tanya Yuri yang sudah selesai dengan mienya.  Rei menyelesaikan seruputnya pada mie instannya dalam sekali tarikan nafas dan melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya, “Sekitar lima belas menit lagi, nee-san.” , jawabnya singkat dan kembali melanjutkan makannya.  Yuri terkekeh melihat Rei yang begitu lahap menyantap mie instan yang kali ini sudah cup yang ketiga, “Sepertinya kau suka sekali mie instan ya, Rei.”  Rei menggeleng dengan mulutnya yang masih mengunyah, “Nee-san tahu?” , Rei menghentikan kalimatnya untuk menelan yang sedang ia kunyah, “Aku tidak ada apa - apanya dibandingkan, Sora.”  “Sora?”  “Iya, Sora.” , Rei meneguk habis kuah mie instan di tangannya sebelum melanjutkan kalimatnya, “yang datang bersamaku saat di taman hiburan waktu itu.”  “Ah~ Sora~ Yang waktu itu.”  “Nee-san mungkin akan menggeleng - geleng jika tahu seberapa banyak mie instan cup yang bisa ia habiskan sekali makan.”  Yuri hanya diam mendengarkan sambil mengangguk - angguk.  “Itu sebabnya dia jarang makan mie instan. Karena jika sering, mungkin dalam seminggu dia akan langsung terkena usus buntu.” , tambah Rei.  Yuri menekuk kedua kakinya dan duduk sambil memeluknya, “Sepertinya kau dekat sekali dengannya, Rei.”  “Tentu saja! Dia mungkin adalah wajah pertama yang aku lihat di pagi hari. Kamar kami bersebrangan. Setiap kali aku membuka tirai, yang kulihat adalah wajahnya, tentu saja.”  “Apa kau menyukainya?” , tanya Yuri tiba-tiba tanpa Rei duga sebelumnya. Rei terdiam sejenak, “Huh?”  Melihat reaksi Rei membuat Yuri semakin ingin meledeknya, “Aku bertanya apa kau menyukai Sora.”  “Ahahaha, jangan bercanda, nee-san. Tentu saja tidak.”  “Tidak apa. Jujurlah padaku.” , desak Yuri menuntut Rei mengatakan yang sebenarnya tentang perasaanya.     Saat itu juga pertunjukkan air mancur pelangi dari jembatan Banpo dimulai. Air mancur keluar dari pipa - pipa air sepanjang jembatan Banpo yang berada di atas jembatan Jamsu. Dengan lampu sorot berwarna - warni, membuat air - air mancur tersebut seolah-olah memancarkan air berwarna.     Mata semua orang kini tertuju pada pertunjukkan air mancur tersebut, tak terkecuali Yuri. Beberapa dari mereka juga ada yang tak ingin melewatkan kesempatan ini untuk berfoto dan mengambil video.     Sedangkan Rei hanya terdiam, dan tidak terlihat tertarik dengan pertunjukkan air mancur yang hanya ada pada musim gugur tersebut. Dalam pikirannya terlintas bayangan Sora. Sora yang sedang tertawa, Sora yang sedang serius, Sora yang sedang marah, Sora yang sedang mengomel padanya, Sora yang sedang menangis, semuanya terputar bagaikan sebuah film. Bibirnya tertarik ke atas membentuk sebuah simpul senyum kala mengingat itu semua.     Yuri terkagum-kagum pada pertunjukkan air mancur hingga mulutnya terbuka dan dari wajahnya terlihat sangat senang.  “Romatis sekali ya, Rei?” , tanya Yuri berharap Rei sependapat dengannya. Namun, saat Yuri melihat ke arah Rei, yang dilihat adalah wajah tersenyum tulus.     Yuri dapat merasakan jika senyum itu bukan karena senang melihat pertunjukkan air mancur, melainkan karena hal lain. Ia merasa sudah mendapatkan jawaban atas pertanyaan sebelumnya. Karena hal itu, ia memutuskan untuk tidak bertanya lagi karena semua itu sudah terlihat jelas pada wajah Rei.  *** 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD