Sambil menggenggam tangannya kuat - kuat, ia berusaha menahan rasa malu yang menjalar ke seluruh tubuhnya saat melihat perhatian dari orang-orang. “Tolong temuilah Song Chaerin, kelas dua dari ruang kelas D!” , tambah Sora melihat Seowoo yang hanya diam menatapnya sama seperti orang-orang lainnya.
Dengan hanya satu senyuman, Seowoo menganggapnya sebagai jawaban darinya dan naik ke dalam bus.
Bus pun melaju pergi, meninggalkan Sora yang masih terdiam di tempat. Kepala Sora tertunduk karena merasa malu. Untuk menoleh ke belakang ataupun berpindah dari tempatnya berdiri pun ia merasa tidak sanggup. Rasa ingin menghilang dari tempat itu secepatnya yang hanya ada di dalam pikirannya sekarang.
Sebuah notifikasi pesan masuk ke ponselnya berbunyi, meringankan sejenak rasa malunya. Dengan enggan, ia merogoh saku yang ada di jaketnya dan membuka pesan yang baru masuk tersebut. Semua rasa malu yang ia rasakan seketika menguap, digantikkan oleh rasa kesal saat membaca pesan masuk yang ternyata adalah dari Rei.
Bagaimana perjalanan pulangmu?
Rasa ingin menyalahkan Rei atas semua yang terjadi padanya hari ini begitu besar. Walaupun di satu sisi ia sadar betul tidak ada kaitannya Rei dengan semua ini. Namun, karena pesan Rei muncul di saat yang tidak bagus dan juga isi pesannya yang terdengar seperti sedang mengejeknya, Sora meletakkan semua penyebab rasa malu yang ia rasakan pada Rei. Ia berpikir, jika saja Rei pulang bersamanya, pasti ia tidak akan mengalami kejadian ini dan kerumitan ini.
Dengan tatapan seperti ingin membunuh, Sora mengetikkan pesan balasan untuk Rei dengan cepat.
Sangat sangat sangat menyenangkan. Seharusnya aku pulang seperti ini sejak dulu. Kau harus mencobanya Rei!
Selesai mengetikkan pesan balasan untuk Rei, Sora memasukkan kembali ponselnya dengan perasaan sebal. Saat itu juga, bus tujuannya yang ia tunggu - tunggu sejak tadi datang juga.
***
Di bawah sinar matahari yang menyelinap masuk melalui jendela yang ada di belakang punggungnya, Rei tengah menelusuri akun sosial media Sora untuk kesekian kalinya sambil menunggu - nunggu jika ada postingan terbaru darinya, entah itu kegiatannya hari ini ataupun gambar rancangan terbarunya.
Saat tengah menggulirkan layar ponselnya, sebuah pop up pesan masuk dari Sora muncul. Segera ia membukanya dan langsung tertawa hingga air matanya keluar karena ia tahu betul bahwa Sora mengalami kejadian yang sungguh tidak membuatnya nyaman saat di perjalanan pulang.
“Ahahahaha.. Aigoo cham (astaga).. Dia benar - benar tahu bagaimana membuatku tertawa.” , Seowoo berusaha menenangkan nafasnya sambil menghapus setitik air mata yang sudah keluar di ujung matanya.
Saat itu juga pintu ruangan Yuri mengajar terbuka. Anak perempuan yang bermain piano tadi dan juga seorang wanita yang adalah ibu anak perempuan tadi keluar dari ruangan tersebut, diikuti oleh Yuri di belakangnya.
“Terima kasih untuk hari ini seonsaengnim (guru).” , ucap sang ibu, “Siyeon-a, ucapkan terima kasih pada seonsaengnim.” , perintahnya pada anaknya.
“Gamsahabnida, seonsaengnim (Terima kasih, guru).” , anak perempuan yang dipanggil Siyeon itu membungkuk memberi hormat pada Yuri.
Yuri membalasnya dengan membungkuk sedikit sebentar, “naeil tto mannayo, Siyeon-a (Sampai bertemu besok lagi, Siyeon).” , balas Yuri sambil melambaikan tangannya.
“Ne (iya) ~” , Siyeon balas melambaikan tangannya pada Yuri.
Siyeon dan ibunya sejenak menatap Rei yang duduk di dekat jendela sebelum menuruni tangga. Meraka menatap Rei dengan sedikit rasa penasaran karena belum pernah melihat Rei ada disini sebelumnya.
“Aku tidak terlalu lama, kan?” , tanya Yuri menghampiri Rei begitu Siyeon dan ibunya telah benar - benar pergi dari situ.
Rei meraih es kopi yang ia beli di kafe sebelah tadi, “Cukup lama untuk membiarkan esnya mencair.” , ujarnya sambil memberikan es kopi yang cupnya sudah mengembun karena es di dalamnya mencair.
Walaupun sudah mencair, Yuri tetap menerimanya dengan senang hati, “Arigatou (Terima kasih).”
“Apa kau pulang sekolah langsung kemari?” , tanya Yuri sesaat setelah menyeruput es kopi yang sudah mencair.
Rei bangkit dari dududknya dan meraih tas ranselnya, “Tempat ini lebih dekat dari rumah dibandingkan dari rumahku. Jadi sekalian saja.”
Yuri mengangguk-angguk mengerti, “Kau sudah makan siang? Kudengar di cafe sebelah ada menu baru. Kau ingin mencobanya? Aku traktir.”
“TIdak baik untuk menolak. Kajja, noona (Ayo, kak).”
“Waenyol (Apa ini).. Akhirnya kau memanggilku noona.”
“Sebenarnya aku lebih nyaman memanggilmu nee-san (Kakak, dalam bahasa Jepang).” , balas Rei sambil menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal.
Sambil menutupi mulutnya, Yuri tertawa, “Hahaha, panggil aku senyaman dirimu saja, Rei. Aku akan mengambil tasku dan membereskan beberapa barang. Kau bisa menungguku di cafe.”
Dengan cepat Rei menggeleng, “Iee, iee (Tidak, tidak)! Ada seorang pria menyeramkan di bawah, aku akan menunggumu saja.”
“Pria menyeramkan? Maksudmu paman Chulsoo pemilik pegadaian di bawah? Kenapa? Apa kau takut?”
“Tidak.. Aku hanya khawatir.”
Mata Yuri menyipit sambil tersenyum meledek, “Ah~ Geurae~ (Oh~ Begitu~) Baiklah. Ayo masuk, kau belum pernah melihat ke dalam, kan?” , ajak Yuri. Dan Rei setuju.
***
Hari sudah mulai sore ketika Sora sampai di rumahnya dengan perasaan dongkol. Sepanjang jalan dari ia turun bus sampai rumahnya, perasaannya benar - benar tidak baik. Yang pasti ia harus segera berbenah sebelum waktunya berangkat ke tempat les.
Sora telah selesai mencuci wajah dan berganti baju. Dengan terburu - buru ia menuruni tangga menuju dapur untuk mencari jika ada sesuatu yang bisa ia makan sebelum pergi. Satu - satunya hal yang bisa ia dapatkan hanyalah mie instan cup yang ia beli sebulan yang lalu. Karena tidak ada pilihan lain selain mie instant tersebut, mau tidak mau Sora harus memakannya. Sebenarnya dalam hatinya ia merasa senang bisa makan mie instan tiga kali dalam minggu ini. Namun, disisi lain ia merasa bersalah karena melanggar aturan ayahnya yang mengijinkannya hanya makan mie instan maksimal tiga kali dalam seminggu. Mau bagaimana lagi, ia tidak punya pilihan lain dan tidak mau membiarkan dirinya kelaparan lebih lama lagi.
Hari sudah gelap saat Sora telah selesai dengan hal-hal rumah yang harus ia bereskan, sambil menenteng sepedanya dan tak lupa berpakaian tebal, Sora meninggalkan rumah untuk pergi ke tempat les. Sebelum menaiki sepedanya, tak lupa ia memasang earphone di telinganya dan memainkan playlist yang ada pada iPodnya.
“Sudah mau berangkat les, Sora?” , tegur seseorang dari belakangnya yang ternyata adalah tetangga sebelah, ibunya Rei yang juga tengah bersiap-siap akan pergi keluar bersama suaminya.
Melihat mobil yang dikendarai oleh ayah Rei menghampirinya hingga pintu depan mobilnya berhadapan dengannya, Sora segera membungkuk sebentar untuk memberi salam, “Ah, Annyeong haseyo, imo,” , intonasi Sora berubah menjadi lebih merendah saat akan menyapa ayah Rei, “ Annyeong haseyo, Rei abeonim,” , dan hanya dibalas dengan anggukan serta senyuman kecil untuk mewakili keramahan dan kewibawaannya. Berbeda dengan ibu Rei yang membalasnya dengan anggukan dan senyuman yang lebar hingga matanya pun ikut tersenyum.
“Bagaimana kabar ayahmmu, Sora?” , tanya ayah Rei menunjukkan keramahannya.
“Sangat sehat dan sibuk seperti biasanya.” , jawab Sora dengan senyuman ramahnya. Ayah Rei terkekeh mendengar jawaban dari Sora.
“Hari ini hari pertamamu di tempat les, Sora?”
“ Bagaimana imo (bibi) bisa tahu? Apa Rei yang memceritakannya pada imo?” , tanya Sora atas pertanyaan dari ibu Rei sebelumnya.
Kekehan ramah terdengar dari mulut ibu Rei, “Iya. Kau tahu, tidak ada yang tidak Rei ceritakan pada imo.” , mendengar hal itu, raut wajah ayah Rei berubah. Matanya menatap tak fokus pada stir kemudi.
“Omo (ya ampun), apa Rei juga menceritakan rahasiaku?” , balas Sora berpura-pura panik.
Melihat reaksi Sora, mengundang suara tawa dari ibu Rei, “Ahahaha, tidak. Rei hanya menceritakan hal - hal yang bisa ia ceritakan. Kau bisa percaya padanya, Sora.”
Mendengar jawaban seperti itu, Sora menunjukkan kelegaan di wajahnya yang ia buat-buat, “Dahaengida (syukurlah). Tadinya aku berniat balas dendam dengan menceritakan rahasia - rahasia Rei yang hanya aku dan dia yang tahu pada imo.”
“Haha, tidak perlu. Kau harus menyimpannya.”
“Oh? Imo mau pergi kemana?” , tanya Sora.
“Ah, ada makan malam bersama yang diadakan oleh teman - teman ayah Rei,”
“Oh iya, Sora,” , tambahnya, “Nanti jika bertemu dengan Rei, tolong katakan pada Rei untuk mengeluarkan pakaian dari mesin pengering. Kau juga sepulang dari tempat les, makan malamlah bersama Rei. Imo memasak tangsuyuk (tumis daging asam manis).” , mendengar kata tangsauyuk membuat perutnya kembali bergejolak karena rasa laparnya belum trpuaskan tadi.
“Wah pasti enak sekali~ Jal meokgo ssseubnida, imo (Aku akan makan dengan baik, bibi).”
“Kkk, datanglah sepulang les nanti.”
“Kami pergi dulu ya, Sora. Kau berhati - hatilah saat di jalan. Jangan sambil mendengarkan lagu dengan volume terlalu kencang.” , pamit ayah Rei.
“Ah, iya. Hati - hati di jalan.” , Sora membungkukkan sedikit tubuhnya lagi sebelum mereka melaju pergi.
“Astaga, aku akan terlambat di hari pertamaku!” , ingat Sora pada dirinya saat melihat waktu di jam tangannya. Segera ia membawa sepedanya melaju menelusuri jalanan.
Sekarang Sora punya rutinitas baru untuk ia jalani selama beberapa bulan ke depan atau bahkan sampai ia lulus sekolah menengah atas nanti. Malam hari yang biasanya ia habiskan untuk bersantai ataupun mengerjakan tugas dari sekolah, mulai malam ini, ia harus kembali memutar otak dan memaksa otaknya untuk berolahraga pada malam hari saat les.
Ia sadar betul, walaupun ayahnya adalah seorang dokter yang hebat, seseorang yang memiliki otak yang cerdas, ia sebagai anak semata wayangnya, tidak mewarisi kecerdasan dari ayahnya tersebut. Satu - satunya hal yang ia warisi dari ayahnya adalah bentuk bibirnya yang tipis, yang membuatnya terlihat dingin.
Tidak seperti Rei yang memang cerdas dan mudah baginya untuk mempelajari semua materi yang diajarkan di sekolah, bagi Sora sekarang tidak ada lagi waktu untuk bermain - main. Berangkat sekolah lebih awal untuk latihan, menghafal sambil makan siang, dan juga les di malam hari sepulang sekolah. Benar - benar tidak ada waktu untuk istirahat.