BAB TIGA PULUH DELAPAN

1072 Words
Begitu taksi yang ia tumpangi berhenti tepat di depan pintu masuk utama, Rei langsung berlari setelah memberikan uang tagihan argo yang tertera pada mesin argo. Rumah sakit merupakan tempat yang selalu ramai setiap harinya. Rei yang sudah sebesar ini pun hanya pernah sekali pergi ke rumah sakit saat menjenguk neneknya dulu, namun, itu pun ia langsung pergi ke kamar rawat inap dan tidak berkeliling. Melihat banyaknya orang dan sibuknya para tenaga medis, membuat Rei sedikit bingung tidak tahu harus pergi kemana. Ia hanya melihat sekeliling untuk memeriksa adakah orang yang tepat untuk ia tanyai. Di antara para dokter yang sibuk berlalu lalang berjalan dengan cepat - cepat seperti sedang di kejar sesuatu, Rei melihat seorang dokter wanita berambut pendek dengan kacamata bulat menghiasi wajahnya yang kebetulan sedang lewat di depannya. Dengan memakai baju polos berwarna biru muda yang senada dengan celananya, Rei bisa menebak dia adalah dokter yang menangani operasi jika dilihat dari pakaiannya. Ia sama seperti lainnya, berjalan dengan cepat seakan - akan tidak banyak waktu yang mereka miliki. "Chogiyo (maaf, permisi)," , interupsi rei yang tiba - tiba muncul di sampingnya. Melihat seseorang tengah memanggilnya, dokter tersebut menghentikan langkahnya dan mendengarkan, "Ne (iya)? Ada apa?" , tanyanya dengan tersenyum ramah namun tetap terlihat terburu - buru. "Aku baru saja diberi kabar temanku mengalami kecelakaan dan sudah diangkut ambulan dibawa kemari. Aku harus pergi kemana untuk menemuinya?" , jelas Rei langsung ke intinya karena tidak ingin mengganggu dokter cantik tersebut. "Kau bisa menemui temanmu di ruang Unit Gawat Darurat. Disana tempat pertama kami membawa para pasien kami untuk memeriksa keadaannya." , jawab dokter tersebut dengan ramah sambil menunjukkan ruangan besar di sebelah kanan mereka yang terlihat begitu sibuk dan langsung kembali melanjutkan langkahnya pergi. "Gamsahabnida (terima kasih)!" , ucap Rei menunduk memberi hormat segera setelah mendapatkan informasi yang ia butuhkan. Tidak menunggu lebih lama lagi, Rei langsung bergegas pergi ke ruangan yang disebutkan oleh dokter tadi. Ruangannya begitu ramai dan sibuk. Para perawat yang duduk di ruang adminisrasi juga sama sibuknya menjawab telepon - telepon yang masuk, menjelaskan pertanyaan - pertanyaaan yang diajukan keluarga pasien, dan juga memberikan kabar kepada dokter - dokter yang ada di ruangan tersebut tentang pasien - pasien mereka yang lain. Rei yang tidak ingin ikut mengganggu para perawat dan memilih untuk mencari sendiri. Dengan panik dan khawatir, Rei melihat satu per satu pasien yang sedang ditangani oleh dokter. Banyak jenis pasien yang dibawa ke ruangan ini yang artinya mereka semua adalah pasien baru. Rei selalu takut jika melihat pasien dengan luka yang parah, ia takut itu adalah Sora. Setelah melewati pasien luka bakar, hilang kesadaran, dan kecelakaan, akhirnya Rei menemukan Sora yang tengah terbaring. Dokter yang menanganinya masih ada di sampingnya tengah memeriksa pergerakan reflek bola mata Sora pada cahaya untuk mengecek apakah benturan yang terjadi pada kepalanya mempengaruhi reflek syaraf pada otaknya atau tidak. "Sora-ya!" , Rei bergegas menghampiri Sora yang sudah dalam kondisi kepala yang dililit kain kasa juga kaki kirinya dibungkus gips tebal dan digantung agar terus sejajar. Dokter dan perawat yang menangani Sora melihat ke arah Rei yang tiba - tiba muncul. Perawat perempuan yang sudah selesai membersihkan luka Sora dan membungkus kaki kiri Sora, pamit undur diri pada dokter yang menangani Sora. "Apa kau walinya?" , tanya dokter langsung pada Rei yang terlihat terpukul melihat keadaan Sora yang masih tidak sadarkan diri. Rei menoleh pada dokter, "Aku temannya." , jawab Rei dengan masih sedikit tersisa rasa panik di wajahnya, "Bagaimana keadaannya, dok?" "Choisonghabnida (Mohon maaf), aku tidak bisa memberitahumu keadaannya sampai walinya datang." , ujar dokter laki - laki tersebut memasukkan kembali senter kecil yang berbentuk seperti pulpen kembali kw dalam kanung saku jas dokternya. "Tapi dia tidak ada wali untuk saat ini. Ayahnya sedang pergi ke luar negeri. Ia tinggal sendirian beberapa hari ini." , jelas Rei menuntut jawaban. Dokter tersebut terlihat menimbang - nimbang keputusan apa yang akan ia lakukan untuk kasus ini, "Dia baik - baik saja. Kepalanya hanya terbentur aspal jalanan karena tabrakan itu, namun, hal itu tidak mencederai otaknya. Dan yang serius hanya kaki kirinya yang patah. Tidak perlu khawatir, ia hanya sedang tertidur." , jelas dokter tersebut dengan tenang. Rei tampak shock dengan penjelasan luka - luka yang dialami Sora. Walaupun yang dialami Sora merupakan yang paling ringan dibandingkan dengan pasien lain yang juga korban kecelakaan di ruangan ini, Rei tetap merasa itu hal yang cukup berat untuk dialami pemain basket seperti Sora. *** Ayah Sora bergegas langsung mengepak pakaian - pakaian juga barang - barangnya ke dalam koper dalam keadaan sedikit basah karena kehujanan tadi. Ia bahkan belum sempat mengabari pihak rumah sakitnya. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanya Sora. Segera setelah selesai mengepak semua yang ia bawa sebelumnya, ayah Sora langsung turun menuju lobi untuk check-out kamar. Taksi yang membawanya ke hotel dari tempat seminarnya masih menunggu di luar. Hujan masih deras seperti tadi dan belum ada tanda - tanda akan segera reda. Check-out selesai, ayah Sora menarik kopernya membawanya keluar hotel dengan terburu - buru. Supir taksi yang berbaik hati mau menunggu ayah Sora turun membantu untuk memasukkan koper berukuran sedang itu ke dalam bagasi belakang. Lima belas menit perjalanan, ayah Sora telah sampai di bandara. "Thank you so much, sir (terima kasih banyak, pak)." , ucap ayah Sora sambil memberikan uang tagihan dan uang lebih pada supir tersebut dan langsung begegas masuk ke dalam bandara. "One ticket to South Korea, please (Tolong satu tiket ke Korea Selatan)." , ujar ayah Sora dengan rambutnya yang basah. "I am sorry, sir (saya minta maaf, tuan). flights to Korea are being delayed due to bad weather. Is it okay to wait longer than scheduled (Penerbangan menuju Korea sedang tertunda karena cuaca buruk. Apakah tidak apa jika harus menunggu lebih lama dari jadwal)?” , jawab wanita yang melayani bagian pemesanan tiket. “Yes. It' okay. (Iya, tidak apa - apa).” , jawab ayah Sora terburu - buru. Wanita tersebut segera menuruti permintaan ayah Sora. Ia memberikan sebuah tiket pada ayah Rei segera setelah memasukkan informasi yang dibutuhkan. Dengan cemas, Ayah Rei menunggu hujan reda sambil tak habis - habisnya memikirkan Sora. Ia merasa kesal pada dirinya sendiri yang selalu meninggalkan Sora seorang diri disaat seperti ini. Namun ia tidak membiarkan perasaan bersalah itu terus berlarut - larut. Sambil menunggu, ia bicara pada pihak rumah sakit memberitahukan tentang keadaannya. Tak lupa ia terus berusaha mendengar kabar terbaru tentang Sora dengan menelpon ayah Rei yang ia minta tolong untuk menjaga Sora hingga ia datang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD