BAB 6. Surat Kontraknya Direvisi

1032 Words
“Kamu nih jalan aja lelet betul! Anakku sudah nangis-nangis dari tadi!” Ketika langkah Anggara menuju ke tangga lantai dua, barulah Ayara sadar kalau ternyata dia bukan sedang diusir, melainkan dibawa ke lantai dua, tepatnya ke kamar Alvino. Tampak Alvino kembali menangis kencang saat Suster Mira mencoba menempelkan dot botol s**u kembali ke bibir mungil sang bayi. Naluri keibuan Ayara langsung muncul begitu melihat Alvino, tanpa sadar dia menghentakkan tangan Anggara hingga terlepas. Lalu berjalan cepat menghampiri Mira. “Suster, biar aku saja yang gendong, ya. Pasti Alvino lapar.” Mira mengangguk. Dia langsung merasa lega melihat Ayara. Perlahan diulurkannya kedua tangan, sekarang bayi Alvino telah berpindah ke pelukan hangat Ayara. Refleks Alvino menyundul-nyundulkan kepala dan wajahnya ke d**a Ayara. Dia seperti telah mencium aroma ASI dan sangat menginginkannya. Tatapan mata Anggara terus tertuju pada putranya, tangisan sang bayi seketika berubah menjadi rengekan manja. Suara kecilnya terdengar sangat menggemaskan. “Alvino Sayang, lapar ya? Yuk Mama Yara susuin, ya.” Deg. Hati Anggara seketika berdesir mendengar kalimat sederhana Ayara. Mendengarnya, antara marah tapi … menarik. Ayara duduk di sofa, sudah akan membuka kancing bajunya ketika sorot matanya menatap balik Anggara. “Umm Tuan … aku akan menyusui Alvino. Bukannya aku mengusir tapi ….” Anggara mengangkat kedua alis. “Ah iya, aku hanya mau memastikan saja tadi, Alvino bisa tenang denganmu. Ya sudah, aku akan keluar,” ucapnya kaku. Lalu melangkah keluar kamar dan menutup pintunya. Rasa kantuk Anggara telah hilang, dia tidak mau kembali ke kamar. Maka Anggara masuk ke ruang kerja. Tadi sudah masuk email dari Theo, ada notifikasi di handphone. Sudah tentu tentang surat kontrak yang dimintanya. Anggara segera membuka laptop dan mengecek email masuk. Kedua bola matanya langsung memicing, membaca surat kontrak yang dibuat oleh Theo. Namun ada beberapa point yang menurutnya tidak sesuai. Dia harus merubahnya. Anggara berpikir sejenak, detik kemudian dia mulai mengetik. Merubah di beberapa bagian pada surat kontrak. Setelah merasa puas dengan hasilnya, Anggara tersenyum. Dia print surat kontrak kerja yang berjumlah tiga lembar. Dia berjalan keluar ruang kerja menuju kamar Alvino. Sudah tidak sabar rasanya ingin memberikan surat kontrak itu pada Ayara. Namun, kening Anggara mengernyit ketika melihat Suster Mira tertidur di sofa panjang di sana. Ada satu ruangan terbuka di lantai dua yang berupa ruang keluarga juga, tapi lebih kecil daripada ruang keluarga di lantai bawah. “Suster Mira tidur di luar?” gumamnya heran. Pintu kamar Alvino seperti biasa tidak terkunci. Baru satu langkah masuk, kedua bola matanya langsung membulat sempurna. “Ck ck … bisa-bisanya dia tidur senyenyak itu di kamar anakku.” Anggara menghela napas kasar. Dia berjalan menghampiri tempat tidur besar, biasanya di sana tidur Suster Mira bersama Alvino. Atau kadang Alvino tidur di box bayi di samping ranjang. Namun begitu dia sudah berdiri tepat di samping ranjang, seketika Anggara justru terpaku. Memandangi Alvino yang tidur dengan posisi menyamping, tubuh mungilnya disanggah oleh guling. Di sebelahnya tidur terlentang Ayara dengan begitu nyenyak, bahkan terdengar suara dengkuran halus. Yang membuat Anggara terpana adalah, Ayara tidur dengan kedua tangan dan kedua kaki terbentang lebar. Bibirnya sedikit terbuka. Dan … ujung bajunya tersingkap, hingga perut ratanya terlihat sebagian. Anggara geleng-geleng kepala. Rasa kesalnya lebur seketika. Dia justru menarik selimut hingga menutupi tubuh Ayara sampai ke lehernya. Ayara terlihat menggerakkan tubuhnya. Sebelah tangan memeluk selimut, sebelah lagi turun hingga menyentuh kepala Alvino. Seperti sedang mengusap kepala bayi mungil itu. Anggara tersenyum. Sebelum keluar kamar, Anggara mematikan lampu kamar, menggantinya dengan lampu tidur yang lebih redup. Barulah dia menutup pintu kamar rapat-rapat. Diliriknya jam di pergelangan tangan, sudah hampir jam empat pagi. Anggara memilih turun untuk membuat kopi. Para pelayan di lantai bawah juga masih belum terlihat. Rumah masih sepi. Pastinya mereka belum terbangun. Menikmati secangkir kopi hangat di teras depan rumah. Sambil menghirup dalam-dalam udara pagi yang sejuk dan segar. Sendirian begini, membuat Anggara lagi-lagi mengulang semua kenangan bersama mendiang Freya, di kepalanya. Bahkan usia pernikahannya baru dua tahun bersama Freya, sudah harus ditinggal selamanya dengan cara setragis itu. Terbayang pernikahan megah mereka yang bahkan sampai diliput media lokal. Namun secepatnya berganti dengan bayangan saat dirinya mengantarkan tubuh dingin Freya ke peristirahatan terakhir. Tanpa terasa kedua bola mata Anggara memerah. Sebelum air matanya turun, cepat dia tekan dengan punggung tangan. Bahkan dalam keadaan sedang sendiri begini, Anggara masih tetap berusaha tegar, tidak menumpahkan rasa sedihnya. Secangkir kopi sudah mau tandas, Anggara berjalan masuk kembali ke dalam rumah, menuju kamarnya di lantai dua. Tidak lama, dia sudah keluar lagi dengan setelan olahraga. Anggara memang terbiasa bangun sebelum waktu Subuh lalu olahraga lari pagi mengitari komplek perumahan. Sebelum dia bersiap berangkat kerja. Olahraga selain menyehatkan badan, bagi Anggara juga bisa menyehatkan pikirannya. Dia yang introvert dan bahkan para karyawannya di kantor juga terlalu segan dengan sang CEO, memilih kegiatan lain yang tidak berhubungan dengan banyak orang, di luar aktifitas kerja dengan jadwal padat. Anggara sedang istirahat sebentar dengan berjalan pelan ketika telepon masuk dari Theo. “Ya. Hallo?” “Ga! Jangan lupa pagi ini ada meeting dengan Angkasa Group.” Theo tahu persis sahabatnya ini bukan tipe orang yang suka berbasa-basi. Maka urusan pekerjaan Theo akan langsung pada intinya saja. Kecuali jika mereka sedang membahas di luar urusan kantor. “Oke. Di kantor atau di luar, ya?” “Di kantor, Ga. Tim Angkasa kan selalu inginnya pertemuan yang formal dan efektif. Mana mau mereka sambil ngobrol santai di restoran atau di café.” “Oke. Lo atur aja. Gue jam tujuh nanti paling lambat berangkat dari rumah. Kalau mereka sampai duluan, suruh tunggu. Menunggu bos besar sebentar itu hal yang biasa, kan.” Terdengar suara kekehan Theo di seberang telepon. Theo tahu persis, Anggara sedang tidak bercanda saat mengucapkannya. Tapi tetap saja kalimat-kalimat penuh kesombongan Anggara telah terbiasa menjadi hiburan baginya. “Ngomong-ngomong, sudah baca surat kontraknya, kan?” “Hemm ya … sudah.” “Oke. Bagaimana? Pas, kan?” Anggara mendengkus malas. “Apanya yang pas, banyak yang gue revisi kok.” Theo sontak melotot di seberang telepon. Dia sudah membuat surat kontrak sedemikian sempurna. Setiap tugas yang diberikan padanya nyaris tidak pernah ada cela. Tapi hanya sekadar surat kontrak sederhana untuk ibu s**u bayi Alvino, kenapa sampai ada yang harus direvisi? “Hah! Apanya lagi yang direvisi?!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD