BAB 7. Wanita Itu Mempesona, Tapi Angkuh

1120 Words
Anggara masih melanjutkan lari pagi sekitar lima belas menit, barulah dia pulang. Baru saja sampai gerbang rumahnya, dia sudah disambut satpam rumah dengan tatapan cemas. “Ada apa, Pak?” “Aduh! Umm itu Tuan … mbaknya itu loh, sudah saya bilangin tapi ngeyel.” Satpam itu garuk-garuk kepala yang tak gatal. “Mbak siapa yang dimaksud? Pelayan di sini ada banyak, Pak. Kalau bicara yang jelas.” Anggara paling malas buang-buang waktu untuk alasan yang tidak jelas. “Itu, Pak! Mbak yang itu!” Pak satpam menunjuk ke arah teras rumah. Segera Anggara melangkah memasuki halaman rumah yang luas. Keningnya langsung mengernyit seiring dengan langkah yang melambat. Tapi arahnya pasti, menghampri seorang gadis yang sedang mengeringkan rambut panjang dengan handuk. Tidak hanya itu yang membuatnya heran, tapi sebuah tali tambang panjang membentang di depan gadis itu, dengan beberapa lembar pakaian yang tergantung. “Ayara?” “Astaghfirullah!” Ayara tersentak. Dia langsung memutar badan menghadap Anggara. Wajahnya pias seketika dan segera dia rapikan rambut dengan jari. Tentu rambut setengah kering itu masih acak-acakan karena cara Ayara mengeringkannya dengan menjatuhkan seluruh rambutnya ke arah depan. “Sedang apa kamu di sini?” Tatapan dingin sekaligus nada suara yang datar. Glek. Ayara meneguk saliva dengan susah payah. “Umm a—aku sedang mengeringkan rambut, Tuan. Tadi habis keramas. Aku kira, Tuan sudah berangkat kerja.” Ayara tampak sangat canggung. Kalau dia tahu sang pemilik rumah masih berkeliaran di sini, tentu dia tidak akan ke depan rumah hanya untuk mengeringkan rambut. Ayara pasti akan lebih memilih duduk saja di pojokan kamar. Sambil menunggu waktunya meng-ASI-hi lagi. “Dan itu, apa?” Sorot mata Anggara beralih tertuju pada barisan pakaian yang menggantung di tali tambang. Lengkap dengan pakaian dalam. Ayara sontak menarik pakaian dalam dari tali gantungan lalu menyembunyikannya di balik punggung. “Ma—maaf Tuan, aku hanya ingin menjemur pakaian, karena aku tidak punya baju ganti lain. Ini saja aku dipinjemin baju dari Suster Mira.” Anggara jadi refleks memindai baju yang dikenakan Ayara. Sebuah daster dengan panjang selutut. Pas sekali di badan ramping Ayara, sebab ukuran badan keduanya hampir sama, hanya saja Ayara sedikit lebih kurus dari Mira. Namun sorot mata Anggara berhenti beberapa detik di satu arah. Bagian d**a Ayara tampak begitu menonjol. Apalagi dengan tubuhnya yang terbilang kurus, menjadi kontras sekali. Beruntung Anggara segera sadar dan mengalihkan pandangan, meskipun isi pikirannya sibuk sekali. Memerintah untuk kembali melihat ke arah d**a Ayara yang menggoda. “Umm itu!” Anggara menunjuk pada tali jemuran yang masih terbentang. “Jadi kamu mencuci sendiri lalu menjemurnya di sana? Ayara mengangguk dengan raut wjaha polos tanpa bersalah. “Di sini sinar matahari paginya bagus sekali, Tuan! Tenang saja Tuan, nanti siang kalau sudah kering akan segera kuangkat. Tapi … kalau boleh tali jemurannya jangan dilepas, ya. Untuk aku jemur pakaian setiap pagi. Kan bajuku hanya satu jadi—” “Huft! Nanti sore, aku akan pulang kerja lebih cepat, jam lima kamu harus sudah siap, kita pergi beli baju untukmu.” Seketika bola mata Ayara berbinar. Terlihat indah sekaligus aneh di mata Anggara. Karena ini hanya soal membeli baju baru, tapi raut wajah Ayara langsung terlihat begitu bahagia meskipun dia belum mengucapkan apa-apa. Anggara mengibaskan tangan di depan wajahnya. “Jangan besar kepala! Aku mau membelikan kamu baju baru hanya karena tidak mau ibu s**u anakku terlihat lusuh. Memalukan!” Anggara sudah akan melangkah pergi dari sana, tapi kemudian dia membalik badan. "Dan, Ayara, lepaskan tali tambang itu! Baju kotormu cukup berikan pada pelayan di sini, mereka yang akan mengurusnya. Jangan pernah mencuci baju sendiri, apalagi di kamar mandi kamar, itu … aneh.” Lalu Anggara benar-benar pergi dari sana. Menuju kamarnya sendiri untuk mandi. “Kan Neng, apa Bapak bilang, nggak boleh ngejemur pakaian di sini. Biar Bapak aja yang lepasin talinya.” Pak satpam yang sejak tadi memperhatikan dari gerbang pagar, telah berdiri di dekat Ayara. Tanpa menunggu jawaban Ayara, dia segera melepaskan tali tambang yang terbentang di antara dua pohon palm botol tinggi. Sedangkan Ayara langsung mengambil sisa pakaian yang tadi masih tergantung. “Terima kasih, Pak.” “Sama-sama, Neng.” Terdengar klakson dari arah luar gerbang pagar, pak satpam yang sudah melepaskan tali tambang segera berlari untuk membukakan gerbang. Karena tombol pembuka pintu gerbang otomatis ada di dalam pos satpam. Perhatian Ayara ikut terarah ke pintu gerbang yang perlahan terbuka. Sebuah mobil sedang putih yang terlihat begitu mewah di mata Ayara, memasuki halaman mansion. Karena begitu terpesona dengan betapa mewahnya mobil itu, mengkilap dan terlihat sangat keren. “Wahh,” decak Ayara. Dia lupa masih memegang pakaian basah dan bukannya langsung masuk saja ke dalam untuk memberikannya pada pelayan. Pintu mobil depan bagian pengemudi terbuka. Seorang wanita cantik berpakaian sangat modis turun dari mobil. Dia melepas kacamatanya seraya mengibaskan pelan rambut panjangnya yang pirang bergelombang. Ken yang entah datangnya dari mana segera mengambil alih mobil itu untuk membetulkan letak parkirannya, supaya rapi karena ada dua mobil lain yang di luar garasi juga. “Wahhh!” Ayara kembali berdecak kagum. Kali ini karena begitu terpesona pada kecantikan wanita yang sedang berdiri dengan sangat anggun itu. Sampai tidak sadar mulutnya sudah setengah menganga. Saat menoleh, wanita cantik itu baru sadar ada seseorang berdiri di sana, sedang menatapnya tak berkedip. Keningnya mengernyit, baru kali ini melihat ada penghuni mansion sebegitu kumuhnya. Langkahnya anggun mendekati Ayara. Aroma parfum mahal semerbak menyerbu indera penciuman Ayara. Membuatnya semakin terpesona pada wanita cantik jelita dengan tubuh langsing yang menjulang tinggi. Ayara mengira-ngira, tinggi wanita ini hanya beberapa senti di bawah tinggi Tuan Besar Anggara. Ketika mereka telah berdiri saling berhadapan, bahkan Ayara harus agak mendongak. “Siapa kamu?” tanyanya dengan raut datar. Dari nadanya, tidak ramah sama sekali. Ayara tersadar. Dia segera mengangguk sekali seraya tersenyum. Tangan kanannya terulur sampai beberapa potong baju terjatuh ke lantai. “Nama saya Ayara. Saya adalah ibu susunya bayi Alvino.” Masih tersenyum. Dan masih menunggu uluran tangannya mendapat sambutan. Namun jangankan menerima uluran tangan Ayara untuk bersalaman. Melihat Ayara saja ekspresi wajahnya seperti jijik. Dia mengangkat kedua alis sambil melihat sekilas ke tangan Ayara yang masih terulur. Lalu dia melihat ke arah lantai. “Astaga, itu bra kamu? Sampai melar begitu masih dipakek? Ck ck, bisa-bisanya Anggara memperkerjakan orang seperti kamu.” Tanpa mempedulikan tatapan kebingungan Ayara, wanita itu melenggang masuk ke dalam mansion. Baginya, bukan levelnya untuk bersalaman dengan seorang pelayan atau pengasuh seperti Ayara. Ayara perlahan menarik kembali tangannya. Lalu memungut bra serta baju atasan dari lantai. Dengan wajah murung Ayara ikut masuk. Pak satpam geleng-geleng kepala melihat itu. Lalu kembali ke pos depan. Wanita cantik berpakaian modis terus melenggang santai lalu duduk di ruang tengah. Seorang pelayan yang melihat kedatangannya langsung berjalan cepat, mendekat. “Nona Gwen, ada yang bisa saya bantu?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD