BAB 8. Pujian Tulus

1154 Words
Wanita cantik bernama Gwen itu mendongak. “Di mana tuanmu?” “Oh … Tuan Anggara sedang dikamarnya, Nona. Tuan tadi habis olahraga lalu—” Terhenti seketika. Ucapan sang pelayan dihentikan oleh tangan kiri Gwen yang terangkat. Tanpa bicara lagi, dia berdiri lalu melangkahkan kaki jenjangnya menuju tangga ke lantai dua. Sang pelayan hanya mampu geleng-geleng kepala lalu pergi dari sana. Dengan langkah teratur dan lenggak-lenggok yang anggun, Gwen menaiki anak tangga lalu menyusuri koridor lantai dua yang cukup panjang. Mansion itu memang terlalu besar untuk hanya ditempati oleh Anggara bersama para pelayannya. Dia berhenti di depan pintu kamar Anggara. Diketuknya pintu beberapa kali, tidak ada jawaban. Berpikir sebentar lalu tersenyum tipis. Tangannya terulur menekan knop pintu. Tidak terkunci. Dengan leluasa Gwen melangkah masuk setelah menutup pintunya kembali. Dihirupnya dalam-dalam aroma parfum maskulin yang menguar seketika. Ya, setelah Freya meninggal dunia, tidak ada lagi campuran wewangian feminin di dalam kamar utama ini. Terdengar suara gemericik air shower yang pecah di lantai vinyl kamar mandi. “Ohh rupanya sedang mandi kamu, Ga,” gumam Gwen seraya tersenyum kembali. Menunggu Anggara selesai, dia memilih duduk di sofa depan TV besar. Menunggu sekitar sepuluh menit, pintu kamar mandi itu terbuka. “Astaga! Gwen?!” Anggara benar-benar kaget. Melihat Gwen duduk di sana. Yang sekarang sedang tersenyum padanya tanpa rasa berdosa sedikitpun. “Hai, sudah mau berangkat kerja, ya? Bos kok pagi-pagi banget sih berangkatnya." "Ck Gwen, kalau masuk kan bisa ketuk pintu dulu. Jangan asal nyelonong saja dong!” Anggara protes tanpa mempedulikan pertanyaan Gwen. Sebab dia paling tidak suka area pribadinya diganggu seperti ini. “Sudah, Anggara. Tapi karena nggak ada jawaban jadinya yaa aku langsung masuk. Lagipula kamar mu tidak dikunci. Di mana salahnya sih? Aku kan adik iparmu.” Lagi-lagi kalimat terakhir itu yang selalu menjadi tameng Gwen untuk membenarkan segala tingkahnya. “Itu salah, Gwen. Adik ipar bukan adik kandung. Berbeda. Sekarang tolong keluar dari kamarku. Aku mau pakai baju dan harus cepat berangkat ke kantor.” Nada suara Anggara berusaha ditekan selembut mungkin. Dia tidak ingin berdebat dengan wanita yang satu ini. Sebab bisa panjang nanti efeknya. “Hemm.” Gwen menggeleng. Senyumnya dibuat manis sekali. Gwen bangkit dari duduknya lalu berjalan ke arah Anggara. “Mau apa kamu? Sudah kubilang aku mau pakai baju.” Rautnya mulai menunjukkan rasa tak nyaman. Namun Gwen si keras kepala terus berjalan. Ketika beberapa langkah lagi mendekati Anggara, dia berbelok dan masuk ke ruang walk in closed. Ruangan itu ada di belakang Anggara. Dengan kesal Anggara mengikuti Gwen. “Gwen! Mau apa kamu?” ulangnya lebih kencang. “Aku hanya mau ambil baju kerjamu di lemari, Anggara. Biasanya Freya kan yang menyiapkan? Nah mumpung aku di sini pagi-pagi, biar aku saja yang menyiapkan.” Gwen telah membuka lemari pakaian besar. Dia sedang memilih beberapa setelan kerja yang tergantung. “Gwen!” Terpaksa Anggara menarik tangan Gwen karena gadis itu selalu saja tidak menurutinya. Gwen sengaja mengikuti saja arah tarikan Anggara, hingga dia menabrak tubuh Anggara yang hanya berbalut handuk dari pinggang sampai atas lutut. Dan Gwen tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Dia langsung memeluk tubuh atletis Anggara. Namun hanya sebentar karena Anggara refleks mendorongnya, tidak kencang tapi cukup membuat pelukan itu langsung terurai. “Apa-apaan kamu, Gwen!" "Loh? Kan kamu yang narik aku, gimana sih?! Ah dasar aneh! Sudahlah kamu diam dulu, aku akan ambilkan baju kerja untukmu dan selesai. Itu saja kok.” Tanpa pedulikan raut kesal Anggara, Gwen kembali beralih pada lemari pakaian yang masih terbuka. Anggara menghela napas panjang. Oke, kamu bilang tadi setelah menyiapkan baju kerjaku maka selesai. Akan aku biarkan kali ini supaya kamu cepat keluar dari kamarku. Sungguh sangat menganggu ada orang lain di kamarku! Anggara hanya bisa meluapkan dalam hatinya. Dia menunggu dengan tidak sabar. Sampai Gwen memegang dua stel baju kerja beda warna di kedua tangannya. “Nah, kamu pakai baju kerja yang mana?” “Coklat muda,” jawab Anggara dengan cepat. Baginya bukan soal memilih baju kerja, tapi dia ingin segera berpakaian lalu berangkat kerja. Sorot mata Gwen berbinar, dia mengulurkan stelan coklat di tangan kanannya. “Kulitmu yang putih bersih memang cocok sekali dengan warna-warna lembut seperti ini, Ga.” “Oke, terima kasih. Sekarang, bisa kamu keluar dulu dari kamarku, Gwen? Supaya aku bisa berpakaian.” Gwen terkekeh kecil. “Tentu saja.” Lalu melangkah dengan kaki jenjangnya yang seksi, keluar dari kamar Anggara. Tepat saat itulah dia melihat Ayara yang akan masuk ke kamar Alvino. Raut wajahnya langsung berubah. “Hei kamu! Tunggu!” Melangkah lebih cepat menghampiri Ayara yang tidak jadi memegang knop pintu. “Iya, Nona?” Tidak lupa Ayara dengan senyuman ramahnya. “Siapa namamu tadi?” tanya Gwen ketika sudah berdiri di depan Ayara. “Namaku Ayara, Nona. Dan nona ini … bernama Nona Gwen, bukan? Namanya cantik sekali, persis seperti orangnya, sangat cantik!” Tulus sekali. Pujian Ayara apa adanya, sesuai dengan apa yang dia pikirkan. Gwen tersenyum tipis. Dia senang mendapat pujian itu tetapi begitu sadar yang memuji hanyalah seorang karyawan di mansion, senyumnya hilang seketika. “Semua orang tahu itu, dan kalau kamu pernah menonton TV, kamu juga pasti tahu kalau aku seorang model sekaligus desainer. Ah tapi sudahlah, mana mungkin kamu tahu.” “Wahhh!” Kedua kelopak mata Ayara melebar dengan bibir sedikit terbuka. Dia semakin kagum pada Gwen. “Oh iya maaf Nona Gwen, saya harus masuk, sudah waktunya menyusui Alvino.” Gwen tidak menjawab, hanya mengibaskan tangannya seperti sedang mengusir Ayara. Ayara mengangguk dan masuk ke kamar Alvino. Namun diam-diam Gwen masih mengikuti tubuh Ayara dengan lirikannya sampai menghilang di balik pintu. Sial! Sepertinya dia masih muda. Cantik sih tapi kampungan. Tapi … aduh! Bagaimana kalau dia sampai merayu Anggara. Meskipun kampungan dan buluk begitu, kalau dipoles yaa pasti akan cantik sekali. Terlihat dari garis wajahnya. Bisa gawat ini! “Eh apaan sih” Gwen segera menghempaskan segala isi pikirannya. “Dia bukan sainganku!” bisiknya pada diri sendiri lalu segera berjalan menuju lantai bawah. Gwen tahu kebiasaan Anggara. Setelah ini pasti pria tampan sang kakak ipar akan sarapan di ruang makan. Maka Gwen kesana lebih dulu. Aneka menu sarapan sehat dan lezat sudah tersedia di meja persegi panjang yang benar-benar panjang. Dikelilingi hingga enam belas kursi. Gwen langsung duduk di salah satu kursi, dilihatnya seorang pelayan sudah siap di sana. Berdiri menunggu perintah. “Pelayan! Siapkan minuman untuk saya dan tuan besarmu!” “Baik, Nona Gwen.” Saat pelayan menyiapkan dua gelas bening tinggi untuk Anggara dan Gwen, saat itulah Anggara memasuki ruang makan dengan segala pesona ketampanannya. Auranya bagaikan seorang CEO dari drama Korea, benar-benar menggoda. Tepatnya, benar-benar menarik perhatian Gwen. Dengan tersenyum semanis mungkin Gwen memandang Anggara. Nyaris dia ingin memanggilnya sayang. “Anggara, ayo kita sarapan dulu.” “Kamu sarapan saja ya, aku harus berangkat kerja sekarang.” Dengan cepat Anggara melewati ruang makan. Tentu saja Gwen tidak akan tinggal diam. Dia segera bangkit dari duduknya untuk mengejar Anggara. Tapi …. Bruk! “Aduh!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD