Aidan sungguh tidak bisa menahan dirinya. Screenshot akun i********: yang dikirimkan Diego membuatnya sangat penasaran. Awalnya mati-matian ia menahan diri untuk tidak melihat-lihat postingan Liana. Namun sekarang, yang ia lakukan bukannya mengecek laporan-laporan penting. Melainkan membuka aplikasi i********: dan mencari tahu isi akun Liana.
Tangan Aidan me-scroll layar ponselnya. Kira-kira ada sekitar seratus tiga puluh delapan post-an Liana sejak tiga tahun lalu. Akun wanita itu benar-benar baru, tidak memakai akun lama lagi.
Aidan berdecih melihat foto Liana bersama seorang pria, tersenyum bahagia di depan kamera. Latar tempat di foto itu adalah pantai.
Mereka berlibur, eh?
Sekali lagi Aidan berdecak lalu beralih melihat postingan-postingan yang lain. Dari pada melihat Liana dan Pria itu terus, emosi yang menguasai dirinya.
Tidak banyak foto Liana di sana. Hanya ada beberapa foto selfie Liana dan foto anak kecil yang wajahnya tak terlihat dan juga pria asing. Selebihnya adalah foto makanan yang terlihat menggugah selera.
Saat sudah di postingan terakhir, mata Aidan membulat melihat seorang bayi berada dalam dekapan seorang wanita. Foto itu diambil dari sisi samping dan dari atas. Jadi hanya menampakkan sekilas wajah wanita itu dan menampilkan full foto sang bayi.
Aidan merasa pasokan udara di sekitarnya menipis. Ia yakin sekali sosok wanita itu adalah Liana yang tengah duduk di bangsal rumah sakit dan dengan seorang bayi. Apakah anak laki-laki yang wajahnya tak terlihat itu adalah bayi itu?
Gejolak emosi benar-benar menguasai Aidan. Lelaki itu mencoba memasangkan tiap-tiap kepingan puzzle saat pengkhianatan Liana terjadi.
Jika di hitung sejak empat tahun yang lalu. Empat tahun lalu mereka berpisah karena pengkhianatan Liana terungkap, dan sekitar tiga tahun lalu Liana melahirkan. Bukankah sangat jelas? Hasil dari pengkhianatan wanita itu terbukti, wanita itu melahirkan sekitar setahun kemudian.
Brengsek!
Aidan melempar ponselnya ke lantai. Pria itu mengeram kesal. Harusnya ia tidak semarah ini, ia sudah tau Liana berselingkuh empat tahun lalu. Tapi mengetahui Liana memiliki anak membuatnya geram.
Selama setahun menikah dengan dirinya saja tidak ada tanda-tanda kehamilan yang Liana tunjukkan, tapi dengan pria lain? Sialan!
Aidan tidak tahu lagi harus menyematkan kata makian apa lagi untuk pada Liana. Atau pada dirinya yang dulu tak bisa membuat wanita itu mengandung anaknya.
***
Kemarin Liana sudah meminta cuti sehari pada atasannya yang tak lain adalah Darian.
Hari ini Noah meminta jalan-jalan. Setelah bocah itu menangis dan berkata tidak ingin mengetahui sosok sang Ayah, Noah dengan tegas ingin berpergian dengannya seharian penuh.
"Noah, kamu mau jalan-jalan ke mana?" tanya Liana. Tangannya mengusap kepala Noah, anaknya telah rapi dan tengah menonton kartun kesukaannya. Spongebob Squarepants.
Noah menggeleng, "Nggak jadi deh, Ma. Enakan di khumah. Kita nonton sama masak-masak aja, Noah kalau besakh mau jadi chef."
Liana menatap Noah heran, "Lho, kenapa tiba-tiba mau jadi chef? Katanya mau jadi bos."
Noah menggeleng, "Udah nggak minat." Noah menjawab sekenanya. Mata bocah itu menatap televisi dengan khidmat dan tubuh yang ia rebahkan.
Liana hanya tersenyum kecil, memaklumi sikap yang ditujukan Noah.
"Ya udah, Mama siapin bahan masakan dulu ya. Kamu pasti lapar, belum sarapan." Noah hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Yah iklan..." Noah mendesah kecewa.
Mata Noah tidak berpaling ke televisi, justru matanya menatap minat ke iklan yang sedang di tampilkan.
Tiba-tiba dahi Noah mengerut dalam, ia tidak begitu mengerti bahasa orang dewasa. Tapi telinganya menangkap suatu kata bos dan perusahaan internasional yang sukses. Noah mengerti akan kata sukses.
Noah mengambil iPad milik Liana yang tergeletak di atas meja lalu memfoto iklan tersebut. Setelah selesai ia berlari menuju dapur.
"Mama lihat ini! Ini bacanya apa? Noah lihat di tipi, Oom nya kekhen deh, kayak Om Dakhian. Ganteng juga." Noah menyerahkan iPad tersebut pada Liana.
Noah menatap Liana yang terdiam membaca deretan kalimat yang terfoto oleh Noah. "Tadi ada kata seolang bos yang sukses. Kata Om Dakhian sukses itu bisa bikin okhang tua bangga, Noah nggak mau jadi chef lagi. Maunya jadi bos kayak Oom itu, biakh Mama bangga," lanjut Noah dengan antusias.
"Ih Mama kok nggak jawab?! Itu bacanya apa, Ma? Kan Noah belum bisa baca, bakhu bisa bicakha," celoteh bocah itu.
Liana mengelus kepala Noah. "Kamu beneran mau jadi bos?"
Noah mengangguk mantap lalu anak itu menatap Liana sebal, "Kok Mama malah balik nanya?"
"Tadi di iklannya ada disebutin nama bosnya, tapi Noah lupa. Di tulisan foto itu ada nggak, Ma?" Noah kembali heboh sambil melirik iPad yang kini berada di tangan Liana.
Liana mengangguk, "Tulisan di sini kamu mau tau atau mau tau banget?"
"Dua-duanya."
Liana menghela nafas. "Di sini tertulis, seorang pengusaha sukses asal London bernama Aidan Winston..." Tenggorokan Liana terasa tercekat. Kalimatnya tak terucap lagi, ia menatap Noah dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Lanjut, Ma!" desak Noah. Bocah laki-laki itu menatap Liana tidak sabaran.
Liana mengatur napasnya, ia tidak ingin mengecewakan Noah. "Di sini tulisannya, Bos besar yang sukses. Udah selesai," lanjut Liana. Ia mengakhiri sesi membaca artikel itu dengan cepat.
Noah mengangguk paham. "Noah benekhan mau jadi bos. Mama tenang aja, nanti Mama jadi bangga sama Noah," ucap bocah laki-laki.
Liana tersenyum kecil, lalu mengangguk. "Noah pasti bisa!"
Liana tidak akan melarang putranya melakukan apa yang ia inginkan. Walaupun tadi Noah menunjukkan foto sosok pria yang harusnya ia panggil dengan sebutan Papa, itu tidak akan membuat Liana melarang putranya tersebut.
***
Liana dan Noah tengah menanam bunga di halaman belakang rumah. Tiba-tiba, Liana ingin menanam bunga dan mempercantik halaman belakang rumah, kebetulan pula Noah ingin membantu.
Kringg... Kringg ...
"Noah! Noah!!"
Gerakan Noah yang sedang membenamkan akar dari bunga melati pun terhenti. Matanya menatap Liana heran.
"Siapa, Ma?"
"Kayaknya Keanu deh," sahut Liana. Wanita itu menatap Noah yang menghela napas berat, "Kamu bukain gih pintu. Suruh Kean masuk," titah Liana.
Noah menggeleng, "Males. Lagi nggak mau main sama Kean."
Liana menangkap gelagat lesu yang Noah tunjukkan saat mendengar nama Kean. Apakah terjadi sesuatu pada mereka?
"Kamu berantem sama Kean?" tanya Liana lembut.
Noah menggeleng cepat, "Nggak bakhantem."
Liana menghela napas, ia berdiri dan berjalan menuju pintu.
"Noah nya mana?" tanya Keanu tidak sabaran.
"Ada tuh, di halaman belakang. Kamu sendirian ke sini?"
Keanu menggeleng, "Sama Papa. Papa nunggu di mobil."
Liana mengangguk paham, lalu menggiring Keanu menuju Noah.
"Noah..."
Noah yang sedang memainkan tanah menggunakan sendok semen pun menoleh.
"Main yuk! Papa mau ngajak kita main ke timezone Mal. Dia libur katanya," ajak Keanu antusias.
Noah tidak langsung menjawab, ia menatap Liana.
"Noah mau ikut? Nggak papa kok, main aja sama Kean. Mama izin kan," ucap Liana.
Noah menggeleng malas. "Malas."
Keanu mendesah kecewa, tak habis akal ia mencoba membujuk Noah lagi.
"Ayolah, Noah! Kita beli es krim deh, sama permen." Keanu menatap Noah yang sedikit mulai terpancing dengan bujukannya, "Beli robot juga," lanjut Keanu.
"Enak lho, dari pada di rumah. Main sama Kean aja ya?" Liana ikut-ikutan membujuk.
Hari ini Liana memang merasa ada yang tidak beres dengan Noah, maka dari itu lebih baik hari ini Noah bermain bersama Keanu puas-puas. Biasanya ia tidak memperbolehkan Noah pergi tanpa dirinya.
"Ya udah Noah ikut, tapi Kean jangan nakal," sahut Noah.
Keanu menatap Noah sebal, "Kapan sih aku nakal? Kamu yang suka nakal sama ngejekin aku," cetusnya.
Noah hanya mengangkat bahu acuh. "Jadi pekhgi nggak Kean? Ngomong mulu, cekhewet banget kayak nenek-nenek."
Liana tersenyum kecil, "Ya udah, ayo ganti baju kamu dulu. Kean nunggu di ruang tengah ya. Nonton aja dulu."
Keanu mengangguk paham lalu berlari menuju ruang tengah. Sedangkan Liana menggendong tubuh Noah dan memasuki rumah menuju kamar.