Pagi ini Liana sengaja bangun sangat lambat, berbeda dengan sebelumnya yang selalu bangun pagi-pagi sekali. Seminggu ke depannya ia juga akan cuti. Alasannya karena Aidan, lelaki itu sudah berada di Indonesia sejak malam tadi. Darian yang mengatakan padanya.
Liana menghela napas. Ia melirik Noah yang masih terlelap di sampingnya. Dua hari yang lalu sikap Noah sudah kembali, anak itu tidak murung lagi. Liana bersyukur akan hal itu.
"Noah, bangun yuk! Mandi habis itu kita makan," ucap Liana dengan lembut seraya menggoyang-goyangkan tangan Noah.
Noah bergeming, masih terlelap dalam tidurnya.
"Noah ..."
Tak habis akal, Liana menciumi seluruh wajah Noah. Cara tercepat membangunkan bocah itu. Berhasil, Noah terkekeh geli, anak itu berusaha menjauhkan wajahnya dari Liana yang sangat mengganggunya. Berkali-kali menahan wajah Liana yang tidak menyerah menciumi wajahnya.
"Udah, Ma. Geli," ucap Noah kegelian. Tangan bocah laki-laki itu berusaha menyingkirkan bibir Liana yang kembali mendekati wajahnya.
"Mama nggak kerja?" tanya Noah dengan heran. Kemudian mata bocah itu menatap jam di dinding. Seharusnya Mamanya sudah pergi berkerja sekarang.
Mata Liana membulat sempurna mendengar ucapan Noah, ia tidak salah dengar bukan?
"Kamu udah bisa bilang huruf R?"
Noah mengangguk lalu tersenyum lebar, "Udah. Kemarin belajar sama om Darian. Dia maksa, Noah senang. Kean pasti nggak bakal ledekin Noah lagi.” Mata bocah itu mengerjap-ngerjap lucu, membuat Liana semakin gemas dibuatnya.
Liana menangkup dan mengecup pipi Noah berkali-kali. Anaknya semakin pintar saja, dan ia semakin menyayangi Putranya itu.
"Berarti udah bisa panggil nama Om Darian dengan sempurna yakan, Noah?"
Noah menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Mama nggak kerja?" tanyanya lagi.
Liana menggeleng, "Seminggu ke depan Mama bakal libur."
Mata Noah berbinar seketika, "Beneran, Ma?"
"Bener dong."
"Nanti sore kita ke pantai ya, Ma. Yang Deket resort itu, udah lama nggak main ke pantai sama Mama. Nanti Noah mau beli sate Atuk Galang, udah lama nggak makan sate, Ma."
Liana mengangguk, "Aman. Kita main puas-puas nanti."
***
Aidan membuka gorden dan jendela kamar resort yang ia tempati. Semilir angin pagi yang sejuk menyapanya. Aidan menatap takjub pada pemandangan di depannya saat ini. Pantai yang terlihat bersinar dengan semburat jingga matahari yang mulai muncul ke permukaan. Benar-benar indah.
Namun beberapa detik kemudian ia tertegun, ia merasa seperti de javu. Dulu, ia pernah berdiri menyaksikan matahari muncul ke permukaan dengan Liana. Memeluk wanita itu dari samping, dan mengecup pelipis Liana dengan lembut.
Shit! Aidan jadi kepikiran kenangan lama lagi. Sungguh menyebalkan.
Tok... Tok... Tok...
Aidan mengalihkan pandangannya dari luar kamar resort. Ia menatap pintu kamar yang diketuk. Sejenak ia melengos, ini masih pagi, siapa yang berani mendatangi dirinya?!
Aidan mengayunkan kakinya malas menuju pintu dan membukanya. Ternyata Simon.
"Ada apa?" tanya Aidan ketus pada Simon.
"Maaf, Tuan. Pagi ini jadwal anda sangat padat, saya hanya mengingatkan. Kalau sudah selesai bersiap, Tuan bisa sarapan dulu di resto resort nya."
"Ini masih jam tujuh pagi! Aku masih ingin bersantai," ucap Aidan.
"Satu jam lagi anda harus menemui manager lama resort ini, Tuan. Anda tidak bisa bersantai."
Aidan menatap Simon tajam, "Yang bos di sini aku atau kau?"
Simon menundukkan kepalanya. Sungguh ia tidak berniat membuat Aidan marah, ia hanya melakukan pekerjaannya.
Aidan menghela napas gusar, "Setengah jam lagi aku keluar. Kau tunggu saja di resto nya."
"Baik, Tuan."
Setelah itu Aidan menutup pintu kamarnya kembali dan mulai bersiap-siap. Aidan sudah memikirkan sebuah rencana.
Ia akan Menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat dan bersantai di pantai saat sore hari, menikmati sunset dan pemandangan di pantai. Bertemu turis atau pengunjung yang cantik-cantik. Siapa tahu, bisa menghilangkan tiap kepingan memorinya bersama Liana, dulu.
***
Kini Aidan sudah duduk di sebuah kursi di ruangan kerja yang tak lain adalah miliknya. Darian, manager resort yang lama pun sudah datang dan duduk di sofa ruangan.
Sudah tiga jam berlalu, diskusi yang diadakan oleh Aidan dan Darian tak kunjung selesai.
Aidan melirik arloji di tangannya. Sudah pukul dua belas siang. Waktunta istirahat.
"Sepertinya diskusi nya hanya sampai di sini. Semua yang saya katakan ada di catat bukan? Beberapa hal di resort ini perlu di ubah agar mendapatkan kesan menarik. Semua saya serahkan pada anda, kalau butuh sesuatu, hubungi sekretaris saya terlebih dahulu." Aidan menutup sesi diskusi nya bersama Darian dan Simon.
Darian mengangguk paham, "Saya mengerti, Pak. Beberapa laporan yang penting nanti akan saya antar."
Aidan hanya menganggukkan kepalanya. "Sekarang anda boleh keluar."
Darian bangkit lalu menjabat tangan Aidan. Setelah itu ia pamit dan berlalu meninggalkan ruangan yang biasanya di tempati oleh Pak Randy, tapi kini adalah milik Aidan.
"Simon, kau boleh keluar. Aku ingin makan malam nanti diluar, kau cari tempat yang bagus. Kalau siang ini aku akan makan di kamar dan tidur. Antarkan makan siangku," titah Aidan tanpa menatap Simon. Pria itu sibuk dengan ponselnya.
Simon berdiri lalu membungkukkan badannya. "Baik, Tuan. Saya permisi."
Setelah kepergian Simon, Aidan mengemas laptop, notebook, dan ponselnya. Lelaki itu mengayunkan kakinya meninggalkan ruangan dan kembali ke kamar.
Diperjalanan menuju kamar, langkah Aidan berhenti saat mendengar pembicaraan beberapa orang. Dahi Aidan mengerut dalam mendengar nama yang tidak asing di telinganya.
"Liana kenapa tidak datang, Dar?" Samar-samar, suara seorang wanita yang Aidan dengar.
"Dia cuti," sahut Darian dengan nada santai.
Helaan napas kasar terdengar dari wanita itu. "Keanu berulah, pagi ini ia ikut bersamaku dan aku tidak bisa fokus memasak. Apa kau bisa mengantarkan Kean pada Liana? Dia akan bermain bersama Noah."
Aidan menelan saliva susah payah. Kenapa kedua orang itu menyebutkan nama Liana? Apakah itu Liana yang ia kenal?
"Boleh, di mana Kean?" tanya Darian.
Aidan masih menguping, rasa penasarannya muncul begitu saja. Aidan mengerti bahasa yang mereka gunakan. Aidan tidak bodoh, selama dua tahun ia memperlajari bahasa Indonesia dengan Liana, sebab, mantan istrinya itu berasal dari Negara ini.
"Akan ku panggil sebentar. Tunggu di sini."
Aidan mendengar derap suara langkah kaki, ia buru-buru pergi menjauh. Takut ketahuan menguping.
Setelah sedikit lebih jauh dari posisi menguping tadi. Aidan kembali berjalan menuju kamarnya, harusnya ia bisa mengendalikan diri. Tidak usah menguping pembicaraan yang kurang bermanfaat mereka.
***
"Noah, siang ini kita makan di luar ya? Mama nggak masak, dari tadi kan nemani kamu belajar nulis."
Noah mendongak, menatap Mamanya. Lalu matanya beralih ke jam di dinding. Sudah masuk jam makan siang ternyata.
"Iya, Ma." Noah menutup buku-buku tulisnya dan menyimpan pensilnya.
Liana memegang tangan Noah, bersama-sama berjalan keluar rumah. Mereka memasuki mobil, perlahan mobil sedan hitam Liana meninggalkan pekarangan rumah.
"Kamu mau makan apa?" tanya Liana tanpa menatap Noah. Matanya masih fokus pada jalanan yang mulai padat.
"Ayam pop!" seru Noah antusias. Ia sangat menyukai makanan yang satu itu.
Liana mengangguk ia langsung tahu arah tujuan mereka sekarang, yaitu rumah makan Padang, biasanya di sana terdapat ayam pop yang Noah inginkan.
Tak lama kemudian mobil Liana berhenti di depan restoran nasi Padang. "Ayo kita udah sampai."
Liana membuka seat belt nya, lalu turun. Ia berjalan ke pintu mobil di sebelah, membukakan pintu untuk Noah lalu menggendong Noah.
"Nyonya Liana..."
Pergerakan tangan Liana yang hendak menutup pintu mobil berhenti. Telinganya menangkap suara yang sangat ia hafal dan sering dengar beberapa tahun lalu.
Liana menoleh. Pegangannya pada gagang pintu mobil terlepas, matanya membulat sempurna melihat laki-laki yang berdiri tak jauh darinya.
"Simon."