“Berhenti, Bianca!” seru Kala tegas.
Bianca menghentikan langkahnya, mendengus pelan, lantas berbalik. “Apa lagi?” tanyanya sembari menyedekapkan tangan di depan d**a.
“Bicara yang sopan, Bianca. Gue masih atasan lo di sini.” Kala duduk di kursi kebesarannya. Menopang dagu, menatap Bianca dengan sepasang mata elangnya.
Bianca berdehem pelan. “Kenapa, Pak?” ujarnya dengan nada bicara yang dibuat sesopan mungkin.
Kala terkekeh pelan. “Tawaran saya tadi beneran, loh. Saya nggak punya pacar, kalau kamu mau, ayo jadi pacar saya.” Ia juga ikut mengubah cara bicaranya.
Senyum di bibir Bianca semakin melebar, tapi ekspresinya justru terlihat muak.
“Skip dulu deh, Pak. Ada lagi yang mau Bapak bicarakan?”
“Oke. Kalau gitu, nanti makan malam bareng.”
“Next!”
“Ketemu di Harmoni?”
“Mau ngapain?” Bianca mengernyit. “Besok masih kerja loh, Pak.”
“Waktu itu kamu malah ke Harmoni sebelum interview kerja.” Kala mengangkat sebelah alisnya, menantang.
“Itu beda cerita, Pak. Ya sudah, kalau nggak ada yang mau dibicarakan lagi, saya pamit, ya, Pak?” Bianca menunduk, bersiap untuk pamit.
“Tunggu, Bianca!”
Kala berdiri, sementara Bianca mendongak. Menatap pergerakan pria itu dengan harap-harap cemas. Kala telah tiba di hadapannya, menyeringai tipis. Dari jarak sedekat ini, Bianca menyadari betapa tampannya pria itu. Aura mencekam memang terasa pekat mengelilinginya. Tapi sepertinya itulah daya tarik Kalandra. Tidak heran ada banyak wanita yang berusaha mendapatkan atensinya, seperti Sofia tadi.
“Kenapa lagi?” tanya Bianca dengan debaran jantung yang tak karuan.
“Pilih salah satu.” Kala menunduk, menghujani wanita cantik di hadapannya dengan tatapan tajam khas miliknya. “Jadi pacar saya atau kita dinner bareng malam ini atau … kita ketemu di Harmoni. Dan kamu tahu apa yang akan kita lakukan di sana.”
Bianca menahan nafas, bibirnya terlipat. “Kalau saya nggak mau pilih salah satu?”
“Saya cium kamu di sini, sekarang juga. Biar karyawan lain yang di luar sana bisa melihat kita.” Seringai di wajah Kala semakin melebar. Sorot matanya berkilat senang. Ia tahu, Bianca telah masuk ke perangkapnya.
Kedua netra Bianca terpejam rapat. “Ya Tuhaaan, ini gimana sih awal masuk kerja udah begini?” batinnya hampir menangis.
“Gimana?” Suara bariton Kala mengusik pendengaran Bianca.
Wanita itu membuka matanya. “Oke, pilihan kedua.”
“Bagus. Saya tunggu sepulang kerja,” tukas Kala puas. “Oh ya, satu lagi. Kamu nggak akan ikut training bareng karyawan baru lainnya. Kamu bakal training sama saya secara khusus.”
“Apa?!” Bianca mendelik kesal. “Jangan aneh-aneh, Pak. Apa kata karyawan lain kalau saya diperlakukan berbeda?”
“Gampang. Saya tinggal bilang kalau kamu memang saya rekrut untuk masuk ke tim saya, jadi wajar kalau saya yang mentorin kamu secara langsung.” Kala mengedikkan bahu, tak peduli.
“Pak, jangan gini, please.” Bianca memohon. “Ini hari pertama saya bekerja, saya juga harus bisa bekerja di sini lebih lama. Saya nggak mau kehidupan kerja saya jadi nggak tenang.”
“Kenapa kehidupan kerjamu bakal jadi nggak tenang?” Kala mengernyit bingung.
“Ya … karena Bapak terkesan menspesialkan saya? Saya nggak mau berurusan sama karyawan perempuan yang ngejar-ngejar Bapak.”
“Kamu memang spesial, Bianca. Dan lagi, saya nggak suka dikejar-kejar mereka, gimana kalau kamu aja yang ngejar-ngejar saya?” Kala mengerling.
Bianca merengut kesal, nyaris menimpuk pria itu dengan tasnya. “Nggak mau, pokoknya saya nggak mau!”
Kala menyeringai. “Terlambat. Nama kamu sudah masuk ke tim saya.”
Bianca melotot tajam. “Lo….” Ia menahan diri untuk tidak mengumpat. Kalandra ini benar-benar menguji kesabarannya.
“Rileks, Bianca. Sekarang kamu kembali ke mejamu. Oh, saya juga sudah menyiapkan meja untukmu, spesial. Jadi kamu bisa bekerja dengan nyaman.” Kala kembali duduk di belakang meja. Tatapan matanya terkunci pada wajah cantik Bianca. “Temui saya lagi sebelum makan siang.”
Bianca hendak berteriak dan mengumpat ke arah pria itu. Tapi tidak mungkin ia lakukan, ini masih di kantor. Maka ia berbalik dengan wajah bersungut-sungut. Kesal luar biasa. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan ekspresi Kalandra yang justru tersenyum senang. Seperti seekor predator yang baru saja berhasil menangkap mangsa besar dan lezat.
Bianca memperbaiki ekspresinya begitu keluar dari ruangan Kalandra. Ia mengedarkan pandangan, mencari meja kosong yang dimaksud Kala. Tatapan matanya bersirobok dengan tatapan milik Zita, sahabatnya itu melambaikan tangan, menunjuk kubikel kosong di sebelahnya.
Bianca menghela nafas lega. “Untung aja di sebelah Zita,” gumamnya dalam hati.
“Diapain sama pak Kala?” tanya Zita dengan berbisik lirih.
“Ditawarin jadi pacarnya.”
“Hah?!”
“Sssttt!”
“Lo serius, Bi?”
Bianca ikut menunduk, mengangguk mantap. “Bos lo emang gila kayaknya.” Ia menggores dahinya dengan jari telunjuk.
Zita mendelik, kemudian menegakkan punggungnya. Maka Bianca mengikuti. Ia mulai menata barang-barangnya di atas meja, tepat ketika ponselnya berdering pendek, ada sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
“Ini tugas pertama kamu, baca dan rangkum. Saya minta rangkumannya sebelum makan siang.”
Begitu isi pesan yang tertera di sana, sebuah file datang bersama pesan itu. Bianca mengernyit bingung, namun begitu melihat foto profil si pengirim pesan, ia langsung tahu bahwa itu adalah nomor atasannya, Kalandra.
“Baik, Pak.” Ia segera mengirimkan pesan balasan dan mulai menyalakan laptopnya. Membuka aplikasi pesan lewat laptop terasa jauh lebih baik daripada lewat ponsel. Apalagi untuk membaca dokumen yang dikirimkan Kala barusan.
“Hei….” Seorang wanita dengan rambut dicat cokelat tua menghampiri Bianca. Wanita itu tampak manis dengan balutan make up tipis.
“Ya?” Bianca memasang senyum termanis di wajahnya.
“Lo anak baru yang mau gabung di tim 1, ya?” Wanita itu menatap Bianca remeh, bahkan ada kesan jijik dalam sorot matanya.
Bianca mengernyit demi melihat ekspresi wanita itu, tapi ia tak ingin mencari musuh di hari pertamanya bekerja. Maka ia mencoba menjawab seramah mungkin. “Iya, betul. Kenapa, ya?”
“Lo habis dari ruangan pak Kala barusan?”
“Iya, baru aja. Kenapa memangnya?”
“Gue juga habis dari ruangan dia. Tapi … kok gue nggak ketemu lo di dalam sana? Gue juga perhatiin sejak gue keluar, nggak ada tuh orang yang masuk ke ruangan pak Kala.”
Kedua netra Bianca melebar. Ia sudah bisa menebak siapa wanita di hadapannya itu. Ia adalah Sofia, wanita yang tadi sempat menggoda Kalandra di ruangannya.
“Eh, Sof.” Tiba-tiba Zita bicara dari sebelah Bianca. “Revisi dari pak Kala gimana? Udah?”
Sofia mengalihkan tatapannya. “Udah, tadi udah gue serahin.”
“Terus gimana kata Bapak?”
“Belum ada jawaban sih, kenapa emang?”
“Gue mau minta tolong lagi, dong. Ini riset sepuluh tahun terakhir dari produk make up buat remaja udah kekumpul, lo aja yang nyerahin ke pak Kala, ya? Gue mager banget jalan ke ruangan dia.”
Wajah Sofia berbinar seketika. “Sini, biar gue aja!” ujarnya sumringah.
Zita menyerahkan dokumen pada Sofia. “Thanks, Sof! Kabari kalau ada yang perlu ditindakalanjuti, ya?”
“Beres!” Sofia segera berlalu dari hadapan mereka. Wanita itu berhenti sejenak di depan ruangan Kala, ia tampak sediki merapikan rambut dan pakaiannya, baru kemudian mengetuk pintu kaca itu.
“Zi, dia itu … naksir pak Kala?” bisik Bianca hati-hati.
Zita mengangguk. “Semua orang tahu kalau dia ngejar-ngejar pak Kala, Bi.”
Bianca menelan ludah. “Kayaknya gue beneran harus ngasih batas tegas sama bos lo itu.”
Zita mengangguk lagi. “Lo jangan sampe berurusan sama Sofia, deh. Dia anak salah satu kolega bisnis yang punya Andara. Makanya dia ngerasa paling pantas dapetin pak Kala. Terakhir kali ada karyawan yang juga naksir pak Kala, didepak ke tim lain gara-gara Sofia ngadu ke bokapnya.”
“Serius lo?!” Bianca mendelik kaget.
“Iya. Makanya kalau urusan ngadep pak Kala, dia paling gercep. Padahal kinerjanya jelek banget.”
“Zi, kira-kira gimana nasib gue di sini, ya?” Bianca meringis khawatir.
“Tenang aja. Pokoknya ikutin apa kata gue, jangan berurusan lebih jauh sama pak Kala kalau lo nggak mau kena sasaran bulan-bulanannya si Sofia.”
Bianca mengangguk mantap. Ia telah membulatkan tekad dalam hati, ia harus memutus hubungan pribadi dengan Kalandra. Mulai hari ini, ia dan Kalandra hanyalah rekan kerja profesional.
Namun, tentu saja Kala tidak berpikir demikian.