> BAB TIGA <

1106 Words
Lala bangun pagi dan memasak buat kakak kesayangannya, Pandu. Dia harus cepat bersiap karna sudah mendapat pekerjaan baru yaitu menjadi asisten Tuan David, si penulis novel dewasa sekaligus model majalah-majalah ternama milik keluarganya, bukan hanya itu, perusahaannya ternyata memiliki beberapa resort mewah dan juga hotel-hotel berbintang lima di segala penjuru dunia, masih banyak lagi dan tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata, yang pasti, Lala bahagia bisa kerja sama dia. "Selamat pagi, Adikku yang cantik. Kau semangat sekali hari ini?" tanya Pandu membuat Lala menolehkan wajahnya sambil tersenyum. "Darimana kakak tahu kalau Lala sedang bersemangat?" goda Lala membuat kakaknya tertawa. Daridulu kakaknya memang selalu memanja Lala, tidak pernah sedikitpun Lala dibiarkan bekerja, karna suatu masalah, Pandu membiarkannya, dan itupun sangat membebani hatinya, gelisah setiap saat. "Meskipun kakakmu buta, Kakak masih bisa merasakan perasaanmu, Sayang. Kakak bisa tahu kapan kamu sedih, kapan kamu tertawa, dan kapan kamu membutuhkan penghiburan. Kakak juga tahu soal penggusuran lahan tempat jualanmu itu, Sayang. Hanya saja ... Kakak diam," jawab Pandu dengan suara lembut. "Jadi ... Kakak tahu saat Lala menganggur?!" seru Lala tidak percaya. "Kakak tahu, Sayang. Kakak memang sengaja pura-pura tidak tahu agar kau merasa tenang," jawab Pandu sambil menaruh tongkat kayunya di samping, dia duduk. Pandu masih merasa sedih dan merutuki kekurangan fisiknya setiap hari. Dia selalu meneteskan air mata jika malam hari telah tiba, gara-gara dirinya, adiknya harus menderita dan menanggung beban hidupnya seorang diri. "Kakak--" gumam Lala sambil berlari ke arah Pandu, gadis itu langsung memeluk kakaknya. Pandu merubah ekspresi wajahnya dengan berpura-pura bahagia agar adik kesayangannya tidak merasa sedih memikirkannya. "Maafkan Lala ya, Kak. Lala janji, Lala tidak akan membohongi Kakak lagi," ucap Lala sambil menciumi wajah kakaknya gemas. Betapa Lala sangat mencintai kakaknya, hanya Pandu-lah keluarga Lala satu-satunya. "Iya, Sayang ... sekarang lanjutkan acara memasakmu, Kakak sudah lapar," bisik Pandu sambil mengusap lembut kepala adiknya. "Oh! Tentu saja!" seru Lala dan langsung memasak dengan gembira. Setelah masakannya matang, Lala menyajikannya di meja dan menyuruh kakaknya Pandu agar makan lebih dulu. Setelah selesai, Lala pergi ke kamarnya dan segera bersiap-siap buat bekerja. Setelah beres dengan dandanannya, Lala ikutan makan di meja dengan lahap. "Masakan Lala, enak tidak Kak?" tanya Lala penasaran. "Enak, Sayang. Kakak kan tinggal makan, jadi enak," jawab Pandu sengaja menggoda adiknya. "Em ... gitu ya?" jawab Lala, datar. Tahu jika Lala merasa kecewa, Pandu mengajaknya bercanda. "Masakanmu sangat enak, Anak Manis. Sayangnya ... kau belum punya suami," goda Pandu sambil tertawa. "Kakaak! Sebel, ikh!" sahut Lala cemberut. "Bagaimana wajah atasanmu, Lala? Apakah dia tampan?" tanya Pandu membuat Lala tersedak. "Ehem! Biasa saja, Kak," jawab Lala setelah minum segelas air. "Apa dia sudah punya Istri?" "Istri?! Sepertinya belum punya, Kak. Tapi teman ranjang dia punya banyak," jelas Lala, malas. "Astagaaa! Kamu tahu darimana?" tanya Pandu, gemas mendengar adiknya. "Rani." "Rani?! Gadis pemaksa itu?!" seru Pandu, tersipu malu. "Jangan begitu, Kak. Biar pemaksa dia sangat mencintai, Kakak," ucap Lala menggodanya. "Kakak juga sangat mencintainya Lala, maka dari itu Kakak menolaknya," ucap Pandu berubah datar. "Kenapa bisa begitu?" tanya Lala heran. "Kakak buta, Sayang. Sedangkan Rani sangat cantik. Aku yakin, pasti banyak pria di luaran sana yang mengantri untuk menjadi kekasihnya," jawab Pandu dan setelah itu mengambil air minum. "Hem ... sudahlah, cinta memang rumit, Lala kerja dulu ya, Kak. Sudah siang, bisa-bisa atasan Lala marah," ucap Lala dan langsung pergi dari rumah setelah mencium tangan dan pipi kakak kandungnya, Pandu. "Hati-hati, Sayang!!" teriak Pandu dari dalam. "Iya, Kakak!" jawab Lala sambil berjalan. ******* Jam sudah menunjukkan pukul 07.30 pagi. Rani berjalan dengan penuh semangat karna ingin ke rumah Lala. Lala menyuruh Rani buat menemani kakaknya Pandu selama dia bekerja. Selain itu, Lala juga ingin hubungan Rani dan Pandu menjadi lebih dekat. "Hai, Pandu," sapa Rani setelah sampai di rumah Lala. "Rani?! Kenapa kau kesini?! Apa kau tidak bekerja?!" seru Pandu, terkejut. "Aku libur, Pandu. Makanya Lala menyuruhku buat datang kemari," jelas Rani sambil mendekat ke arah Pandu dan memeluknya. "Aku merindukanmu, Pandu," bisik Rani mesra. Pandu yang mendengar itu, berusaha menyingkirkan tangan Rani yang sedang melingkar di pinggangnya dan mendorong tubuh gadis itu agar tidak memeluknya. "Jangan seperti ini, Rani! Aku tidak suka," ucap Pandu, tajam. "Kenapa, Pandu?! Aku sangat mencintaimu," jawab Rani tak kalah tajam. "Jangan bodoh, Rani!! Kau tahu sendiri, bukan?! Aku buta," ucap Pandu, datar. "Memangnya kenapa kalau kau buta?! Aku tidak perduli, Pandu! Cintaku padamu sangat tulus," jelas Rani, mulai putus asa. "Kau tidak mencintaiku, Rani! Kau hanya merasa kasihan kepadaku," sahut Pandu, cepat. "Cukup, Pandu!! Jangan membuatku marah! Aku sangat mencintaimu, Pandu! Percayalah!!" teriak Rani, frustasi. "Percuma kau berteriak! Aku tidak akan percaya," ucap Pandu sambil masuk ke dalam rumah. Rani mengikutinya dari belakang dan langsung duduk di samping Pandu. "Apa kau perlu bukti?!" ucap Rani, keras kepala. "Terserah kau saja," jawab Pandu, malas berdebat. Rani segera menghampiri pintu dan menutupnya. Setelah mengunci pintunya dengan rapat, Rani membuka pakaiannya dengan penuh percaya diri. Rani menghampiri Pandu dan langsung duduk di pangkuannya dalam keadaan tanpa pakaian tentunya, Rani meraih tangan Pandu dan meletakan di dadanya yang padat. "Rani!! Apa yang kau lakukan?!" sentak Pandu, terkejut buat main. "Aku ingin membuktikan kepadamu, Pandu. Aku ingin kau percaya bahwa cintaku padamu benar benar sangat tulus," ucap Rani, begitu mesra. "Dasar bodoh! Jangan lakukan ini, Rani! Kau akan menyesal!!" ucap Pandu, putus asa. "Aku tidak perduli dan nikmati saja perlakuanku--" "Rani?! Kau-- astaga--" desah Pandu, kala Rani menjilati lehernya. Rani membuka pakaian Pandu dengan cepat dan melempar tongkatnya ke tempat yang agak jauh agar Pandu tidak bisa kemana-mana. "Kau memperkosaku?" tanya Pandu, geli. "Kau bisa menyebutnya demikian, Sayang...." jawab Rani sambil turun ke bawah dan mencumbu bagian sensitif dari tubuh Pandu. "Rani-- dasar nakal!" seru Pandu, setelahnya diam saja karna tidak bisa apa-apa, dia hanya mampu memejamkan mata menikmati sentuhan Rani. Mereka b******u dan bercinta untuk waktu yang lama, setelah dirasa cukup, Pandu menghentikan Rani. "Cukup, Sayang. Aku mencintaimu," ucap Pandu, takut keblablasan membalas sentuhan Rani. Rani yang sedang mencumbunya sontak menghentikan aksinya. "Apa?! Katakan sekali lagi, Pandu," perintah Rani, tidak percaya. "Aku sangat mencintaimu, sekarang turun dari badanku, aku tidak mau kau hamil, Sayang." "Tidak mau, aku ingin memakanmu, Pandu." "Apa kau, yakin?!" seru Pandu, menekan badan Rani dan nada bicaranya tidak main-main. "Ya ... sangat yakin." "Kalau begitu jangan salahkan aku memberimu pelajaran, kau akan kuwalahan, kau harus bertahan, jangan menyesal, Rani ...." "Pandu!! Astagaaaa! Kau gila! Pelan-pelan, Sayang!" teriak Rani, penuh kebahagiaan, cintanya diterima, tidak ditolak seperti yang sudah-sudah. Pandu hanya miliknya, persetan dengan penglihatannya, Rani akan berjuang demi dirinya. "I love you, Pandu," batin Rani, dalam hatinya. ******** Maaf jika masih ada kekurangan dalam hal menulis, Sayang. Jangan lupa tekan Love and follow, Sayang. Makasih.... TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD