Rabu (15.23), 20 April 2022
-----------------------
Khairul mengerutkan kening saat tiba di g**g yang dikatakan Emilya tadi. Dia yakin pernah melewati g**g itu menuju rumah salah satu rekan gurunya. Dan yang jelas, bukan rumah Bu Elisa.
Apa Emilya salah memberi arahan?
Ponsel yang sedari tadi Khairul pegang di tangan kirinya langsung ia nyalakan untuk menghubungi Emilya kembali. Sementara itu ia tetap melajukan motornya pelan ke arah g**g.
"Ukhti, aku sudah lewat g**g di selatannya jembatan," jelas Khairul begitu Emilya menerima panggilan telepon di dering kedua.
"Lurus saja ikuti jalan aspal lalu belok kiri. Rumahku di ujung jalan aspal sebelah kiri. Aku tunggu di depan."
"Enggeh."
Kali ini Khairul tak memutus panggilan telepon. Dia terus melajukan motornya sambil menatap heran ke arah rumah salah satu rekan mengajarnya yang semakin nampak lalu ia lewati.
Iya, itu memang rumah Pak Pur. Lebih tepatnya rumah orang tua Pak Pur. Dia pernah ke sana bersama rekan-rekan guru yang lain saat bapak Pak Pur meninggal.
Yakin bahwa Pak Pur dan Bu Elisa memang bertetangga, Khairul mengenyahkan pikiran mengenai hal itu. Begitu motornya berbelok ke kiri sesuai arahan Emilya, jantung Khairul berdegup sangat kencang dan tangannya mulai terasa dingin.
Sebentar lagi.
Jujur, Khairul sama sekali tak gugup karena hendak bertemu Emilya. Malah cenderung antusias. Yang membuatnya gugup adalah, Emilya adik rekan kerjanya! Kira-kira bagaimana jadinya bertemu dengan Bu Elisa bukan dalam lingkup sekolah, melainkan sebagai orang tua wanita yang hendak didekatinya?
Belum lagi seperti apa kira-kira tanggapan suami Bu Elisa? Akankah rencananya mengajak Emilya keluar berjalan lancar?
Duh, harusnya memang pendekatan pelan-pelan dulu. Saling mengenal dulu. Sampai keluarga Emilya terbiasa dengan kedekatan mereka. Dirinya memang terlalu berani. Baru di dua minggu sejak perkenalan mereka, sudah langsung mendatangi rumah Emilya untuk mengajak wanita itu keluar.
Ya Allah, lindungi hambamu...
Khairul terus melajukan motornya pelan, tak berani terlalu cepat seperti biasa dia mengemudi. Bibirnya tak henti melantunkan sholawat tanpa suara, berharap malam ini lancar tanpa insiden mengerikan. Apalagi yang sampai merenggut nyawa.
Hanya selang beberapa detik, dia bisa melihat rumah di ujung jalan. Itu artinya jalan sudah buntu, kan?? Berarti rumah Emilya di sebelah kiri...
Kini ia mengalihkan perhatian ke sebelah kiri. Ada pagar yang menghalangi pandangannya. Tapi pagar itu berakhir beberapa meter di depan rumah ujung jalan.
"Mas, di sebelah kiri."
Sayup-sayup Khairul mendengar suara dari ponselnya. Dia tak berusaha menjawab karena yang berbicara sudah terlihat, berdiri di sebelah rumah berpagar tanaman. Dengan perasaan yang kian gugup, Khairul melaju ke arah wanita yang selama dua minggu ini mengisi pikirannya. Secara refleks bibirnya mengulas senyum dan tak disangka, Emilya pun balas tersenyum.
Alhamdulillah, akhirnya sampai. Dan Emilya menyambutnya dengan ramah, tak seperti sikapnya seharian ini yang membuat Khairul nyaris frustasi.
"Gak nyasar, kan?" sapa Emilya begitu Khairul menghentikan motornya lalu turun.
"Nggak, tapi di sebelah sana rumah Pak Pur kan ya?"
"Iya. Mas pernah ke sana?"
"Pernah," sahut Khairul seraya memarkir motor dan melepas helm. "waktu bapaknya Pak Pur meninggal."
"Oh."
Sejenak keduanya berdiri salah tingkah. Sama-sama bingung hendak berbicara atau bersikap bagaimana. Beruntung hal itu tak berlangsung lama karena Emilya segera berujar, "Ayo masuk."
Segera Emilya berbalik lalu masuk ke rumah, membiarkan Khairul membuntutinya. Di ruang tamu, tangannya menunjuk karpet yang terhampar di sana. "Silakan duduk. Maaf lesehan."
"Iya, gak papa. Oh, ini kepitingnya." Khairul mengangsurkan bungkusan kresek yang diterima Emilya dengan malu.
"Dibawakan beneran. Makasih."
Khairul hanya mengangguk diiringi senyum lalu menuju karpet dan duduk. Saat itulah Emilya menyadari jalan Khairul agak pincang namun berusaha tak berkomentar dan memilih masuk ke ruang tengah yang dibatasi gorden. Tiba di sana dia langsung menghampiri Elisa yang ternyata sama gugupnya seperti dirinya.
"Bak, gak keluar?" tanya Emilya dengan berbisik.
"Duh, gak usah kali ya? Mau ngomong apa?" gumam Elisa gugup seraya merapikan hijabnya.
"Lah..."
Nyaris saja Emilya tergelak. Ternyata bukan dirinya saja yang kebingungan hendak bersikap bagaimana. Sang kakak juga sama. Padahal kan Khairul adalah rekan kerja sang kakak yang sehari-harinya saling bercanda dan mengobrol layaknya teman.
"Sek mau bangunkan Masnya." Yang Elisa maksud adalah suaminya. "Sana kamu temuin dulu."
Emilya menggaruk belakang lehernya gugup. Saat dia menoleh ke kamar dengan ranjang tingkat yang Emilya tempati bersama ketiga anak perempuan Elisa, tampak di sana para bocah itu menertawakannya. Emilya nyengir malu seraya mengepal-ngepalkan kedua tangannya memberi isyarat "dingin". Respon ketiga adiknya hanya mengacungkan kepalan tangan memberi isyarat "semangat".
Setelahnya Emilya kembali ke ruang tamu lalu dengan salah tingkah duduk di dekat Khairul, masih berusaha menjaga jarak. "Sebenarnya mau ke mana?"
"Bohay, kan?" Khairul balik tanya.
"Oh, langsung berangkat sekarang?"
"Ayo, ini juga sudah larut malam. Bu Elisa mana?"
"Di dalam. Sebentar." Sebelum Khairul mengatakan apapun lagi, Emilya langsung berdiri dan bergegas kembali ke dalam. Kali ini ke kamar Elisa.
"Bak, tuh ditanyain."
"Iya sebentar," sahut Elisa lalu dia menggerutu. "Tuh Masnya gak mau keluar. Masa mbak sendirian."
Kali ini Emilya benar-benar tergelak tanpa suara. "Kok kayak mau berhadapan sama musuh?"
Elisa tak menanggapi lagi dan kali ini bergegas keluar. Ingin sekali Emilya menguping apa yang mereka bicarakan tapi yang paling penting sekarang dirinya harus segera memakai hijabnya dan bersiap pergi. Saat itulah pikiran mengenai penampilannya merasuk dalam benak Emilya.
Sopan gak sih tadi nyambut Khairul tanpa hijab dan pakai baju lengan pendek begini? Lelaki itu kan guru Agama. Ditambah keluaran pondok juga. Pasti teman-temannya para wanita berhijab lebar.
Detik berikutnya Emilya mengusir segala pikiran itu dari benaknya. Terserahlah. Lebih baik begini, menunjukkan dirinya yang asli. Toh biasanya dia keluyuran dengan celana pendek di atas paha. Sudah bagus dia mau memakai rok panjang dan lebar begini.
Usai mengenakan jaket di luar baju lengan pendeknya, tampak Elisa menghampiri. "Sudah?"
"Iya, sudah," sahut Emilya.
"Sana langsung jalan wes. Jangan terlalu malam."
Diam-diam Emilya menghela napas, berusaha tak menampakkan bahwa dirinya sangat gugup. Sejenak pikiran mengenai kekecewaannya pada Khairul dan Elisa terlupakan. Fokusnya tertuju pada malam ini.
Di ruang tamu, Khairul sudah berdiri menunggu. Emilya segera mencium tangan Elisa dan berpamitan. Khairul melakukan hal yang sama lalu keluar mendahului menuju motornya. Dalam sekejap, keduanya sudah melaju menuju jalan raya dengan berboncengan.
Rasanya masih aneh bagi Emilya membonceng pada lelaki yang bukan saudara. Apalagi Emilya memang cenderung penyendiri yang tak pernah keluyuran. Semasa sekolah pun, bisa dibilang dia murid baik yang langsung pulang begitu jam pulang. Pengalaman ini benar-benar baru dan terasa asing baginya.
Ingin sekali Emilya bergeser menjaga jarak. Namun jelas tak mungkin berboncengan seperti ini tanpa sisi tubuhnya menempel pada punggung Khairul. Yang bisa dia lakukan hanya berusaha bersikap tenang dan memilih berpegangan pada besi di belakang sadel motor, alih-alih berpegangan pada si pengendara.
"Huft, lega." Tiba-tiba Khairul berkomentar setelah motor yang dia kendarai melaju di jalan raya.
"Kenapa?" tanya Emilya.
"Tegang sekali ketemu sama Bu Elisa. Untung suaminya gak ada. Tanganku sampai dingin," cerocos Khairul memberitahu.
Emilya tergelak pelan. "Mas Ali sudah tidur." Emilya tak bohong. Mas Ali sebenarnya tadi tidur. Elisa membangunkannya namun dia menolak keluar. Tampaknya dia juga sama bingungnya hendak bersikap bagaimana di depan Khairul.
"Syukurlah. Doaku dikabulkan," canda Khairul. "Lain kali pas mau keluar lagi, samean langsung siap-siap saja, Ukhti. Biar bisa langsung tancap gas begitu aku sampai di sana."
"Aku pikir Mas masih mau ngobrol sama Bu Elisa."
"Duh, mau ngobrol apa? Mikir mau ketemu saja jantung rasanya mau lepas. Mending langsung kabur. Aman."
Lagi-lagi Emilya hanya bisa tergelak pelan. Saat itu dia mulai menyadari Khairul memang pribadi yang cerewet dan mudah memancing tawa. Ada saja bahan pembicaraan yang keluar dari sela bibirnya. Bahkan meski terkadang Emilya hanya menanggapi dengan tawa pelan, obrolan di antara mereka seolah tak putus.
***
"Kaki Mas kenapa?" tanya Emilya begitu Khairul memarkir motor lalu berjalan di sisinya.
"Keseleo. Gak hati-hati waktu turun dari undakan teras."
"Udah lama?"
"Sore ini."
"Loh, kenapa gak dibatalkan aja? Nanti tambah parah kalau dipaksa jalan kayak ini." Rasa bersalah merasuk dalam hati Emilya.
"Gak papa." Khairul tersenyum. "Malah kalau dibatalkan, aku khawatir Ukhti bakal mikir aku ingkar janji. Apapun alasannya."
Rasa bersalah masih berkutat dalam hati Emilya. Namun di sisi lain dia membenarkan ucapan Khairul. Yah, jika Khairul benar-benar membatalkan kencan malam ini, Emilya pasti akan lebih kecewa lagi dan berpikir Khairul lelaki yang suka ingkar janji. Dan mungkin tak akan mau diajak keluar di lain waktu.
"Mau di mana, Ukhti?" tiba-tiba Khairul bertanya sebelum Emilya menanggapi pernyataannya sebelumnya. "Di bawah rame. Enak di sebelah sana."
Yang Khairul tunjuk adalah gazebo bambu dengan pemandangan ke arah pantai. Namun tempat itu tampak sepi dan sedikit remang. Sebagian besar pengunjung lebih memilih area tepi pantai dengan hiburan band lokal.
"Di bawah saja," putus Emilya tanpa pikir panjang. Duduk berboncengan berdua saja dirinya sudah sangat gugup. Emilya tak yakin berani berduaan di gazebo bambu itu.
"Oke," balas Khairul diiringi tawa pelan.
"Kenapa tertawa?"
"Aku gak berani macam-macam di tempat terbuka kok, Ukhti. Tapi gak tau kalau di tempat tertutup," jelasnya lalu tergelak.
Seketika Emilya merasa wajahnya memanas malu karena pikirannya dengan mudah terbaca. Buru-buru dia mempercepat langkah tanpa berani menatap Khairul lagi.
-------------------
♥ Ay ♥