Kencan Pertama

1280 Words
Kamis (12.36), 14 April 2022 Emilya tidak tahu mengapa rasanya begitu sakit saat mendapat bukti nyata bahwa Khairul memang meminta bantuan kakaknya untuk mendekatinya. Juga fakta bahwa kakaknya adalah mak comblang mereka. Dan yang lebih menyakitkan, adalah kenyataan dengan mudahnya Khairul membagikan chattingan mereka. Emilya sampai membayangkan apa lelaki itu menertawakan tiap permintaan konyolnya? Menertawakan tiap ungkapan rasa takutnya terhadap pernikahan? Pada siapa lagi chattingan mereka Khairul bagi selain pada Elisa? Apa pada rekan mengajarnya juga? “Adek samean juga minta diceritakan kisah nabi sama istri-istrinya.” Astaga, betapa memalukan! Kira-kira sekeras apa sang kakak tertawa saat membaca laporan Khairul itu? Minta diceritakan kisah nabi dan istrinya? Kedengarannya seperti perawan tua yang haus cinta, ya kan? “Ujungnya ditinggal tidur. Samean tahu, aku sampai ngomong sendirian. Dua kali sama tadi malam.” Astaga! Samean tahu… Samean tahu… Samean tahu… Dua kata itu terus terngiang dalam benak Emilya. Terasa jelas Khairul merasa dirugikan. Padahal Emilya menikmati mendengar suara Khairul. Menikmati mendengar lelaki itu bercerita. Tapi ternyata… Pagi itu usai membaca sekilas chat antara sang kakak dan Khairul, Emilya buru-buru mengscreenshotnya lalu ia kirim ke WAnya sendiri. Tak lupa ia hapus bukti screenshot dari hp Elisa lalu segera ke kamar dan membaca ulang sepuas hati. Atau lebih tepatnya, memperluas luka hati. Seperti biasa, Emilya selalu pintar menyembunyikan tangisnya. Dia bahkan masih bisa berbincang dengan adik-adiknya seolah hatinya tak sedang terluka parah. Tapi pada Elisa… yang saat itu menjadi salah satu sumber kekecewaannya… Emilya merasa kesulitan hingga yang dilakukannya adalah menghindari sang kakak. Rasa marah Emilya kian memuncak seiring berlalunya hari. Terutama saat dia mendapat chat salam Khairul yang biasa, amarah serasa berkobar dalam dadanya. Bahkan karena terlalu marah, Emilya sampai menguninstall WA khususnya. Tapi hal itu hanya berlangsung selama beberapa jam. Setelah tak lagi melihat chat Khairul, kemarahan Emilya mereda dan dirinya sadar, itu adalah tindakan bodoh. Bukankah itu WA khusus untuk kegiatan menulisnya? Jika dihapus seperti itu, bagaimana jika dia harus menghubungi teman-teman dan editornya? Akhirnya Emilya menginstall kembali WAnya lalu memulihkan cadangan chat. Namun chat-chat yang baru masuk, semuanya musnah. Termasuk chat Khairul. Belum juga reda sakit di hati Emilya, dia pun beralih menumpahkan luka hatinya di status WA. Aku yang bodoh. Aku yang terjebak permainanku sendiri. Hanya selang beberapa detik sejak status itu diposting, ada banyak pesan chat yang menanyakan maksud statusnya. Emilya membalas dengan bercanda. Bahwa itu berhubungan dengan novelnya. Tak puas hanya dengan satu status, Emilya kembali memposting, Silakan tertawa sepuas kalian. Memang salahku karena terlalu percaya. Beberapa saat kemudian, chat dari Khairul masuk. Sama seperti yang lain, dia juga bertanya apa Emilya baik-baik saja dan mengapa panggilan teleponnya tak diangkat. Emilya hanya membacanya dan tak tergerak membalas. Saat Khairul mengirim pesan lagi, bertanya apa dirinya melakukan kesalahan, Emilya menulis, “Aku kecewa sama Mas.” Tapi chat itu hanya ia kirim selama beberapa detik sebelum ia hapus. “Kok dihapus?” Khairul bertanya. Emilya menunggu sampai Khairul tak lagi online. Lalu ia kembali mengetik, “Aku benci Mas.” Tapi sama seperti sebelumnya, chat itu Emilya hapus setelah menghitung sampai tiga dalam hati. “Hmmz.” Kali ini Emilya tak lagi membalas. Hanya membacanya lalu ia biarkan tanpa tanggapan. Sorenya Emilya lama mengurung diri dalam kamar mandi. Tangisnya kembali pecah. Dia tak ingin bertemu Khairul tapi tak tahu bagaimana cara menolak tanpa menyakiti. Sementara itu di sisi lain, ada bagian dari dirinya yang tetap ingin pergi. Tetap penasaran apakah pergi bersama Khairul sama rasanya seperti kebebasan yang memang Emilya harapkan selama ini. Usai mandi dan menangis sepuasnya, Emilya merasa lebih tenang. Jam sudah menunjukkan pukul 6 sore. Kira-kira dua jam lagi sebelum Khairul datang. Dan bukannya seperti gadis yang kacau hatinya menunggu waktu kencan pertama, Emilya semakin merasa enggan untuk pergi. Saat mengecek ponsel, dia menemukan notifikasi pesan dari Khairul. Begitu dibuka, tampak foto selfie Khairul dengan caption, "Asli hatiku terasa dag dig dug ini..." Bagi Emilya kalimat itu bermakna ganda. Bisa "dag dig dug" karena kencan mereka sebentar lagi atau "dag dig dug" karena sikap Emilya yang tiba-tiba berubah dan tampak aneh. Emilya sama sekali tak peduli yang mana. Yang jelas terasa hanya sakit di dadanya dan upaya kerasnya untuk menahan air mata. *** "Aduuuhhh! Sakittt!" Seruan itu memenuhi ruang tengah dalam rumah Khairul. Tampak lelaki itu tengah duduk di dipan beralaskan kasur yang menghadap ke tv dengan raut wajah menahan sakit. "Pak, pelan-pelan, aduuuhhh!" kembali Khairul berseru setengah mengomel. "Ini keseleo," hanya itu komentar bapak Khairul sambil terus mengurut pergelangan kaki anak semata wayangnya itu. "Memangnya tadi ngapain sampai keseleo begitu?" tanya ibu Khairul yang hanya bisa memperhatikan sambil meringis. "Tau tadi turun dari undakan teras," jelas Khairul dengan nada menggerutu, masih dengan raut kesakitannya dan sesekali mengaduh. "Sudah," gumam bapak Khairul begitu usai mengurut seraya berdiri dari posisi jongkoknya. "Tiduran saja. Jangan ke mana-mana dulu sekarang." Khairul melirik jam dinding. Kurang dari dua jam lagi waktu janjiannya dengan Emilya. Mereka sudah merencanakan ini dan bukan tanpa usaha juga sampai akhirnya dia mendapatkan kesempatan kencan. Kalau batal... ditambah sikap Emilya yang aneh seharian ini... mungkin tidak akan ada kesempatan kedua. Tidak! Jangan sampai. Mungkin sekedar feeling yang tak jelas sumbernya, tapi Khairul sudah merasa yakin pada Emilya. Yakin wanita inilah yang Allah persiapkan untuknya. Dia tidak mau hubungan yang ia rajut dengan susah payah hancur begitu saja karena Khairul dianggap ingkar janji. "Aku harus keluar. Ada janji sama anak PKL dan temen guru," sahut Khairul memberi alasan pada kedua orang tuanya. Yah, dirinya memang belum bercerita pada mereka bahwa ia sedang dekat dengan seseorang. Nanti saja. Setelah hubungan mereka jelas. Setelah tak ada lagi rahasia. "Apa gak bisa dibatalkan?" tanya ibu Khairul. "Nanti malah tambah parah." "Duh, gak bisa. Sudah terlanjur janji. Dah, mau pergi sekarang." Dengan langkah pincang, Khairul ganti pakaian dan tak lupa memakai parfum serta minyak rambut. Setelahnya dia keluar sambil mengenakan jaket dan helm. *** Hampir pukul delapan malam, Khairul mengirim voice note yang memberitahu bahwa dirinya akan datang terlambat. Emilya berusaha bersikap biasa dan membalas asal, "Jangan sampai nyasar." Saat itu dia sudah bersiap dengan rok denim lebar namun masih mengenakan baju berlengan pendek. Rencananya begitu hendak berangkat dia akan mengenakan jaket dan kerudung. Sebenarnya penampilan itu jelas bukan dirinya, yang terbiasa keluyuran dengan celana pendek. Tapi mengingat dia akan pergi kencan dengan guru Agama dan... yah, seluruh penampilannya atas saran sang kakak, Emilya menurut saja. Jujur, hatinya masih tak nyaman karena fakta yang baru saja ia temukan. Tapi melihat betapa antusiasnya Elisa serta adik-adiknya karena dia hendak pergi kencan, perlahan hati Emilya luluh juga. Mereka begitu heboh menyiapkan ini itu dan berseru senang membayangkan suasana romantis yang akan Emilya alami nanti. Bagaimana dia bisa tetap bersedih? "Jujur sama Mbak! Kamu itu kenapa?" tiba-tiba Elisa bertanya. "Dari tadi Mbak perhatiin kayak mau nangis." Lanjutnya dengan nada menggerutu kesal. Segera Emilya menghela napas dan berusaha mengulas senyum seraya menggeleng. Yah, biarkan saja hari ini berjalan sesuai arus. Dirinya tidak akan mengatakan pada sang kakak apa yang mengganggu hatinya. Semua ini tentang ia dan Khairul. Seharusnya memang tentang mereka berdua. Beruntung tiba-tiba Khairul menelepon hingga Emilya tak harus menjelaskan lebih jauh pada Elisa. Lagi-lagi dia berusaha menarik napas dan memaksa agar nada bicaranya terdengar biasa. "Ukhti, aku sudah lewati tugu pancasila. Nanti belok di mana?" Emilya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul delapan lebih dua puluh menit. Tak disangka Khairul sudah tiba di dekat rumahnya. Emilya pikir masih pukul sembilan nanti. "Setelah jembatan, ada g**g ke kiri. Lewat situ, ikuti jalan aspal. Rumahku di ujung jalan sebelah kiri. Aku tunggu di depan." "Enggeh, Ukhti." Lalu sambungan telepon terputus. Dan saat itulah jantung Emilya berdetak keras hingga rasanya nyaris melompat dari tenggorokan. Kali ini jelas karena gugup. Inikah saatnya? Bisakah dia melewati hari ini tanpa bersikap memalukan? ---------------- ❤ Ay ❤
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD