Kecewa

1676 Words
Rabu (16.49), 03 November 2021 ---------------------- Jumat, 23 April 2021, Emilya disibukkan dengan persiapan materi seminar online tentang dunia kepenulisan. Hal semacam ini memang sering dilakukan oleh grup-grup kepenulisan. Biasanya seminggu sekali atau beberapa kali dalam sebulan, admin grup mengundang penulis yang dianggap sudah berhasil untuk mengisi seminar dalam grup mereka. Seringnya Emilya tak menerima tawaran semacam ini. Dia sadari, berbicara di depan khayalak, meski hanya online, bukanlah keahliannya. Tak jarang dia merasa tak ada yang menarik dari materi yang dirinya sampaikan dan mungkin membuat bosan peserta. Entah itu hanya sekedar over negative thinkingnya atau memang demikian… Kali ini adalah kali ketiga Emilya menerima tawaran seminar. Entah mengapa dia tertarik. Kebetulan suasana hatinya memang sedang baik. Ditambah dongeng yang semalam diceritakan Khairul masih membuatnya terkekeh geli sampai sekarang. “Tidur!” ketik Emilya. “Gak bisa tidur dah,” gerutu Khairul malam itu. “Gara-gara nostalgia, jadi gak bisa tidur,” goda Emilya lalu tertawa pelan. Semalam Khairul menceritakan kisah cinta semasa sekolah karena Emilya request cerita yang ada kisah cintanya. Awalnya dia minta kisah Nabi dan Siti Aisyah. Tapi akhirnya berubah menjadi kisah cinta remaja. Rupanya itu adalah cinta pertama Khairul yang berakhir tak menyenangkan. Tidak, bukan perselingkuhan. Melainkan perjodohan. Gadis yang menjadi kekasih Khairul sejak MTs hingga MA dijodohkan oleh orang tuanya. Gadis itu sampai mengurung diri di kamar hingga membuat sang ibu menelepon Khairul dan memintanya membujuk. Emilya bisa merasakan itu adalah kisah cinta yang belum pudar di hati Khairul. Tanpa bisa dicegah, rasa sakit melanda hatinya. Emilya tak benar-benar mengerti itu sakit karena apa. Mungkin dirinya iri karena Khairul pernah memiliki kisah yang begitu indah sementara dirinya… Atau itu adalah rasa cemburu? Rasanya sangat mustahil. Baru beberapa hari dirinya menerima Khairul. Masa sudah merasakan yang sejauh itu? Tak ingin memikirkan lebih jauh, Emilya menghalau segala perasaan tak enaknya dan hanya terus mengganggu Khairul dengan mengatakan bahwa lelaki itu belum bisa melupakan cinta pertamanya. Kini waktu sudah menunjukkan pukul dua siang namun Emilya masih kesulitan menyiapkan materi untuk nanti malam. Lalu mendadak ponselnya berdering menandakan telepon masuk. Tanpa curiga Emilya menerima panggilan itu namun terlambat menyadari bahwa itu bukan telepon masuk biasa. Melainkan video call. Refleks Emilya yang sedang telungkup di atas ranjang menyembunyikan wajah di balik bantal guling yang menjadi tumpuannya. Suatu perbuatan bodoh padahal dia bisa langsung membalik telepon. “Assalamu’alaikum, Ukhti.” Emilya menggigit bibir, menimbang hendak mematikan panggilan telepon atau menerimanya. Jika memutus panggilan telepon begitu saja, rasanya sangat kasar. Tapi menghadapi Khairul secara langsung meski hanya melalui video call… Mendadak hal lain mengganggu pikirannya. Dia panik memikirkan apa pakaiannya cukup pantas? Apa tadi dia memakai bedak atau wajahnya kusam seperti biasa? Lalu rambutnya… arghh! “Assalamu’alaikum,” ulang Khairul. “Aku ganggu, ya?” Kembali Emilya mengerang dalam hati sebelum memutuskan mengangkat wajahnya lalu berusaha tersenyum pada seseorang yang balas menatapnya sambil menahan senyum geli. Silakan tertawa sepuas Anda, Pak Guru! “Kok video call?” Emilya berusaha bersikap biasa. Khairul ternyata juga tengah telungkup di atas… apa itu kasur lantai? Membalas dengan senyum ramah. “Pengen lihat wajah samean.” Untung saja wajah Emilya tidak mudah memerah. Sambil menahan malu dia berkata, “Belum mandi. Jadi berantakan gini.” “Pantes bau.” “Ish!” Lalu Emilya tergelak. Mana mungkin tercium ya, kan? Dan canda Khairul berhasil mencairkan suasana. Meruntuhkan sikap tegang Emilya. “Mas gak ngajar?” “Ini hari Jum’at, Ukhti. Sudah pulang sejak beberapa jam lalu.” “Oh iya, hehe.” “Ukhti lagi apa?” “Hmm, ini bikin materi buat seminar online nanti malam. Bantuin!” “Bantuin gimana?” “Temanya, bagaimana membuat cerita seolah nyata.” Khairul geleng kepala dengan raut bersalah. “Bukan bidangku.” Emilya mengangguk paham. “Aku temenin aja yah.” Sejenak Emilya tak menanggapi, berusaha konsentrasi menghadap kertas dengan pulpen di tangan. Namun tak ada apapun yang melintas dalam benaknya. Pikirannya terus tertuju pada orang yang terasa sekali tengah menatapnya intens. Kembali Emilya mendongak menatap Khairul dengan senyum geli menghiasi bibirnya. “Dilihatin gitu malah semakin gak konsen.” “Apa mau dimatikan saja teleponnya?” Emilya tak langsung menjawab. Namun dalam hati dia tahu, dirinya tak ingin mengakhiri video call mereka. Emilya sadar, Khairul telah menyentaknya keluar dari kegelapan menuju cahaya. Awalnya Emilya takut dan meronta ingin kembali. Namun begitu menyadari cahaya tak menyakitinya, dia enggan untuk kembali ke kegelapan. Akhirnya Emilya memilih meletakkan pulpen dan menutup bukunya lalu ia singkirkan ke samping. Setelahnya dia melipat tangan di atas bantal, menjadikan lengannya sebagai tumpuan dagu dan membalas tatapan mata cokelat madu Khairul dengan sama intens. “Gak usah. Aku buat nanti saja.” Khairul menyeringai, tampak senang dengan keputusan Emilya. “Gak sabar ingin cepat-cepat besok.” Aku juga. Namun dua kata itu tak berani Emilya suarakan. Sebaliknya dia malah berkata, “Bu Elisa bilang, banyakin kepitingnya.” “Siap. Yang penting adiknya boleh dibawa keluar.” Emilya terkekeh. “Disogok sama kepiting.” “Sssttt, jangan bilang-bilang.” Lalu seperti sebelum-sebelumnya, mudah bagi Khairul membuat obrolan menjadi seru dan panjang. Tampaknya dia memang tergolong cerewet. Sangat bertolak belakang dengan Emilya yang cerewetnya hanya di saat-saat tertentu dan sudah sangat akrab. Selain itu, orang akan berpikir bahwa Emilya pendiam. Di tengah obrolan, Emilya menyadari satu hal lagi dari Khairul. Lelaki itu tak seperti guru Agama kebanyakan. Yang cenderung kaku dan hanya membahas tentang pahala dan dosa. Jenis guru yang paling disegani dan bahkan dihindari oleh Emilya. “Mas gak kelihatan kayak guru Agama,” celetuk Emilya tanpa sadar. Khairul terkekeh. “Apa guru Agama harus selalu pakai kopiah? Dalil dari mana itu?” Dalil apa ya, pikir Emilya. Belum sempat dia mencari di google, Khairul melanjutkan, “Pas pertama kali masuk SMK Bintang, waktu itu di ruang guru, ada segerombolan guru perempuan yang gosip. Suaranya keras, jadi aku dengar jelas. Kata mereka juga begitu. Kok guru Agama penampilannya gitu? Kok gak pakai kopiah? “Langsung aku datangi dan tanya, kata siapa guru Agama harus selalu pakai kopiah? Saya ingin tahu dalil dan hadistnya. Mereka langsung diam. Malah kelihatan kayak kaget juga. Mungkin dikira aku bakal diam saja. “Aku juga bukan tipe orang yang terlalu ngurusi orang lain. Kecuali orang yang dekat dan aku tahu betul. Baru aku ingatkan misal dia berbuat salah. Tapi kalau gak kenal, yah… “Pernah pas bulan puasa, aku jalan sama teman guru, dia lihat ada orang makan di warung pinggir jalan. Dia mulai komentar, gak puasa lah, gak hargai yang puasa, gini lah, gitu lah. Aku cuma diam. Karena apa? Bisa jadi orang itu punya penyakit yang bikin gak bisa puasa. Kalau sudah begitu, kita yang ngomongin malah yang dosa. Habis pahala puasa kita buat gantiin dosa kita gosipin orang. Jadi lebih baik kan diam.” Emilya tersenyum mendengarnya. Jujur, dirinya pun berpandangan sama seperti Khairul. Tak suka memberi cap dosa pada perbuatan orang. Padahal yang tahu pahala dan dosa hanya Allah. Kita manusia hanya bisa jaga diri dan jaga orang-orang terdekat. “Agama Islam gak sulit kok sebenarnya. Yang sulit itu cuma manusianya. Menilai terlalu jauh bak Tuhan. Padahal Allah punya penilaian sendiri, ya kan? Kita mana tahu soal itu.” Emilya manggut-manggut paham. Obrolan pun bergulir dan berganti topik. Kali ini Khairul menceritakan pengalamannya jalan-jalan ke beberapa tempat. Sepertinya bukan hanya sekedar cerita. Lelaki itu juga sengaja ‘pamer’. Mungkin agar Emilya semakin tertarik bersamanya. Dasar! *** Malamnya saat hendak mengisi daya ponsel di meja sudut ruang tamu, Emilya berdiri bersebelahan dengan Elisa yang tengah melakukan hal sama. Kebetulan aplikasi WA Elisa masih terbuka dan tanpa sengaja Emilya melihat chat Khairul berada di barisan teratas, di bawah chat grup. Itu berarti, Elisa dan Khairul baru-baru saja saling berkirim pesan, kan? Seketika rasa curiga merambati hati Emilya. Dia berusaha meyakinkan diri bahwa mungkin itu chat saat Khairul meminta izin atau mungkin chat lain mengenai pekerjaan. Tapi rasa curiga Emilya kian meningkat. Entah mengapa dia merasa… kakaknya dan Khairul tengah membicarakan dirinya. Astaga, Em! Lupakan! Bukankah kamu sudah menerima meski Elisa benar-benar menjodohkan kalian? Lalu kenapa kamu masih peduli apa yang mereka bicarakan di belakangmu? Tapi ayolah! Memangnya siapa yang tidak penasaran apa yang orang lain bicarakan di belakang kita? Apalagi jika orang lain itu adalah orang terdekat? Begitu pula yang Emilya rasakan. Dia benar-benar ingin tahu. Apa yang mereka obrolkan mengenai dirinya. Tepat hari Sabtu pukul 4 pagi usai sahur, Elisa yang hendak mandi meminta Emilya untuk mengisikan daya ponselnya. Bak pepatah pucuk dicita ulam pun tiba, Emilya pun tak menyangka mendapat kesempatan seperti itu. Buru-buru dia melakukan yang diminta Elisa lalu segera membuka aplikasi WA Elisa. Dan rasa penasarannya pun terjawab. Namun sebagai gantinya, rasa sakit itu datang. Pelan, semakin dalam, dan semakin lebar. “Adek samean curhat, Bu. Tapi dah dihapus.” Begitu chat Khairul yang pertama kali tertangkap mata Emilya. Mungkin masih ada obrolan di atasnya. Tapi bagian itu yang melekat di hati Emilya. “Gimana ya Bu. Sampai kemarin malam dia jelaskan kalau adek samean masih kurang puas sama dirinya sendiri. Aku jelasin, Bu. Orang nelpon, tapi dijawabnya ketik.” “Dia kalau disuruh ngomong sama samean secara langsung kayaknya jadi salting. Makanya dibalas pakai ketik,” balas Elisa dengan tambahan emosikon tangan meminta maaf. “Adek samean juga minta diceritakan kisah nabi sama istri-istrinya. Tapi tetap dibalas chat. Dan ujungnya ditinggal tidur. Samean tahu, aku sampai ngomong sendirian. Dua kali sama tadi malam.” “Kalau soal itu, saya cuma bisa minta maaf sama samean. Kalau di rumah dah sepi, dia biasanya juga masuk ke kamar. Dan kalau sudah ketemu bantal…” Astaga… padahal Emilya sangat menikmati mendengar Khairul bercerita. Tapi ternyata… bagi lelaki itu seperti sebuah beban? Sampai kakaknya harus minta maaf? Rasa sakit kian menusuk hati Emilya. Terutama saat dia melihat ada banyak obrolannya yang Khairul sceenshot lalu dia kirimkan pada sang kakak. Obrolan yang bagi Emilya privasi. Obrolan yang harusnya hanya diketahui mereka berdua. Seketika rasa percaya Emilya pada Khairul runtuh bersamaan dengan air matanya yang bergulir kian deras. Padahal dirinya mulai percaya. Padahal dirinya mulai menaruh hati. Kalau sudah seperti ini, bisakah Emilya tetap memercayakan masa depannya pada lelaki itu? ------------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD