Dongeng Sebelum Tidur

1418 Words
Selasa (17.32), 26 Oktober 2021 ------------------------- Obrolan pertama Khairul dan Emilya melalui telepon diwarnai gelak tawa. Bagaimana tidak? Ucapan Emilya dichat beberapa waktu lalu bahwa dirinya pengacara ditanggapi serius oleh Khairul. Lelaki itu benar-benar berpikir bahwa Emilya adalah seorang pengacara. “Itu singkatan, Mas. Pengangguran banyak acara,” jelas Emilya disertai tawa. “Astaghfirullah, aku kira pengacara beneran, Ukhti.” “Bukan, hahaha…” “Duh, jadi malu.” Buru-buru Khairul mengalihkan pembicaraan. “Oh ya, Bu Elisa sudah ngasih izin aku ngajak samean keluar malam minggu ini.” “Kok bisa langsung dapat izin?” Emilya sengaja pura-pura tak tahu. “Aku memelas, Ukhti.” Kembali Emilya tergelak. Padahal Khairul meminta izin melalui chat. Tapi Emilya membayangkan lelaki itu memohon langsung dengan tampang puppy eyes. Obrolan semakin panjang dan tak tentu arah hingga akhirnya Elisa menyuruhnya masuk dan menutup pintu depan. Saat itulah rasa tak nyaman Emilya timbul. Dia tak bisa mengobrol di dekat keluarganya. Meski obrolan antara dirinya dan Khairul tak ada yang aneh, tetap saja rasanya tak nyaman didengar orang lain. Emilya sadar, mungkin ini hanya sifat over negative thingkingnya. Putri Elisa juga sering menerima telepon dari pacarnya. Kalau mau, dirinya juga bisa menjadi penguping karena suara sang adik jelas terdengar. Tapi faktanya tidak pernah. Toh tak ada yang menarik. Meski demikian, Emilya tetap merasa tak nyaman. Akhirnya begitu masuk ke rumah, dia tak lagi menyahuti obrolan Khairul, melainkan membalasnya melalui chat. “Halo, Ukhti. Kok gak ada suaranya?” “Lihat chat,” sahut Emilya singkat. “Emm, kenapa gak ngomong langsung saja?” Emilya mengetik, “Gak enak, udah tidur semua. Takut ganggu.” Sejenak Khairul terdiam. “Samean mau balas pakai chat gini terus?” “Iya,” ketik Emilya lagi. “Aneh rasanya. Aku berasa ngobrol sendirian.” “Ini aku balas,” lagi-lagi melalui chat. Khairul terkekeh. “Ya sudah. Tadi sampai mana ya?” Emilya sendiri sudah tak ingat apa yang mereka bahas sebelumnya. Kini pikirannya tertuju pada hal lain. Yah, meski dirinya sudah tidak takut dengan bayangan hendak menjalin hubungan serius, tapi tetap saja, masih ada kekhawatiran dalam relung hatinya. Salah satunya mengenai kondisi psikisnya yang bak roller coaster. “Jujur, aku belum yakin bisa jalin hubungan serius,” ketik Emilya. “Aku lagi gak dalam kondisi stabil. Emosiku kacau. Gampang naik turun. Apalagi masih ada impian yang belum aku capai…” “Ukhti, sudah aku bilang kan menikah itu sunnah Nabi. Dan sunnah Nabi gak pernah salah. Pasti mengandung kebaikan.” Sejenak Emilya memejamkan mata, berusaha mencari kata yang tepat. “Mas gak ngerti. Seumur hidup aku ngerasa dipenjara dalam rumah ini. Gak bebas keluar,” akhirnya dia memilih jujur. “Lalu apa jadinya setelah menikah nanti? Bukankah cuma… ibaratnya keluar dari penjara yang ini untuk pindah ke penjara lain?” “Ukhti—” “Tunggu, biar aku selesaikan,” ketik Emilya lagi. “Itu cuma satu di antara banyak ketakutanku yang lain. Ada lagi… aku sering merasa sendirian. Merasa gak punya tempat berbagi. Jujur, berat rasanya ngelewati hari-hari dengan banyak beban pikiran yang aku tanggung sendiri. “Menikah bagiku adalah harapan terakhir. Harapan bahwa takut, sakit, dan kesedihanku selama ini akan berakhir. Bukan… bukan berakhir. Tapi akhirnya memiliki tempat berbagi. “Aku perempuan normal. Sering kali aku mengkhayalkan pernikahan. Dan dalam tiap khayalanku, menikah itu adalah akhir pêndêritaan. Menikah itu gerbang menuju kehidupan yang jauh lebih baik dan berwarna. “Bukankah seperti itu gunanya menikah, iya kan? Memangnya apa gunanya punya suami kalau gak bisa dijadikan tempat bersandar? Apa gunanya punya suami kalau gak bisa dijadikan tempat berkeluh kesah?” Sejenak Emilya terdiam menghela napas. Masih banyak yang ingin ia tumpahkan. Tapi rasanya bak benang kusut hingga dirinya kebingungan yang mana ujungnya dan bagaimana melepaskannya dari lilitan. “Ya, intinya menikah bagiku adalah harapan. Tapi sekarang saat Mas datang menawarkan sebuah hubungan yang menuju ke sana, aku jadi takut. Takut segalanya gak seindah harapanku. Kalau sudah begitu nantinya, aku udah gak punya harapan lagi untuk bertahan melewati hari.” Tak ada tanggapan setelahnya. Khairul tak mengatakan apapun. Tapi Emilya mendengar suara seperti barang dipindah-pindah di seberang sana. “Mas cari apa?” “Nyari buku sama kitab yang bisa dijadikan panduan untuk jawab segala ketakutan samean.” Refleks Emilya terkekeh pelan. Dengan bersuara, bukannya ketikan ‘hahaha…’ Berikutnya Khairul mengirim foto halaman kitab kuning yang tak bisa Emilya baca satu pun. Lalu Khairul menjelaskan banyak hal, lebih tepatnya menerjemahkan isi kitab itu. Tapi sama seperti penjelasan Khairul dulu, tak ada satupun yang merasuk ke benak Emilya. Malah lucunya, Emilya merasa seperti didongengi. Dia yang memang sudah berbaring di atas ranjang dengan earphone di telinga merasa dibuai. Perlahan kelopak matanya terasa berat lalu menutup bersamaan dengan alam mimpi menariknya ke dalam kegelapan. *** Telepon pertama Emilya dan Khairul berlangsung hampir 4 jam. Emilya sendiri tak tahu kapan tepatnya panggilan telepon mereka berakhir karena dia tidur lebih dulu. Tapi jika dilihat dari waktu panggilan dan durasinya, mungkin berakhir pukul setengah dua dini hari. Esoknya, melalui chat, Khairul mengungkit dirinya yang ditinggal tidur. Emilya langsung mengakui bahwa dia merasa didongengi. “Selama ini aku yang selalu mendongeng. Baru sekarang aku didongengi. Ternyata asyik juga. Nanti malam lagi.” Dan Emilya benar-benar menagihnya. Saat malam telah larut lalu Khairul meneleponnya seperti kemarin, dia meminta Khairul bercerita yang Emilya balas melalui chat. “Kalau pondok sekarang sudah gak seseru dulu.” “Kenapa?” “Kalau dulu namanya mondok pasti masak sendiri. Sampai kalau sudah akhir bulan dan kiriman menipis, suka ngambil dedaunan di pagar lalu diracik jadi sayuran.” “Memangnya bisa?” “Bisa. Tapi kadang gagal. Setelah makan, langsung lomba ke WC.” Emilya tergelak. Tentu saja dia berusaha menjaga suaranya sepelan mungkin namun membalas ucapan Khairul tetap melalui chat. “Tapi ya, gara-gara itu aku jadi biasa masak sendiri,” lanjut Khairul. “Jadi pengen dimasakin,” pancing Emilya. “Ayo ke rumah. Aku buatkan makanan yang enak.” “Asyik.” “Terus di pondok itu, lebih enak lagi kalau pas bangun ruang tambahan atau apa. Aku suka bantu-bantu.” “Wah, rajin banget.” “Iya. Lumayan dapat makan gratis dan bolos pelajaran.” “Lah!” Khairul terkekeh. “Iya, Ukhti. Aku sering sekali bantu di dhalemnya (kediaman—Ay) Bu Nyai. Kadang disuruh ngantar santriwati pergi belanja ke pasar. Atau diminta tolong perbaiki lampu di pondok putri.” “Jelas lebih asyik daripada pelajaran, ya kan?” Kembali Khairul terkekeh. “Kalau diingat sekarang, ngerasa lucu sendiri. Kalau diminta perbaiki sesuatu di pondok putra, langsung jalan. Tapi kalau di pondok putri, balik dulu ke kamar buat ganti baju sama mandi parfum. Misal parfum sendiri dah habis, minta ke temen. Padahal nyampek di sana juga mandi keringat lagi pas mulai perbaiki ini itu.” Emilya tertawa pelan, bisa membayangkan dengan jelas sosok santri yang tergesa ke kamarnya karena mendapat mandat memperbaiki lampu di pondok putri. “Pernah pas pagi aku ngantuk sekali. Jadi aku minta tolong teman sekamar kancing pintu dari luar biar kalau ada pengurus yang ngecek, dikira gak ada orang. Padahal aku di dalam, tidur. “Sebenarnya bukan sekali itu aja. Udah sering kayak gitu. Dulu-dulunya aman karena guru di sekolah ngira aku di dhalemnya Bu Nyai. Eh, hari itu pas apes. Pak Kyai nyariin aku. Di dhalem kan gak ada, dia ke kelas. Ternyata di kelas juga gak ada. Akhirnya temen ngasih tau kalau aku tidur. “Pak Kyai marahnya luar biasa waktu itu. Sampai-sampai pas dia datang ke kamar, pintunya kan pakai gembok dari luar, ini bisa dia tarik dan lepas. Setelah masuk, langsung pahaku diinjak. Otomatis aku kaget. Awalnya kirain temen. Pas sadar itu Pak Kyai, langsung aku nunduk. Udah wes… diomelin panjang. Baru kali itu aku lihat Pak Kyai marah luar biasa. “Setelah beliau keluar dan aku disuruh masuk kelas, aku langsung peluk seragam sama sepatu. Tapi aku gak berani lewat depan. Aku muter lewat samping pondok, lewat sawah. Takut ketemu Pak Kyai lagi.” Lagi-lagi Emilya tertawa pelan. Bisa membayangkan betapa indahnya masa-masa itu. Lalu seperti biasa, pikiran jêlek Emilya bangkit, membandingkan pengalaman Khairul dengan hidupnya sendiri yang monoton. “Terus?” kali ini Emilya berbisik pelan, bukan melalui chat. “Yah, aslinya aku bukan orang pintar, Ukhti. Aku termasuk bandel dan suka bolos sekolah. Tapi kalau sama guru, Pak Kyai maupun Bu Nyai, aku benar-benar mengabdi. Ya, alhamdulillah. Sekarang bisa jadi guru. Itu karena ilmu yang kudapat barokah.” Di bagian itu, Emilya sudah tak mendengar ucapan Khairul dengan jelas. Sama seperti kemarin, cerita Khairul berhasil membuainya hingga lelap. ------------------------ ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD