Sabtu (20.56), 23 Oktober 2021
---------------------------
Sekalian mau ajak samean keluar malam mingguan.
Satu kalimat itu terus terngiang dalam benak Emilya. Ada antusias, tapi juga ada rasa takut. Ini seperti dirinya harus memilih untuk keluar dari zona nyamannya.
Seketika Emilya sadar, keengganannya untuk meminta izin bukan hanya takut dilarang, takut ditegur, dan takut ditanyai macam-macam. Rupanya Emilya sendiri takut melangkah keluar. Mungkin efek terbiasa bersembunyi di sudut gelap hingga usia menjelang kepala tiga. Emilya sudah terlanjur terbiasa di sana, dalam kegelapan. Meski hatinya memberontak ingin keluar, tapi ternyata dirinya takut mencapai cahaya.
Lama Emilya memikirkan tawaran Khairul dan tetap belum bisa memutuskan. Menjelang siang, akhirnya Emilya memantapkan hati untuk bertanya pada Elisa seraya menghalau segala kemungkinan terburuk dari benaknya. Dirinya takkan pernah tahu hasilnya sebelum mencoba, kan?
Bersamaan dengan keputusannya, terdengar deru motor Elisa memasuki halaman. Seketika jantung Emilya berdebar cepat, tak menyangka dirinya tak memiliki kesempatan untuk merangkai kata.
Tenang, Em… tenang. Kakakmu tidak makan orang.
Tak banyak yang tahu, meski usianya telah mencapai dua puluh tujuh tahun, Emilya tergolong cengeng dan berhati lemah. Dia benar-benar tak bisa dimarahi, dikritik, apalagi disindir. Bahkan emosikon cemberut dari pembacanya yang tak puas dengan hasil karyanya bisa membuat Emilya down dan menangis berhari-hari.
Sementara Elisa berbanding terbalik dengannya. Mungkin efek menikah di usia muda dan mengambil tanggung jawab merawat kedua adiknya yang masih kecil membuat dia berkepribadian keras. Bukan sekali dua kali Elisa memarahi Emilya agar sang adik bisa bersikap lebih tegar. Sayangnya bukan kuat, itu malah membuat Emilya pandai berpura-pura. Pura-pura tegar padahal di dalam bak lava yang siap menyembur.
Takut dimarahi dan ditegur adalah salah satu alasan Emilya menjadi tertutup. Dia lebih sering menyimpan segalanya rapat di sudut hatinya hingga membusuk dan membuat pikirannya kerap tak stabil.
Sering kali Emilya menasehati dirinya sendiri bahwa manusia memang butuh ditegur dan dikritik agar menjadi lebih baik. Sayangnya semakin bertambah usia bukannya semakin kuat, hati Emilya kian menciut dan mengkerut. Hingga hatinya membentuk prinsip yang buruk.
Daripada disalahkan, lebih baik tak kulakukan, begitu pikirnya.
Seperti memasak. Karena takut disalahkan… asin lah, hambar lah, gak enak lah, akhirnya Emilya memilih tidak memasak sama sekali. Hanya memasak jika tak ada orang di rumah dan untuk dirinya sendiri.
“Masnya belum pulang?”
Pertanyaan Elisa yang tiba-tiba mengejutkan Emilya. Dia sama sekali tak menyadari kapan Elisa masuk lalu berdiri membelakanginya seraya meletakkan helm di atas meja.
“Belum.”
Usai melepas helm, Elisa tak segera beranjak. Dia tetap berdiri di meja panjang tempat meletakkan helm dan beberapa barang lain, termasuk charger. Sepertinya Elisa tengah mengecek pesan WA seraya mengisi daya baterai.
Emilya menggigit bibir, yakin itu adalah kesempatan yang baik untuk bertanya. Namun keraguan serasa menggumpal di hatinya, lalu memecah dan menyebar menjadi rasa takut yang melilit.
“Gimana? Boleh kan aku ajak samean keluar malam minggu ini?” Tiba-tiba Khairul mengirim pesan. “Katanya samean pengen ke Pantai Bohay.”
Iya, pengen. Tapi…
Mendadak sebuah ide melintas dalam benak Emilya. Kenapa tidak kepikiran sebelumnya?
“Boleh. Asal dapat izin dari Mbak.”
“Ya samean minta izin.”
Enak aja, Emilya tergelak dalam hati.
“Gak gentle. Harusnya cowok yang minta izin.”
“Duh, gimana bilangnya, ya?
Emilya tak langsung membalas. Dia mempertanyakan sikap Khairul yang terdengar sungkan untuk meminta izin mengajak Emilya keluar. Padahal kan Elisa yang menjadi jembatan antara Khairul dan Emilya. Lalu kenapa Khairul amat sungkan pada Elisa untuk sekedar meminta izin?
“Oke, nanti aku coba chat Bu Elisa. Bismillah.”
Masih dengan benak penuh tanya, Emilya menahan senyum geli. Balasan Khairul terdengar seperti… lelaki itu hendak memasuki ruang sidang. Hidup matinya tergantung dari keputusan hakim.
Dan bukan hanya Khairul yang pastinya panas dingin di seberang sana, Emilya di sini juga panas dingin menunggu hasilnya. Kira-kira apa dirinya benar-benar bisa ke Pantai Bohay berduaan dengan Pak Guru?
***
Masih di hari yang sama namun langit telah berubah gelap, Emilya duduk di beranda dengan laptop menyala di hadapannya. Tak jauh dari tempatnya berada, kedua keponakannya yang masih berusia sembilan dan lima tahun tengah asyik bermain. Emilya berusaha “tak mendengar” keriuhan yang diciptakan kedua keponakannya dan berkonsentrasi menulis.
Tinggal di rumah kecil dengan sembilan anggota keluarga membuat Emilya belajar menciptakan gelembung pribadi. Ini seperti istilah, kesepian di tengah keramaian. Biasanya tak sulit selama tak ada yang mengajaknya bicara. Malam ini pun tak terlalu sulit sebelum—sang Kakak tiba-tiba duduk di kursi sebelahnya dan mengajaknya berbincang.
“Katanya Irul mau ke sini hari Sabtu.”
DEG.
Emilya menelan ludah. Berbekal latihan bertahun-tahun dalam menyembunyikan emosi, dia berusaha bersikap biasa. Seolah fakta itu sama sekali tak mengganggunya.
“Iya, bilang mau bawakan kepiting.” Lalu Emilya melanjutkan, “Lawong ditawari, ya diterima.”
Selama beberapa saat, Elisa tak mengatakan apapun lagi. Tentu hal itu membuat Emilya waswas. Kira-kira apa yang dikatakan Khairul? Apa lelaki itu hanya izin mau datang? Lalu soal pergi malam mingguan…
“Sebenarnya hubungan kamu sama Irul itu gimana?”
Refleks Emilya menjawab, “Ya gak gimana-gimana. Cuma chattingan aja.”
“Em, cowok datang ke rumah cewek itu gak sembarangan. Butuh keberanian ekstra. Apalagi kamu tahu sendiri Irul teman kerja Mbak. Pasti rasa khawatir dan waswasnya jauh lebih besar.
“Kamu ngizinkan dia datang sama artinya kamu ngasih lampu hijau untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Apalagi dia bilang mau ajak kamu malam mingguan. Tentunya di pikirannya, apalagi yang seusia Irul, sudah bukan main-main lagi. Kamu harus tegas. Kalau kamu gak suka, mending bilang dari sekarang. Jangan kasih harapan yang ujungnya bikin hati terluka.”
Seketika Emilya merasa seperti ditampar karena memang seperti itulah niatnya.
Sejenak dia merenungi tujuan buruknya dan memikirkan ulang alasan sampai dirinya bertujuan demikian. Sebagai orang tua yang mengkhawatirkan anaknya, niat Elisa menjodohkan dirinya sama sekali tak salah. Toh Elisa tak lantas memaksanya menikah layaknya kisah Siti Nurbaya.
Sama seperti dulu-dulu, Elisa masih memberinya kesempatan untuk menolak. Meski yah, dia tetap mengawasi. Menjadi sutradara dalam hidup anak-anaknya. Tapi itu Elisa lakukan karena sayang.
Kalau sudah begini, niat Emilya untuk membalas dendam terdengar kasar sekali. Sangat jahat. Benar kata Elisa, harusnya dia bersikap tegas. Tak memberikan harapan palsu yang ujungnya hanya melukai.
“Kalau menurut Mbak, Irul itu orangnya gimana?” Tiba-tiba Emilya bertanya. Pertanyaan yang membuat dirinya sendiri kaget.
“Ini dari pandangan Mbak. Dari yang Mbak lihat selama di sekolah sebagai rekannya,” jelas Elisa. “Soal Agama gak perlu ditanya. Dia lulusan pondok dan memang guru Agama. Soal akhlak Mbak tahu sendiri. Saat yang lain dikasih tanggung jawab tapi dikerjakan setengah-setengah, dia selalu selesaikan sampai tuntas sebaik mungkin. Dia juga gak seperti guru-guru lain yang kadang main colak-colek kalau ada yang bening.
“Dia pekerja keras. Buktinya selain ngajar, dia juga melatih hadrah dan bertani. Jelas bukan pemalas. Yah, intinya Mbak gak khawatir melepas kamu di bawah tanggung jawabnya.”
Ada rasa haru yang Emilya rasakan tapi dia tekan kuat-kuat. Seketika kemarahan dan kekecewaannya soal perjodohan dan sandiwara di belakangnya lenyap tak tersisa. Saat ini yang Emilya lihat, betapa tulusnya sang kakak memikirkan masa depannya. Penjara yang diciptakan orang tua pastilah demi kebaikan anak-anaknya. Meski terkadang tak selalu baik hasilnya, tapi niat mereka pasti baik.
Sebagai tanggapan, Emilya hanya manggut-manggut.
“Tapi ingat satu hal,” Elisa melanjutkan. “Kalau kamu siap menerima seseorang, yang harus kamu terima adalah kekurangannya. Sementara kelebihan itu hanya bonus.
“Kalau kamu gak bisa seperti itu, lebih baik mundur sekarang. Karena apa yang kamu lihat saat ini hanya permukaan luarnya. Segala kebaikan dia adalah permukaan. Nanti… nanti setelah hubungan kalian benar-benar serius, barulah segala kekurangannya akan nampak.
“Mereka yang hubungannya putus di tengah jalan kebanyakan adalah orang-orang yang gak bisa menerima kekurangan pasangannya. Tapi ya… bukan berarti sebagai pasangan boleh bersikap sembarangan. Intinya kita harus menjadi yang terbaik untuk dia dan menerima kekurangannya. Dia pun harus begitu.”
Jemari Emilya saling mengait di pangkuan. Dia tak pernah menyangka malam ini harus membuat keputusan besar. Ya, meski kedengarannya sederhana, tapi ini adalah langkah besar. Jika dirinya tak menolak Khairul sekarang, berarti dia harus siap menjalin hubungan dengan Khairul. Hubungan yang tak mungkin sekedar pacaran bak anak sekolah.
“Saran Mbak, jalani saja dulu,” ujar Elisa hati-hati. “Selama ini kamu gak pernah biarkan siapapun mendekat. Padahal sampai kapanpun kamu gak akan pernah tahu apa lelaki ini cocok untukmu kalau kamu gak mencoba membuka hati.”
Dirinya pernah pacaran. Apa itu bukan ‘membuka hati’? Mungkinkan selama ini Emilya memang tak pernah membiarkan siapapun mendekat meski telah menjalin kata ‘pacaran’?
“Mbak juga tentunya gak sembarangan ngasih kesempatan lelaki dekati kamu. Kayak yang datang ke sini waktu itu… yang penampilannya seperti mau pergi ke Syubban.”
Seketika Emilya tergelak. Teringat seorang lelaki paruh baya yang datang bersama anaknya untuk “meminta” dirinya. Sebenarnya Emilya sama sekali tak keluar. Tapi Dinda, anak ketiga Elisa, mengintip ke ruang tamu. Dia juga yang mengatakan bahwa si lelaki seperti “Mau Pergi ke Syubban”. (Syubbanul Muslimin, biasa disingkat Syubban, merupakan salah satu Majelis terkenal di Probolinggo. Majelis sendiri adalah perkumpulan kaum muslim untuk mengirimkan doa dan pujian-pujian terhadap Nabi melalui sholawat. Atau lebih akrab disebut pengajian—Ay)
“Jelas kalau yang seperti itu, gak usah sampai kenalan sama kamu,” lanjut Elisa. “Mbak sama Masmu jadi orang pertama yang nolak.”
Kembali Emilya hanya mengangguk. Kali ini diselingi senyuman. Senyum penuh rasa terima kasih tulus dari relung hatinya. Dan bersamaan dengan itu, ponsel Emilya berdering menandakan telepon masuk. Dari orang yang sedang mereka bicarakan.
“Panjang umur,” Elisa terkekeh. “Sisanya Mbak serahkan sama kamu.” Lalu ia berdiri dan kembali ke dalam rumah, meninggalkan Emilya di beranda bersama kedua putranya yang masih asyik bermain.
Kembali Emilya termenung. Kali ini dengan pandangan tertuju pada ponselnya yang masih berdering dan bergetar dengan layar menampilkan sosok Khairul.
Kalau kamu menerimanya, Em… itu artinya kamu menukar masa depanmu dengannya. Bukankah itu yang selama ini kamu takutkan?
Tapi tiba-tiba saja, segala rasa takut itu lenyap. Entah bagaimana, hilang begitu saja. Saat menatap foto layar ponselnya sekarang, yang Emilya pikirkan adalah sosok Pangeran Berkuda Putih yang bertekad membawanya keluar kastil. Keluar dari menara tinggi yang menjadi penjaranya.
Perlahan senyum Emilya merekah. Berbekal keyakinan itu, dia menggeser tombol warna hijau di layar ponselnya lalu menerima telepon Khairul untuk pertama kali.
----------------------
♥ Aya Emily ♥