Jumat (23.05), 22 Oktober 2021
--------------------------
Dengan perasaan penuh dendam dan niat buruk, Emilya mulai menanggapi chat Khairul lebih sering daripada sebelumnya. Mereka mengobrol banyak hal, mulai dari keseharian Khairul, hobbynya memasak, hingga obrolan tak jelas dan tak tentu arah.
Sayangnya Emilya tak sadar, niatnya membuat Khairul jatuh cinta adalah trik yang salah. Meski tujuannya buruk, meski tujuannya untuk menjebak, namun dia dengan sengaja membuka pintu hatinya dan memberi akses bagi Khairul untuk masuk lalu merenggut hatinya.
Kesempatan yang Emilya berikan pada Khairul adalah sesuatu yang tak pernah Emilya berikan pada lelaki lain. Benar kata sang kakak, Emilya cenderung tertutup. Ketidaktertarikannya terhadap pernikahan membuat Emilya tak pernah mengizinkan siapapun menyentuh hatinya. Bahkan saat ada lelaki yang mendekat, biasanya hanya Emilya jadikan sebagai bahan eksperimen. Untuk mempelajari sudut pandang lelaki demi novel-novelnya.
Intinya Emilya terjebak permainannya sendiri.
Masih di hari yang sama saat Emilya memutuskan meladeni Khairul dan membuat lelaki itu jatuh cinta padanya, obrolan chatting mereka berlangsung lebih sering dan lama. Hingga tak terasa, pergantian hari tinggal dua jam lagi.
“Kalau belum mau tidur, gak papa kan aku temenin chattingan?” tanya Khairul.
“Iya, gak papa.”
Namun kali ini Emilya yang dibuat heran karena sampai lewat sepuluh menit, Khairul tak kunjung membalas.
“Ngilang wes,” kembali Emilya membalas.
Delapan menit kemudian, Khairul membalas, “Maaf enggeh. Ini adeknya ibu nelpon, Ukhti. Minta dikirimin bumbu.”
“Wah…”
“Samean mau? Kalau mau, aku buatin yang the best, hehe.”
“Jadi malu. Aku gak bisa masak.” Sebenarnya tidak juga. Emilya suka masak. Hanya saja tidak pernah tahan kritikan. Jadi daripada dikritik, dia lebih suka tak menyentuh dapur sekalian. “Bumbu apa?”
“Bumbu rendang sama bumbu asam manis.”
“Mauuu…”
Sejenak Emilya berpikir, rasanya sungkan kalau benar-benar dikasih. Apalagi oleh seseorang yang sedang melakukan ‘pendekatan’. Bukankah itu artinya nanti Emilya merasa berhutang?
Tidak, dia tidak mau berhutang apapun pada si Pak Guru.
“Tapi enggak dah. Entar ngerepotin.”
“Gak repot kok. Tinggal ambil di resto nanti. Samean mau kepiting tah?”
Kepiting? Mau banget!
Seketika Emilya membayangkan hewan bercapit itu, lengkap dengan bumbu asam manis seperti yang Khairul katakan tadi. Kira-kira kapan terakhir dirinya makan kepiting? Rasanya sudah lama sekali. Mungkin tahun lalu… atau dua tahun lalu?
“Kalau bilang enggak, berarti bohong.” Memang iya, kan? “Tapi beneran cuma bercanda, hehehe…”
Seolah sengaja ingin membuat Emilya semakin meneteskan air liur, Khairul mengirim video singkat proses memasak kepiting asam manis dan kepiting telur asin mentega.
Ugh, lezatnya.
“Ini di resto? Tapi jangan dibawain beneran T__T Ngerepotin.”
Tanpa bisa dicegah, Emilya benar-benar berharap bisa mencicipi kepiting yang Khairul pamerkan di videonya. Tapi…
“Enggeh. Itu punya adeknya ibu yang bungsu. Aku nanam modal waktu merintisnya dan ikut bantu juga. Tapi sekarang wes jarang bantu.”
Ini mengingatkan Emilya pada ucapan sang kakak sepulang yasinan.
Kalau gak salah juga punya rumah makan sama saudaranya. Sepupu atau Pak Lek, entahlah. Semacam bisnis bersama.
Ah, benar. Mungkin resto ini yang Elisa maksud.
“Ini waktu masih jadi chef.” Kali ini Khairul membalas disertai sebuah foto dirinya sendiri. “Waktu itu ada pelânggan yang minta dimasakkan kepiting bawang goreng.”
“Mas Chef… Mas Guru… Mas Ustadz… jadi bingung manggilnya,” goda Emilya.
“Gak usah bingung. Asal jangan panggil Aki aja, hahaha…”
“Siap, tinggal panggil kakek, wkwkwk”
“Duh…” Khairul lanjut membahas mengenai bumbu. “Itu masaknya gak pakai kacang, tapi pakai mente.”
“Penasaran rasanya.”
“Kalau samean mau, monggo main-main ke resto.”
Demi kerang ajaib, mau sekali!
“Tunggu gajian.”
Padahal pas gajian pun belum tentu bisa pergi. Memangnya mau izin gimana? Yah, sebenarnya bisa saja diizinkan sih… tapi jelas tidak mungkin sendirian. Seperti biasa, hiks…
“Repotnya gini kalau pengacara (pengangguran banyak acara—Ay). Gajiannya gak jelas, hahaha…”
Tak diduga, tepat pukul 23.06, Khairul menelepon. Sontak Emilya kaget. Lalu seperti biasa, dia hanya membisukan dering telepon lalu membiarkannya sampai panggilan selesai.
Lagi-lagi bukan sekedar omong kosong cap introvert melekat pada dirinya. Emilya benar-benar tertutup. Dia tak pernah menerima telepon kecuali dari keluarganya. Bahkan dari teman seperjuangan semasa kuliah pun tak pernah kecuali memang kondisi darurat yang nyaris amat sangat jarang terjadi.
Usai panggilan telepon yang tak diangkat, Khairul mengirim sebaris pesan. “Bolehkah aku ngobrol lewat telepon?”
“Gak enak kalau malam gini. Udah tidur semua. Ganggu yang lain.”
Itu bukan bohong. Memang Emilya tak pernah melakukannya. Tapi membayangkan berbicara dalam kondisi rumah sepi, tentu itu gangguan bagi yang sudah tidur. Ditambah lagi dirinya takkan pernah nyaman berbincang pribadi dengan kemungkinan obrolannya didengar orang lain.
“Rumahnya kecil sih,” lanjut Emilya.
“Hmm.”
Mendadak Emilya tergerak untuk jujur. “Aslinya aku gak pernah mau ditelepon,” ujarnya disertai emosikon monyêt menutup mata.
“Kenapa? Kan cuma ngobrol aja, gak lebih dari itu.”
“Jariku lebih banyak kosa-katanya dibanding mulut. Aku malah canggung kalau ngobrol langsung.”
“Emmz, kalau gitu tetep chattingan aja enggeh.”
Dan obrolan di antara keduanya terus berlanjut sampai pukul 2 dini hari.
***
Begitu sunyi dan sepi mencekam
Hatiku tertuju pada bunga yang sedang mekar
Pancarkan keindahan bak cahaya kesejukan
Bagiku bunga ialah hiasan indah
Pancarkan cahaya meski hanya secercah
Membuat mentari hadir dengan senyum merekah
Alami adalah daya tarik sang bunga
Begitu halus nan wangi
Kecil namun berseri
Kecantikannya berpendar oleh sinar mentari pagi
Bunga masa depan tumbuhkan benih malam ini
Meski ianya tak bercahaya tanpa mentari
Tapi jangan khawatir
Semerbak wangi bunga ‘kan terus menemani
20 April 2021
By Khairul Anwar
Sebuah puisi kembali menyapa Emilya. Tapi sama seperti puisi yang lalu, rangkaian kata indah itu hanya melintas dalam benak Emilya. Sama sekali tak membekas.
Lalu mengapa hari ini nama Khairul seolah betah menghuni benaknya?
Sebenarnya Emilya tahu betul apa alasannya. Jelas bukan karena puisi. Melainkan karena ajakan Khairul untuk buka puasa di restonya.
Beberapa waktu lalu Khairul mengajak Emilya untuk makan malam. Tentu saja masih melalui chatting. Obrolan yang tadinya hanya sambil lalu, rupanya ditanggapi serius oleh Khairul. Lelaki itu benar-benar mengajak Emilya untuk makan bersama.
Ajakan kencan, iya kan?
Jujur, saat itu Emilya tak lagi memikirkan soal balas dendam dan sebangsanya. Dia bahkan sudah tak terlalu merisaukan fakta bahwa kakaknya menjodohkan dirinya dan Khairul.
Yang Emilya pikirkan saat itu, betapa menggiurkannya tawaran Khairul. Bukan makanannya. Tapi soal pergi keluarnya. Mungkin jika yang menawarkan adalah lelaki lain, sifat protektif Elisa pasti muncul. Yang terbayang pertama kali jelas adalah penolakan. Atau pertanyaan bertubi mengenai siapa lelaki yang mengajak Emilya keluar.
Tapi ini… Khairul adalah orang yang dipilih Elisa. Jika sudah begini, bukankah Emilya tak perlu menjelaskan apapun? Dia hanya cukup bertanya, dan kemungkinan lima puluh persen Emilya akan mendapat izin.
Ini adalah jalan yang tak terduga untuk mewujudkan impian Emilya. Impiannya untuk keluar rumah. Yah, meski itu berarti dirinya tak benar-benar sendirian seperti yang Emilya inginkan, tapi minimal dia bisa keluar. Keluar atas kemauannya sendiri.
Jadi, apa keputusannya? Akankah Emilya melewatkan kesempatan ini?
Sepanjang hari itu, Emilya tak fokus membalas chat Khairul. Pertanyaannya terus berputar di sana. Bagaimana caranya meminta izin pada Elisa. Lalu otak Emilya yang terkadang over negative thinking selalu menciptakan skenario terburuk hingga membuatnya kian menciut untuk menghadap sang kakak.
Astaga, harus gimana? Iya atau tidak?
“Arahnya gak sulit. Restonya di pinggir jalan,” chat Khairul.
Ish, bukan masalah arahnya. Tapi gimana izinnya…
“Kayaknya gak mungkin dapat izin kalau aku naik motor sendirian. Lumayan jauh dari sini.” Akhirnya Emilya memilih jujur.
“Bisa ajak adik atau teman…”
Rupanya Anda belum tahu seberapa protektifnya Elisa, Pak Guru.
“Tetep gak bakal dapat izin. Kecuali Elisa sendiri yang ngantar. Tapi rasanya agak sulit. Dia sendiri harus siapkan buka puasa di sini.”
Meski menolak mengakui, rasa sedih melilit hati Emilya. Dia benar-benar berharap bisa keluar. Pergi tanpa pengawasan. Yah, meski ini tak sejauh yang Emilya impikan, tapi bisa pergi jauh dari pantauan keluarganya merupakan kemewahan bagi Emilya.
“Kalau gitu biar aku saja yang ngantar, enggeh. Tapi habis tarawih.”
“Gak usah, Mas. Rasanya nyusahin banget, hehe…”
Percuma juga. Oke bisa nikmatin kepiting. Tapi batal pergi keluar seperti yang Emilya harapkan.
“Sama sekali nggak. Tapi… sekalian mau ajak samean keluar malam mingguan.”
DEG.
Serius?
Ini lebih dari yang Emilya harapkan. Amat sangat jauh dari yang dirinya bayangkan.
-----------------------------
♥ Aya Emily ♥