16

2079 Words
Aeji masih menatap barang bawaannya, penuh mainan anak-anak dan sayur-sayuran. Hari ini ia berencana untuk berkunjung ke rumah sahabatnya, Minho. Semenjak anaknya masuk ke rumah sakit, ia belum bertatap muka dengan ayah muda itu lagi. Terakhir komunikasipun pesan beberapa hari yang lalu. Belum lagi hari ini adalah dua hari setelah anniversary pernikahan mereka. Tentu kehadiran dadakan ini tidak akan mengganggu mereka berdua bukan? Gadis itu berencana akan memasakan makanan yang lezat untuk orang tua muda itu, mungkin sedikit berpesta dengan anggur. Kebetulan hari juga sudah petang, sebentar lagi akan gelap. Beberapa jam setelah bermain dengan mainan barunya pasti ia akan tidur. "Halo, nona," sapa paman security yang sudah begitu hafal dengan Aeji, karena sebelum Minho menikahpun ia sering berkunjung ke apartemen ini. Paman security berusia 70 tahunan itu tersenyum manis dengan keriput yang jelas dimatanya, Aeji sering memanggilnya Paman Goo, dan senyum paman Goo adalah favorit Aeji. "Biar ku bantu, nak,"kata Paman Goo yang berusaha mengambil barang-barang di tangan Aeji. "Tidak, paman. Terimakasih. Lagipula kalau Paman Goo membantuku, nanti kalau ada pencuri yang masuk bagaimana?" goda Aeji yang membuat Paman Goo tertawa. Akhirnya Paman Goo pun tidak jadi membantu Aeji. "Mau bertemu nak Minho?" "Iya, paman. Apa Minho ada?" "Setahuku mereka masih di rumah sakit. Semenjak si kecil masuk ke rumah sakit, mereka belum kembali sampai sekarang," kata Paman Goo. Aeji langsung lesu mendengarnya, apakah sakitnya separah itu? Ini sudah terlalu lama untuk opname. Aeji mengambil handphonenya dan mencoba untuk menghubungi Minho. Sambungannya selalu terputus seperti sebelum-sebelumnya. Aeji akhirnya mengetik pesan ke Minho. Me Kau masih di rumah sakit? Aeji melihat pesannya bercentang satu. Apa nomornya tidak aktif? Mungkin ponselnya sedang di charge. Gadis itu mendesah pasrah. "Ada apa nak?" tanya Paman Goo. "Oh tidak apa-apa, paman. Aku berencana memberikan kejutan untuk mereka. Tapi kalau mereka tidak di rumah, mau bagaimana lagi," kata Aeji. "Oh begitu," tiba-tiba wajah Paman Goo tampak bimbang, seperti ada sesuatu yang di sembunyikan. Aeji yang tak sengaja menangkap raut wajah itu langsung curiga. "Ada apa paman? Kenapa... paman seperti bimbang?"  "Hmm.. itu," Aeji mengerutkan dahinya semakin penasaran. Paman Goo membuang nafasnya berat dan akhirnya mengatakan ke curigaannya. "Semenjak si kecil masuk rumah sakit, mereka tidak ada yang kembali ke rumah sama sekali. Setidaknya untuk mengambil beberapa barang kembali," terang Paman Goo. "Sebelum si kecil masuk rumah sakit, ada pria asing yang mengunjungi rumah mereka," Aeji langsung mengerutkan dahinya seperti ada yang tak beres. Di tambah dengan wajah Paman Goo yang mencurigakan. "Tapi mungkin itu hanya perasaanku saja nak, tak perlu khawatir," lanjut Paman Goo. "Memang apa yang membuat paman merasa aneh?" tanya Aeji serius. Paman Goo tampak berpikir karena ia takut akan menimbulkan gosip karena hal ini masih spekulasinya saja. "Pria itu yang membawa si kecil Jeno dan Mirae pergi," Paman Goo berhenti sejenak sambil melirik ekspresi Aeji yang sudah tak karuan. "Waktu itu aku menanyakan pada nak Mirae sebelum mereka pergi, Nak Mirae bilang akan ke rumah sakit karena Jeno sakit. Tapi..." "Tapi kenapa paman?" "Wajah nak Mirae... mungkin hanya perasaanku saja nak. Tidak perlu khawati," lanjut Paman Goo sambil tersenyum ramah. Perasaan Aeji benar-benar tidak tenang saat ini, ia merasa ada yang tidak beres. Tidak mungkin Paman Goo sampai ragu-ragu seperti ini kalau sesatu yang buruk tengah terjadi bukan? Aeji mencoba menghubungi Minho kembali namun hasilnya tetaplah nihil. Tapi tunggu, pria? Ia mengenal keluarga Minho dan Mirae, bahkan teman hingga tetangganya. "Paman ingat wajah pria itu?" "Entahlah, aku tak bisa melihatnya karena memakai masker. Aku tak bisa melihat dengan jelas orangnya," jawab Paman Goo. "Tenang nak, itu hanya firasatku saja mungkin aku hanya mengada-ada. Tidak perlu di pikirkan nak." Aeji yang mendengarnya hanya tersenyum. Otaknya masih berpikir dengan kecurigaan ini. Semuanya baik-baik saja kan? Hollow Man Suasana sore yang menyejukan di bukit belakang gedung putih itu. Tampak sepasang adam dan hawa tengah duduk pada salah satu bangku kayu disana, begitu romantis untuk di lewatkan. Sang pria begitu hangat memeluk gadisnya, sedangkan sang gadis begitu nyaman bersandar di d**a prianya. Hangat, itu kata gadisnya membuat pria itu tersenyum. "Kakak, kenapa baru datang?" tanya gadis itu yang tak melepaskan pelukannya, seolah bila di lepas sedetik saja prianya akan pergi. Pria itu tersenyum senang mendengarnya. "Jiya rindu padaku ya?" Jiya pun mengangguk mantap membuat pria itu gemas. Iya, benar. Jiya, adik dari Aeji yang tampak begitu nyaman berada dalam pelukan pria itu. "Kakak juga rindu Jiya. Sangat sangat rindu," bisiknya sambil mengecup kening Jiya. Tiba-tiba Jiya terduduk dan menatap prianya. "Kakak janji jangan tinggalin Jiya lagi ya," ujar Jiya sambil menggenggam tangannya. Pria itu tersenyum miris, airmatanya sedikit mengalir mengingat masa masa indahnya bersama Jiya. Gadis riang yang selalu meminta es krim padanya, kini telah berubah menjadi gadis pendiam dengan tatapan yang kosong. Matanya yang selalu memancarkan kehangatan, kini menjadi begitu gelap dan sepi, membuat hatinya sedih untuk melihatnya. Pria itu mengusap pipi Jiya dengan lembut mengantarkan kehangatan yang Jiya butuhkan selama ini. Ia tersenyum melihat Jiya begitu menikmati telapak tangannya. Belum lagi senyum gadis itu, begitu cantik dan begitu ia rindukan. "Memang kakak harus kemana lagi? Jiya ada disini bukan?" balasnya yang membuat gadis itu senang dan langsung menghambur ke pelukannya. "Jiya sayang kakak," bisik Jiya di akhiri sebuah kecupan di pipi pria itu. "Jiya memang harus sayang sama kakak" Hollow Man Aeji mengambil segala bahan masakan yang ia beli untuk Minho, karena Minho hingga pukul 11 malam ini pun tidak membalas pesannya. Daripada dibuang bukan? Gadis itu langsung memasak sundubu jigae atau sering disebut dengan sup tahu pedas. Mudah dan enak. Tak lama makananpun sudah jadi. Aeji langsung meletakan makanan dan minumannya di meja ruang santai dengan dirinya yang terduduk di atas karpet. Aeji kembali mengecek handphonenya. Masih dengan tanda centang satu untuk pesan Minho. Sedangkan untuk pesan Kyuhyun sudah centang dua namun belum terbaca. "Bagaimana aku tahu rumah sakit Jeno?" gumam Aeji sambil memikirkan cara agar bisa bertemu dengan Minho, karena semua sudah terasa janggal. Pria itu tidak bisa di hubungi belum lagi dengan informasi tambahan dari Paman Goo. Bukankah aneh? Aeji meletakan handphone dan langsung menyantap makanannya, mungkin ia butuh sedikit asupan agar dapat berpikir dengan jernih. Pikirannya memang kacau akhir-akhir ini. Belum lagi Kyuhyun yang memang sedang sibuk, ia mau cerita dengan siapa kalau begini. Tak memakan waktu lama Aeji telah menghabiskan makan malamnya. Rutinitas malam seperti membersihkan apartemen, mandi dan perawatan wajah sudah ia lakukan. Gadis itu hanya perlu membiarkan punggungnya merasakan betapa empuknya kasur lembut miliknya. "Ah... nyaman sekali. Aku memang membutuhkan ini," gumamnya yang perlahan telah terhanyut dalam alam bawah sadarnya. In Memories "Kak cepatlah!" seru seorang lelaki yang tengah mengumpulkan kayu-kayu kering bersama seorang gadis didekat sungai. "Iya, sebentar lagi. Aku baru dapat 3," mataku berpaling ke arah seorang pria yang membelakangiku tepat di pinggir sungai. Begitu tenang dan tak terusik dengan omelan lelaki satunya yang sepertinya tampak lebih muda. Adiknya? Aku berjalan pelan mendekati sosok itu. Penasaran siapa sosok dihadapannya. Meski kini aku masih tak memiliki pikiran bahwa aku sedang dimana. Pastinya tempat ini adalah pinggir sungai dengan pemandangan gunung yang indah. Entah tepatnya dimana? "Mau terus disitu dan tidak membantuku?" suaranya tiba-tiba yang berhasil menghentikan langkahku. "Itu kan tugasmu," ujarku secara spontan membuat diriku sendiri ikut terkejut. Lidah ini bergerak seolah aku sudah mengenal sosok ini. Begitu akrab. "Tsk, baiklah. Setidaknya buatlah dirimu berguna dengan membantu mereka disana. Apinya belum bisa menyala," balas pria itu yang membuatku melirik pada seorang laki-laki dan perempuan disana, mereka terlihat seperti tidak mampu untuk menyalakan api. "Kakak, kemarilah bantu kami," seru gadis itu yang membuat langkahku mendekat ke arah mereka secara otomatis. Siapa mereka? Aku tak bisa berpikir apapun. Tapi kaki ini seolah digerakan melangkah ke arah mereka. Ini aneh. "Sial, kenapa susah sekali," gerutu lelaki itu ketika aku sudah berjongkok dengan mereka. "Sebaiknya kau menyerah saja, biar kakak yang melanjutkan," rayu gadis muda itu yang membuat si lelaki meliriku dengan malu. Aku tahu, bahkan sudah terlihat jelas bahwa laki-laki itu  menyukai gadis disebelahnya. Seperti lelaki pada umumnya pasti lelaki itu ingin menunjukan bakatnya pada si gadis. Setidaknya agar terlihat seperti sosok laki-laki yang bisa di andalkan bukan? "Tidak, aku bisa," ujar lelaki itu yang terus menggosokan kedua bambu itu dengan semangat. Namun tetap saja hasilnya nihil. Aku heran kenapa apinya tetap tidak mau muncul. "Coba ku lihat," kataku yang langsung mengambil bambu yang sudah diberi serbuk bambu di atasnya tersebut. Aku mengerutkan dahi saat tidak menemukan lubang di bawah bambu itu. Aku mengembalikan kembali bambu itu pada si laki-laki."Buatlah lubang di bawah serbuk bambu itu agar apinya bisa masuk," kataku yang langsung membuat lelaki itu tercengang. Ia memeriksa bambunya seolah mencari lubang. Bisa dilihat sendiri bahwa ia memang tidak tahu cara menyalakan api. "Di sebelah sini," tunjukku pada bambu tepat di bahwa serbuknya. "Y-ya, aku hanya lupa saja. Akan ku lubangi," balasnya yang langsung di lanjut dengan menggosokan bambu itu hingga sedikit demi sedikit apinya pun muncul. Kami saling berbincang seolah aku telah mengenal mereka cukup lama. Tapi siapa mereka sebenarnya? Kenapa rasanya susah sekali untuk mengatakan apa yang ingin ku tanyakan? Rasanya seperti tubuhku telah terprogram untuk mengikuti alur dari apa yang aku lihat. "Sudah menunggu lama?" suara itu. Suara pria yag tengah memancing ikan tadi. Iya, benar. Dan tepatnya kini sosok itu sedang duduk disebelahku. Jujur saja, aku ingin melihat wajahnya. Tapi kenapa aku tak bisa mengendalikan tubuhku. Aku penasaran. "Akhirnya datang juga, aku sudah lapar," ujar pasangan didepanku. "Sudah aku bersihkan ikannya, tinggal di bakar saja" Semua orang tampak bersemangat dan langsung menyusun ikan itu di atas api yang mereka buat. Aku hanya terdiam menatap mereka. Harum ikan segar itu menggungah rasa laparku, aku lapar. Belum lagi dengan pemandangan pinggir sungai ini yang begitu indah, hasrat makanku sangat tinggi sekarang. "Aeji, ini untukmu," suara pria itu lagi dengan sepotong ekor ikan bakar di atas daun pisang yang ia sodorkan padaku. Harum sekali. Ikannya tampat terbakar sempurna, kematangan well done. Asap ikannya yang masih terlihat nyata semakin membangkitkan gairahku. Aku menerimanya tanpa ragu, bagaimana tidak, makanan di hadapanku sungguh menggiurkan. Saat aku hendak mencuil ikan bakar itu, aku meringis karena panas yang ku rasa di ujung jariku. Piringku terbang begitu saja kembali ke tangan pria itu, aku ingin protes namun melihatnya tengah mensuwir-suwir ikan itu membuatku tersenyum. Penuh sabar aku menunggu pria itu mengembalikan piringku, tak lama secuil daging ikan bakar itu berhasil masuk ke mulutku. Rasa asin dan manis yang begitu terasa, belum lagi aroma bakar yang semakin menambah kenikmatan pada ikan ini, sungguh sempurna. Aku menikmati apa yang pria itu berikan padaku terus menerus. Apalagi kalau bukan cuilan daging ikan. Enak sekali. Terlalu asik makan, ikan-ikan yang sudah di bakar telah lenyap begitu cepat. "Kak, aku bakar lagi ya," ujar lelaki yang ada dihadapannya, tak lupa di bantu oleh perempuan itu dan bisa di bilang itu adalah ide yang bagus. Dua ikan langsung mereka bakar bersama-sama. Aromanya sedap sekali. Aku tidak sabar memakannya lagi. Namun tiba-tiba angin bertiup begitu kencang membuat asap-asap dari api itu mengenaiku. Aku terbatuk-batuk karena merasa sesak. Rasanya seperti susah sekali utuk bernafas. Aku terus terbatuk-batuk meski angin telah kembali normal. Seluruh gas dari pembakaran itu seperti memenuhi paru-paruku, memblokir seluruh oksigen untuk ku hirup. Aku melihat sepasang lelaki dan perempuan itu tampak khawatir melihatku, dan pria di sampingku memelukku dengan erat. Aku masih terbatuk-batuk tak bisa bernafas dengan lega.Rasanya seperti sekarat, meski aku belum pernah merasakan bagaimana rasanya sekarat. "Buang nafasmu perlahan Aeji," bisiknya yang membuat kepalaku semakin berat. Entah karena efek dari asap atau karena pelukannya yang memabukan. Sesak, masih terasa sesak untuk bernafas. "Buang nafasmu perlahan Aeji," kepalaku semakin pusing mataku sudah mulai kabur dan... In Real Life "HAH... HAH... HAH!" Aeji terbangun hingga duduk dari tidurnya. Mimpi, bukan? Tapi... Matanya terbelalak saat melihat sekeliling ruangannya.  Sesak Ini rasa sesak sungguhan. Setiap sudut ruangan telah di penuhi oleh asap, belum lagi semua lampu telah mati dan air waspada kebakaran terus membasahi ruangannya. Aeji mendengar suara alarm emergency kebakaran yang di pasang pada seluruh apartemen ini.  Apa yang sebenarnya tengah terjadi? Apa sedang terjadi kebakaran? Tapi mengapa asapnya begitu tebal di ruangannya? "Uhukk.. uhukk.." Aeji mengambil handuk kecil yang ada di kasurnya, menutupi hidung dan mulutnya, yang ada dipikiran Aeji saat ini, ia harus keluar dari sini. Sekarang juga. Gadis iitu mencoba beranjak dari kasur, merasakan basahnya air yang ada di apartemennya. Berpegangan pada segala barang agar bisa menuju pintu keluar. Pandangannya sudah benar-benar kabur oleh asap ini, dadanya sesak sekali dan kepalanya pusing. "Astaga kepalaku pusing sekali," kata Aeji dalam hati yang masih berusaha untuk berjalan. Beberapa kali ia menabrak banyak barang. Tubuhnya semakin lemas karena banyaknya asap gas yang ia hirup. Kepala dan matanya sudah tak bisa di tahan lagi, ia tak sanggup untuk berjalan. Semua tampak berputar seolah langkahnya begitu jauh. Di tengah kesadaran yang tersisa, ia melihat sedikit cahaya. Ia yakin cahaya itu dari pintu keluarnya. Dari jarak pandangnya yang kabur, di balik cahaya itu ada sosok pria yang tengah berjalan memasuki kamarnya. Sungguh tak jelas karena asapnya yang begitu tebal. Suara-suara alarm kebakaran dan air semprotan itu semakin lama semakin tak tertangkap oleh pendengaran Aeji. Apakah ini saatnya aku mati? Apakah sosok itu adalah malaikat pencabut nyawa? Tapi aku belum ingin mati. Astaga Aku tak peduli siapapun dia... tolong aku. 16
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD