Jalan Bareng 3

1074 Words
Setelah perdebatan dengan Alina usai, mood Axel berubah jelek. Sebuah panggilan telepon masuk ke ponselnya. Axel menerima panggilan dari mamanya. "Assalamualaikum. Axel bawa Alina ke salon langganan Mama, ya. Mama lagi di jalan mau ke sana. Kita ketemu di tempat," ucap mama Axel di seberang panggilan telepon. "Wa'alaykumussalam. Ok, Ma. Aku berangkat sebentar lagi. Baru selesai makan bareng Alin." "Tapi sudah selesai kan beli pakaian buat kondangan? Jangan bilang belum." "Sudah dong, Ma." "Ya udah, Mama tunggu di salon. Assalamualaikum." "Wa'alaikumsalam." Axel menutup panggilan telepon dari mamanya. "Kamu sudah selesai makan? Kalau sudah kita ke salon langganan, Mama," ajak Axel setelah melihat makanan di piring Alina tandas. Axel berdiri mendekati Alina, mengajaknya bangkit dari tempat duduk. Tetapi Alina menarik lengan Axel, tidak ingin pergi bersamanya ke salon. "Ayolah, Lin. Kali ini saja. Jangan bikin mood aku tambah jelek terus aku terpaksa marah supaya kamu nurut." Alina terpaksa menurut pada Axel agar bosnya tidak marah. Sepanjang perjalanan ke parkiran hingga ke salon langganan Bu Gian, Alina dan Axel diam seribu bahasa. Tiba di salon, Bu Gina sudah tiba terlebih dahulu. Axel turun dari mobil, diikuti oleh Alina masuk ke salon mencari sosok Bu Gina. "Ma, aku pergi dulu ya, mau ketemu temen, nanti kalau sudah selesai telepon aja biar aku jemput sekalian. Supir Mama nanti aku suruh pulang. Nitip Alina, minta tolong make upnya jangan menor, yang natural aja, Ma," pamit Axel pada mamanya, terlihat dari sikapnya jika dia sedang ada sesuatu dengan Alina. Axel meninggalkan salon, masuk ke mobil. Dalam sekejap mobilnya sudah hilang dari pandangan Alina. "Kamu bertengkar dengan Axel?" tanya bu Gina setelah memperhatikan sikap Axel pada Alina. Bu Gina mengajak Alina ke bagian pendaftaran di salon itu. "Oh, enggak kok, Tante. Saya enggak bertengkar dengan Mas Axel," jawab Alina berusaha menutupi kebenarannya. Dia takut Bu Gina juga ikut marah padanya. Berada di salon berdua dengan Bu Gina kali ini membuat Alina merasa tidak nyaman. "Mbak, saya mau minta dimake up sekalian sama mantu saya," ucap Bu Gina pada pegawai salon yang otomatis membuat mata Alina membulat. "Saya minta make up yang cetar, kalau mantu saya make upnya yang natural aja, bisa ya?" tanya Bu Gina pada pegawai salon. "Bisa, Bu. Nanti dibantu sama teman saya. Rina, tolong dibantu Ibu ini sama menantunya, mau dimake up," kata pegawai salon mengantarkan Bu Gina dengan Alina ke kursi tempat mereka akan dimake up. "Lin, kamu yang sabar ya kalau menghadapi Axel. Kalau dia kesel atau marah sama kamu, jangan dibalas dengan marah atau kesal juga. Nanti kalian akan sama-sama semakin emosi, lebih baik mengalah sampai dia menjadi lebih tenang, baru setelah itu bicarakan masalah yang kalian alami secara baik-baik," kata Bu Gina sebelum pengawai salon menghampiri. "Iya, Tante. Tapi saya tidak bertengkar kok," ucap Alina masih berbohong. Dia tidak ingin Bu Gina tahu apa yang sebenarnya terjadi. Pegawai salon bernama Rina dan Ranti mulai mendandani Bu Gina dan Alina. Sebelum memulas make up pada wajah keduanya, wajah keduanya dibersihkan terlebih dahulu agar make up bisa menempel dengan maksimal di wajah mereka. *** Di tempat lain, Axel tiba di tempat janjian dengan temannya, Irfan di sebuah kafe yang letaknya tidak jauh dari salon langganan Bu Gina. Irfan datang lima menit sebelum Axel datang. Irfan duduk di salah satu kursi yang ada di kafe. Suasana kafe tidak terlalu ramai, karena sudah lewat jam makan siang. Axel mencari sosok Irfan, dan berjalan mendekati mejanya, lalu duduk di kursi di hadapan Irfan. Axel dan Irfan memesan minuman untuk teman mengobrol. "Gimana, Fan? Dapet info apa tentang debt collector itu?" tanya Axel tanpa basa basi. "Dua orang itu, bukan debt collector biasa yang suka dipake buat nagih kartu kredit macet gitu. Tapi suruhan khusus. Cuma aku belum dapet info siapa yang menyuruh mereka." "Mencurigakan sekali. Siapa yang menyuruh mereka. Aku penasaran. Kasian banget Alina kalau begitu." "Iya, masih aku telusuri siapa dalangnya. Nanti aku kabari kalau sudah dapat informasinya. Alin itu beneran karyawan? Bukan pacar atau orang spesial kamu? Aku kenal kamu sudah lama, kamu termasuk cowok yang sulit dekat dengan cewek. Jadi melihat kamu dekat dengan Alina itu sepertinya ada hubungan istimewa, betul enggak?" tanya Irfan penasaran, karena dia memang teman lama Axel. "Ya, memang dia karyawanku. Kamu sendiri kan lihat dia pulang dari salah satu geraiku. Tetapi kalau ditanya ada hubungan apa, enggak ada sih. Ya, memang aku sulit dekat dengan perempuan, tapi Alina sampai saat ini hanya karyawan saja, tidak lebih." "Mungkin saat ini kamu belum menyadari perasaanmu sama dia. Tapi kalau suatu saat kamu merasa cemburu, berarti kamu enggak sekedar suka, tapi sudah sayang pada Alina. Tinggal tunggu saja waktunya kapan. Pesanku jangan sia-siakan kalau Alina juga ada perasaan yang sama. Sudah waktunya kamu juga hidup bahagia dengan perempuan yang juga suka sama kamu." "Yah, kalau memang saya berjodoh dengan Alina, jalan ke sana pasti akan dipermudah." "Harus diusahakan dong, jangan pasrah begitu. Perjuangankan selama masih ada kesempatan. Kamu punya kesempatan lebih besar untuk mendekati dia. Jangan sampai kamu menyesal suatu hari nanti." "Menurutmu yang sudah melihat Alina selama beberapa hari, dia orangnya kaya gimana?" "Alina itu orangnya baik. Kalau yang aku lihat, dia juga suka sama kamu. Ketika aku datang dia sudah tahu kalau kamu yang menyuruh aku ke sana." "Tapi hari ini dia bilang dia tidak mau ada hubungan denganku, maksudnya dia enggak mau jadi pacarku." "Memang tadi kamu nembak dia? Kayaknya enggak mungkin dia nolak kalau memang kamu serius. Jangan-jangan dia enggak melihat keseriusan kamu, dia enggak mau perasaannya dipermainkan." "Enggak nembak, tuh." "Terus kenapa dia tiba-tiba bilang gitu kalau enggak ada sebabnya?" "Gini, aku minta dia buat jadi pacarku, tapi cuma pura-pura aja, supaya Mama enggak sibuk ngenalin aku dengan anak temennya. Hari ini Mama ngajak dia kondangan. Tapi dia bilang enggak mau terus-terusan bohong sama Mama, dan bilang itu kalau dia enggak mau ada hubungan apa-apa dengan aku, dia kenapa deh?" "Ya kalau dia enggak mau jadi pacar bohongan, jadikan pacar beneran jadi dia enggak perlu berbohong sama Mama kamu." "Emang dia mau?" tanya Axel pada Irfan. "Kamu mau jadi pacar beneran Alina?" "Enggak masalah buatku," jawab Axel yakin dengan ucapannya. "Sekarang semua keputusan ada di kamu. Mau kamu jadikan dia pacar bohongan atau beneran atau kamu ajak nikah sekalian juga itu keputusan kamu, tapi jangan permainkan perasaannya. Kalau memang kamu serius, tunjukkan kalau kamu memang serius sama Alina." "Ok. Aku pikirkan dulu baik dan buruknya setelah itu aku putuskan. Terima kasih untuk masukannya, Bro. Tenang aja, aku enggak akan mempermainkan perasaan Alina," ucap Axel meyakinkan Irfan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD