Bingung

1156 Words
Belum satu minggu, terjadi sebuah perubahan dalam hidup Alina. Perkara utang yang selama dua tahun terakhir yang tak kunjung usai membuatnya harus terlibat urusan dengan bos di tempat kerja. Namun, bukan urusan pekerjaan. Tetapi urusan percintaan, karena diminta menjadi pacar sandiwara bosnya. Kali ini adalah kali kedua Alina harus datang memenuhi undangan Bu Gina. Alina tidak kuasa menolak, karena apapun usaha yang dia lakukan untuk menolak pasti dia ujung-ujungnya selalu kalah dengan berbagai alasan. Alina sudah berada di rumah Axel, siap makan malam bersama Axel dan Bu Gina. Terjebak dalam permainan yang direncanakan oleh bosnya. "Alin, makan yang banyak, ya. Tante sengaja masak yang banyak buat kamu. Semoga kamu suka, ya," ucap Bu Gina ramah berharap Alina akan menyukai semua masakannya. "Terima kasih untuk undangan makan malamnya, Tante. Saya jadi merasa enggak enak ini jadi bintang utama. Padahal saya bukan siapa-siapa di rumah ini," ucap Alina merendah. "Alin, kamu jangan merasa seperti itu. Di sini kamu adalah tamu istimewanya Tante. Apalagi kamu kan pacarnya Axel. Tante sudah anggap kamu seperti anak Tante sendiri. Mulai sekarang kamu harus membiasakan diri dengan suasana rumah ini." Ucapan Bu Gina membuat perasaan Alina semakin tidak enak, karena urusannya dengan Axel membuat Alina harus semakin dekat dengan bosnya. Dia pikir hidupnya sebentar lagi akan menjadi semakin rumit. "Saya tetap merasa tidak enak sama Tante. Tante baik banget sama saya, tapi saya enggak bisa membalas kebaikan Tante," ucap Alina terharu hingga ingin menangis. "Kamu kenapa nangis? Ada yang salah sama ucapan Tante terus bikin kamu tersinggung?" tanya Bu Gina bingung melihat Alina meneteskan air mata. "Oh, enggak Tante. Tante enggak salah, saya cuma terharu aja ada orang yang baik banget kaya Tante." "Tante kira, Tante yang salah atau ada omongan Axel yang nyakitin perasaan kamu." "Tante sama Bos Axel orang baik kok, Tante." "Sayang, kamu kok manggil aku Bos. Kamu suka lupa, padahal sudah aku bilang berkali-kali," ucap Axel meluruskan perkataan Alina. Panggilan sayang itu masih asing di telinga Alina. Apalagi kata itu keluar dari mulut bosnya sendiri, membuatnya kadang ingin berada di posisi orang yang disayangi oleh seorang pacar. Bukan dari pacar sandiwara seperti dengan bosnya. "Oh iya, maaf, Mas," ujar Alina meluruskan ucapannya. "Ayo makan lagi, Sayang. Kamu harus makan yang banyak," kata Axel dengan senyuman manis. Lama-lama bertemu Axel dengan sikap dan ucapan manis seperti itu bisa membuat Alina jatuh hati pada bosnya. Sayang sekali semua itu palsu, karena dia sadar bosnya hanya bersandiwara. Alina harus sadar diri akan hal ini. "Iya, Mas. Mas juga makan yang banyak, ya." "Aduh mesra sekali kalian berdua, Tante jadi iri sama kamu Lin. Jadi pengen mesra-mesraan juga sama Papanya Axel, tapi sayang masih kerja. Axel cepat kamu lamar saja Alina terus suruh dia berhenti kerja, biar Mama ada teman di rumah. Kalau ada teman kaya Alina gini, Mama enggak akan kesepian lagi." "Mama, jangan ngomong gitu, kasian nanti Alina, dia kira dipaksa segera nikah. Khawatirnya dia belum siap." "Alin, mulai sekarang panggil saja Tante dengan panggilan Mama, biar kamu terbiasa." Alina semakin merasa bingung harus menanggapinya seperti apa. Dia takut suatu hari Bu Gina akan kecewa mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Alina memilih diam tidak menjawab apa-apa. "Ma, jangan paksa Alina buat manggil Mama. Sekarang saja dia diam. Dia takut sama Mama kayaknya." "Dia tuh takut sama kamu, kan kamu Bosnya. Takut salah ucap nanti kamu omelin." "Lin, selama kamu kerja sama saya, apa saya pernah marahin kamu?" "Enggak pernah Bos. Bos banyak ngajarin kami supaya bekerja baik. Tapi Bos sering tegas sih." "Tuh, kan manggil Bos lagi. Alin, kita sedang di rumah Mama, bukan di tempat kerja," ucap Axel mulai kesal. "Itu tandanya Alina harus segera dilamar, apa perlu besok Mama datang ke rumah Alina buat ngelamar?" "Jangan," jawab Axel dan Alina berbarengan. "Lho, kok jangan?" "Iya jangan, Tante. Alin belum siap nikah dalam waktu dekat." "Tapi bukan karena kamu enggak cinta sama Axel kan? Kamu cinta kan sama Axel, Lin?" Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab oleh Alina. Dia bingung harus menjawab Iya atau tidak. Jika saja dia bisa kabur, mungkin sebelum pertanyaan ditanyakan Bu Gina, dia sudah kabur duluan. "Saya boleh ke toilet bentar enggak, Tante?" kata Alina meminta izin. "Oh, boleh. Sini Tante antar," ujar Bu Gina langsung bangkit dari tempat duduknya mengantarkan Alina ke toilet. Bu Gina kembali ke tempat duduknya. Axel yang merasa tidak enak pada Alina yang bingung menjawab pertanyaan Bu Gina. "Ma, sudah jangan ada omongan lagi tentang pernikahan, kasian Alina sampai bingung begitu," ucap Axel membujuk mamanya karena kasian pada Alina. "Maafkan Mama, Nak. Pantes dari tadi Alina banyak diam. Ya sudah Mama enggak akan bahas pernikahan lagi. Semoga Alina enggak ngambek, ya. Kalau dia ngambek nanti enggak mau diajak ke sini lagi." Akhirnya Bu Gina paham. "Nanti kalau Alina sudah keluar dari toilet, Axel antar pulang saja, sudah malam, Ma. Kasian kalau pulangnya terlalu malam, besok dia harus kerja. "Iya, enggak apa. Pastikan kamu antar dia sampai masuk rumah, jangan kamu turunkan di jalan, ya." Alina keluar dari toilet dengan perasaan lebih baik dari sebelumnya. Dia ingin sekali pulang saat itu juga. Tetapi tidak tahu cara pamit dengan Bu Gina. "Lin, makannya dihabiskan, nanti pulangnya diantar Axel, ya." "Iya, Tante." Alina meneruskan makan hingga makanan di piringnya tandas. "Ma, Axel anter Alina pulang dulu, ya." "Iya. Makasih lho Alin sudah mau ke rumah. Semoga kamu enggak kapok main ke sini." Alina bernapas lega karena Bu Gina tidak melanjutkan pertanyaan yang terakhir. Sekarang dia bisa pulang tanpa harus kabur dari rumah itu. "Saya juga makasih, Tante untuk undangannya. Saya pamit, Tante." Alina mendekati Bu Gina menyalaminya sebelum pulang. Bu Gina mengantar Alina dan Axel ke depan rumah hingga masuk ke mobil. Axel mengemudikan mobilnya ke rumah Alina. "Maaf ya, Lin, kalau pertanyaan Mama saya banyak bikin kamu bingung. Saya akan cari cara agar kamu bisa lepas dari sandiwara ini," ucap Axel merasa tidak dengan Alina. "Iya, Bos. Saya juga enggak enak karena enggak bisa jawab pertanyaan Mamanya Bos. Semoga saya enggak bikin Bos malu di depan Mamanya Bos. Saya takut banget kalau salah jawab." "Justru saya enggak enak karena efeknya dari sandiwara ini bikin Mama malah berharap jadi menantunya. Saya harap kamu enggak tersinggung." "Enggak, Bos. Mamanya Bos baik banget. Senang rasanya bisa kenal dengan beliau," ucap Alina tersenyum. "Mama saya memang begitu. Kamu bisa membayangkan dengan sikapnya yang seperti itu, sering ngajak temen makan di rumah terus sibuk ngenalin saya dengan anak temannya." "Padahal Bos tinggal pilih aja satu di antaranya, Mamanya Bos bisa menerima siapa aja buat jadi calon mantu, atau Bos saja yang terlalu pemilih?" "Saya belum menemukan yang cocok sampai sekarang." "Jangan kebanyakan milih, Bos. Nanti enggak nikah lagi deh." "Justru untuk yang kedua harus banyak milih, supaya tidak terulang lagi seperti yang pertama." "Iya juga, ya. Alin doakan semoga Bos segera mendapat jodoh yang baik, yang sayang dan cinta sama Bos," ucap Alina mendoakan bosnya. "Aamiin." Axel mengaminkan doa Alina. Malam itu Alina diantar Axel sampai depan rumahnya. Dia pastikan Alina sudah masuk ke rumah sebelum dia meninggalkan rumah Alina.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD