Bu Gina tiba di rumah bertepatan dengan Axel yang juga pulang. Axel mengajak mamanya masuk karena ingin membicarakan tentang Alina. Axel mengajak mamanya duduk di ruang tengah.
"Mama pergi sama supir? Besok lagi kalau mau ke gerai, Mama telepon Axel dulu, ok?" Axel membuat kesepakatan dengan mamanya.
"Iya, Mama pergi dengan supir. Mama bosen di rumah, tadi Mama belanja, eh pas lewat gerai kopi kamu Mama mampir aja, terus disamperin sama Alin. Ya sudah Mama ajak aja makan malam di rumah ini."
"Ma, kalau mau ngajak Alin makan di rumah, tolong kabari Axel dulu. Siapa tahu pas Alin enggak bisa, kan. Biar Axel yang ajak dia ke rumah."
"Mama enggak percaya sama kamu, buktinya pacaran beberapa bulan aja enggak cerita sama Mama, eh tiba-tiba bawa Alin ke rumah. Padahal kalau bilang dari awal Mama enggak perlu capek-capek nyariin kamu jodoh. Mama suka banget sama Alin, coba kamu bujuk dia biar mau diajak nikah. Umur Mama tambah tua, pengen punya cucu, jadi kalau punya orang yang kamu suka, nikahi segera."
"Alin kan masih muda, banyak yang harus dia pertimbangkan, Ma."
"Ya sudah, biar Mama yang bujuk dia buat cepat nikah sama kamu, gimana?" usul Bu Gina.
"Nanti Axel coba tanya Alina lagi, ya."
Axel sebenarnya tidak mau melibatkan Alina terlalu jauh. Tetapi perkiraan Axel salah, Mamanya jatuh cinta dengan gadis itu. Padahal dia hanya menipu mamanya. Jika Axel mengaku berbohong sekarang, maka mamanya akan kembali mengenalkan dengan anak temannya lagi. Sedangkan dia sudah malas.
Axel mulai berpikir untuk membujuk Alina agar melanjutkan sandiwara mereka di depannya Bu Gina, dan mencari celah untuk memutuskan hubungan. Namun, belum tahu kapan waktu yang tepat.
"Nanti pas kamu jemput Alin, kamu tanya kapan dia siap buat diajak nikah. Mama mau masak dulu buat kita makan malam ini."
"Mama jangan terlalu capek, lho. Harus jaga kesehatan juga, jangan maksain diri."
"Kalau kamu sayang sama Mama, jangan cuma ngingetin Mama jaga kesehatan, tapi cepetan nikah, Mama pengen cucu."
Omongan Bu Gina sekarang sudah berubah lagi. Biasanya dia mengingatkan Axel untuk berkenalan dengan anak temannya. Sekarang Bu Gina minta cucu. Axel berjalan ke kamarnya. Dia pengen istirahat sebentar sebelum nanti malam harus menjemput Alina di gerai kopi.
Axel masuk kamar, merebahkan diri di ranjang, lalu tertidur. Setelah perjalanan dari gudang, dia merasa lelah, karena banyak stok bahan yang datang dan harus memeriksa dengan baik.
Jam 5 sore Bu Gina membangunkan Axel. Dia mengetuk pintu kamar anaknya. Axel bangun dalam keadaan terkejut. Turun dari tempat tidur dan membuka pintu kamar.
"Kamu belum salat Ashar kan? Salat dulu terus kamu mandi, jemput Alina, ya."
Axel menganggukkan kepala, dia kembali masuk kamar untuk menunaikan salat dan mandi. Setelah berpakaian rapi Axel keluar dari kamar, menuju dapur untuk berpamitan dengan Bu Gina.
"Ma, Axel jalan dulu, ya. Mau jemput Alin."
"Iya. Jangan lama-lama. Kalau sudah sampai langsung bawa ke sini, enggak usah nunggu jam dia pulang. Kan kamu Bosnya."
"Iya, Ma. Axel jalan dulu, assalamualaikum."
"Wa'alaykumussalam."
Axel meninggalkan Bu Gina yang masih asyik masak dengan pembantu rumah tangga. Dia berjalan ke luar menuju mobil. Axel mengendarai mobil ke gerai kopi untuk menjemput Alina.
Di perjalanan Axel menghubungi Alina lewat ponsel, kali ini dia ingin Alina menemuinya di tempat yang tidak jauh dari gerai. Axel hanya ingin menghindari kecurigaan dari dua karyawan teman Alina yang lain. Jika memang dia ada hubungan serius dengan Alina, dia tidak akan merahasiakan. Namun, karena hubungannya dengan Alina hanya sandiwara, dia tidak ingin orang lain mengetahuinya.
"Halo, Alin. Kamu hari ini pulang lebih cepat, ya. Saya tunggu di belakang kafe. Mama saya mau ngajak kamu makan malam. Nanti pulangnya saya antar kamu ke rumah," perintah Axel pada Alina.
"Baik, Bos. Terus pamit ke Billynya gimana?"
"Kamu bilang saja ada perlu di rumah, atau terserah kamu saja mau bilang apa ke Billy, saya tahunya kamu bisa pulang lebih cepat dan menunggu kamu di belakang gerai."
"Oh, baik, Bos. Saya minta izin dulu sama Billy."
"Dua puluh menit lagi saya sampai. Pastikan kamu sudah ada di sana sebelum saya sampai."
"Iya, Bos."
Axel memutuskan panggilan telepon. Dua puluh menit kemudian dia tiba di belakang gerai dan sudah ada Alina yang menunggu di sana. Axel berhenti di dekat Alina berdiri, lalu membuka kunci mobil, dan meminta Alina masuk.
Mobil Axel meluncur membelah jalanan menuju rumah orang tuanya.
"Bos, sebenarnya saya enggak enak jadi terus-terusan bohong sama Mamanya Bos. Gimana kalau hari ini kita jujur saja, Bos?"
"Jangan ngaku sekarang, Lin. Kalau bilang sekarang, besok saya disuruh kenalan lagi sama anak teman Mama. Saya sudah capek. Jadi sementara ini kita lanjut sandiwara ini, ya?" bujuk Axel pada Alina.
"Ya sudah, terserah Bos saja. Yang penting saya dikabari sampai kapan kita bersandiwara."
"Iya. Oh ya, hari ini pasti kamu ditanya Mama kapan kita nikah. Kamu jawab aja kalau belum siap nikah sekarang. Tapi pasti dikejar terus sama Mama. Kamu harus siap dengan pertanyaan itu, ya. Saya minta tolong kamu bersabar dulu menghadapi sikap Mama saya," kata Axel memberikan pengertian pada Alina.
"Saya takut salah jawab kalau ditanya soal nikah gitu, Bos. Yang jelas sekarang saya memang belum mau nikah, sih."
"Kamu jawab semampunya aja, biar sisanya saya bantu. Maaf jadi melibatkan kamu terlalu jauh. Nanti saya usahakan agar sandiwara ini tidak merugikan kamu."
"Baik, Bos. Semoga nanti saya bisa jawab pertanyaan Mamanya Bos. Saya jadi deg-degan lagi, Bos. Takut ketahuan."
"Saya yakin kamu bisa," ucap Axel menguatkan Alina. Tanpa dia sadari salah satu tangannya menyentuh tangan Alina untuk memberi dukungan.
Alina hanya bisa memandangi tangannya yang kini disentuh oleh Axel lama. Mungkin hanya Alina yang menyadari sikap refleks Axel. Alina meyakinkan dirinya bahwa Axel tidak memiliki perasaan apapun padanya meskipun dia menyentuh tangan Alina. Semua itu terjadi hanya karena Axel ingin menguatkan Alina.
Alina menenangkan diri dari perasaan gugup akan bertemu Bu Gina. Kali kedua ke rumah Axel tetap tidak membuat perasaannya terbiasa, malah semakin gugup. Alina mengatur napas untuk mengurangi perasaan gugup.
Tidak lama kemudian mobil Axel memasuki halaman rumah. Bu Gina menunggu Alina di teras. Memang ibu yang satu ini senang sekali melihat Alina. Dia tidak sabar untuk mengajak gadis itu menikmati semua hidangan yang dia siapkah malam ini.
Bu Gina tersenyum lebar menyambut Alina yang berjalan menuju teras untuk menemuinya.