Di dalam gedung, acara pernikahan tampak meriah. Acaranya diselenggarakan dalam sebuah gedung mewah. Dekorasi ruangan yang didominasi hiasan bunga terlihat di berbagai sudut. Belum pelaminannya juga dihias semewah mungkin.
Baru kali ini Alina menghadiri acara resesi pernikahan yang mewah begitu, karena memang orang tuanya jarang menghadiri acara resepsi pernikahan orang-orang kaya ketika ayahnya masih hidup.
Axel masuk gedung bersama Alina dan mamanya. Begitu masuk, mereka menuju pelaminan untuk menyalami kedua pengantin dan keluarganya untuk memberikan ucapan selamat dan mendoakan yang terbaik bagi keduanya.
Turun dari pelaminan, Bu Gina memisahkan diri untuk menemui teman-temannya yang sudah berkumpul di dekat stand makanan. Sedangkan Axel mengajak Alina untuk menemui temennya juga. Terlihat beberapa orang teman Axel sudah berkumpul di dekat stand minuman.
"Axel!" panggil salah satu temannya yang bernama Rino, "kemana aja, lo. Lama enggak keliatan. Wah sekarang sudah punya gandengan nih, kenalin dong sama kita-kita," ucap Rino melihat Axel berjalan mendekat bersama Alina.
"Kenalin ini pacarku, namanya Alina," kata Axel memperkenalkan Alina pada teman-temannya. "Kayaknya enggak perlu salaman deh, ya. Cukup tahu namanya aja." Axel melarang temannya bersalaman dengan Alina.
"Eits, enggak bisa begitu, Bro. Possesif amat sih, baru juga jadi pacar. Kan belum tentu nikah," protes Rino.
"Iya, lho masa cuma salaman aja enggak boleh," protes teman Axel yang lain.
"Hari ini boleh masih jadi pacar, siapa tahu besok nikah, doain aja semoga proses ke sana lancar, iya enggak, Lin?"
"Iya, Mas," jawab Alina pendek. Alina merasa malu berada di antara teman-teman Axel. "Mas, aku mau ambil minum dulu, ya," kata Alina meminta izin pada Axel untuk mengambil minuman.
"Ok. Tolong ambilkan juga untuk aku satu, ya."
Alina menganggukan kepala, berjalan ke arah stand minuman. Di sana ada berbagai jenis minuman mulai dari air mineral, his serta minuman bersoda. Alina mengambil dua gelas jus jeruk untuknya dan Axel.
"Pacar lo cantik ya, Xel," kata Rino. "Kenal di mana? Temennya ada yang cantik juga enggak? Siapa tahu aku bisa kenalan juga."
"Dasar playboy! Ternyata penyakit playboy lo enggak sembuh juga setelah nikah, ya."
"Ya, buat selingan aja, Xel. Masa enggak ngerti sih," kata Rino menepuk pundak Axel.
"Parah, lo. Gue telepon nih istri lo, biar dia tahu gimana kelakuan suaminya kalau di luar rumah."
"Ya jangan dong, bisa berabe semuanya," protes Rino pada Axel.
"Makanya setia sama istri, jangan macem-macem."
"Tapi, coba kamu lihat ke sana, kok ada cowok yang ngedeketin Alina tuh. Kamu enggak marah atau cemburu?" kata Rino menunjuk pada Alina yang sedang mengobrol dengan seorang pria.
Axel menoleh ke arah Alina. Dia berjalan mendekati Alina tidak terima jika karyawannya yang satu itu diganggu oleh pria lain.
"Maaf, ya, Mas, perempuan yang sedang Mas ajak bicara ini sudah punya pacar lho. Nanti kalau pacarnya cemburu, bisa meletus perang dunia ketiga," kata Axel menyela obrolan Alina dan pria itu.
"Mas Axel, Mas yang ini cuma tanya toilet aja, Mas Axel kok ngomongnya begitu?" ucap Alina merasa bingung dengan ucapan Axel. "Cemburu kata dia? Pacar beneran juga bukan gimana bisa cemburu," batin Alina.
"Oh, maaf deh. Sudah selesai urusan tanya-tanya lokasi toiletnya? Saya mau bawa pacar saya makan dulu, saya lapar," ucap Axel mengambil satu gelas jus jeruk di tangan Alina, mengajaknya ke stand makanan.
"Bos, kenapa sih?" tanya Alina penasaran dengan sikap Axel.
"Aku enggak suka kamu dekat-dekat dengan cowok lain tuh."
"Kenapa? Kita kan enggak ada hubungan apa-apa, Bos. Kok bisa melarang saya dekat dengan cowok lain."
"Ya karena cowok lain itu berbahaya."
"Bahaya gimana? Aku enggak ngerti maksudnya Bos."
"Ya, kita kan enggak bisa lihat apa maksud mereka mendekati kamu, siapa tahu cuma pengen iseng aja atau mempermainkan perasaan kamu."
"Itu kan cuma perasaan Bos aja. Kenyataannya belum tentu."
"Mending kita makan aja deh. Kamu mau makan apa? Biar aku ambilin, daripada membahas yang enggak penting sama kamu, kepala saya bisa pusing," ucap Axel menarik sebuah kursi agar Alina duduk di sana.
"Bahas sesuatu yang enggak penting kata dia? Urusan cemburu yang tadi aja belum terjawab, ditambah larangan dekat dengan cowok lain. Fiks deh Bos ini memang lagi koslet pikirannya," batin Alina.
"Makan apa aja, Bos. Saya mendadak enggak lapar," jawab Alina datar.
"Ok. Tunggu di sini, ya."
Alina mengeluarkan ponsel dari dalam tas, membuka akun sosial media miliknya. Membaca status yang ditulis oleh teman-temannya sambil menunggu Axel membawakan makanan.
"Ngapain kamu di sini? Emang siapa yang ngundang kamu ke acara ini? Seingatku kamu enggak kenal deh sama yang nikah hari ini?" tanya Shania yang tiba-tiba berdiri di sebelah Alina.
Alina terkejut melihat Shania yang kini berdiri di sebelahnya. Salah satu kekhawatiran Alina datang ke acara resesi ini adalah bertemu dengan Shania. Dia tentu malas bertemu dengan sepupunya itu, sudah bisa dipastikan akan terjadi keributan di sana.
"Aduh, aku males deh ribut sama kamu, Shan," ucap Alina sambil berdiri. "Enggak peduli deh aku mau diundang siapa, mau datang sama siapa, bukan urusan kamu juga."
"Siapa bilang bukan urusan aku? Kamu tuh enggak pantes ada di sini."
Melihat Shania mendatangi Alina, Axel bergegas mendekati meja tempat Alina duduk.
"Sudah, Shan. Jangan ganggu Alina. Mending kamu pergi dari sini!" tegas Axel pada Shania. Axel meletakkan piring di meja.
"Lebih baik kita aja yang pergi, Mas," ajak Alina pada Axel.
"Eh, kok main pergi gitu aja sih? Ini acara orang, enggak sopan tahu kalau enggak pamitan dulu sama yang punya acara," protes Shania melihat Alina menarik lengan Axel. "Melihat kalian berdua jalan bareng, aku mau aplause buat kamu Alin. Makan tuh bekas aku."
Mendengar ucapan Shania, Alina marah karena Shania sudah menghina bosnya. Tanpa pikir panjang Alina menampar pipi Shania dengan keras. Lalu menarik lengan Axel agar mengikutinya meninggalkan gedung resepsi.
Shania merasakan panas di pipinya juga di dadanya. Dia merasa kesal pada perlakuan Alina.
"Awas kamu, Alina. Aku akan balas apa yang sudah kamu lakukan padaku! Tunggu saja!" ucap Shania mengancam Alina.
Alina tidak mendengar ancaman Shania karena dia sudah berada di luar gedung bersama Axel.
"Kamu enggak apa-apa kan, Lin?" tanya Axel dengan napas tersengal-sengal setelah diajak lari oleh Alina.
"Enggak apa-apa, Bos," jawab Alina mengatur napas. "Sekarang kita kemana, Tante masih di dalam. Kita pulangnya bareng Tante kan?"
"Aku telepon Mama dulu, ya."
Axel mengeluarkan ponsel dari saku celana. Dia menelpon mamanya, beberapa kali coba menelpon tetapi tidak ada jawaban.
"Enggak diangkat. Gimana?"
"Kita tunggu di mobil aja, gimana, Bos?"
"Ok." Axel mengajak Alina ke parkiran mobil. Dia setuju dengan usulan Alina untuk menunggu di mobil daripada harus masuk, karena sudah bisa dipastikan akan bertemu dengan Shania lagi.