"Fred? Kamu kah ini? Akkhhhh kepalaku masih nyeri sekali.. " Desah Irna seraya menatap wajah pria yang tengah berada di sisinya tersebut.
"Ini aku Irna, suamimu."
"Aku harus bagaimana! Jika membiarkannya, tidak lama lagi pria gila ini akan melancarkan aksinya! Dua pria itu kemana sih! Seharusnya aku bisa kabur jika kekuatanku tidak tersegel." Gerutunya kesal di dalam hatinya.
Saat pria itu berniat membuka tali gaun miliknya, Irna segera mencekal erat pergelangan tangannya.
"Wah, kamu sudah mengenaliku?" Bisiknya di telinga Irna, satu tangannya masih tetap beraksi menggelitik area sensitif Irna.
"Apa kamu tidak punya rasa malu? Lepaskan aku!" Irna berusaha bangkit dari posisi tidurnya. Tapi Evan malah menindihnya, menahan Irna di bawah tubuhnya. Pria itu mulai menciumi lehernya.
"Evan! Lepaskan aku! Dasar pria tidak normal! Pria gila! Emmmm!" Teriakan Irna tertelan kulumman lembut bibir pria yang masih berada di atas tubuhnya.
"Sriing!" Irna berhasil mengeluarkan kuku runcingnya tanpa sepengetahuan Evan. Pria itu masih sibuk menghisap dua gundukan kenyal pada d**a Irna.
"Sraaattttt! Seeeer!" Satu sabetan kuku Irna, berhasil mengoyak punggung Evan. Pria itu merasakan cairan hangat merembes turun dari atas punggungnya. Juga rasa nyeri pada bekas luka tersebut.
"Kamu! Memiliki racun bunga kristal es, darah pemikat?!" Evan merasakan lemas pada seluruh urat syarafnya akibat racun yang menjalar ke seluruh darahnya. Dia sangat terkejut sekaligus takjub. Bunga kristal di jaman kuno yang begitu terkenal ternyata sudah aktif di dalam tubuh sosok Irna Damayanti.
"Kamu wanita iblis j*****m! Bruuk!" Kepala Evan jatuh di atas bongkahan kenyal milik Irna, bra-nya terbuka. Rok Irna juga masih tersingkap dengan G-string berantakan hingga seluruh area sensitifnya terlihat jelas karena penutup yang sudah simpang siur acak-acakan.
"Racun macam apa?! Hei bangun! Dasar sialan! Aku tahu kamu pura-pura pingsan agar aku tidak bisa membenahi kembali pakaianku!" Umpatnya lantang tanpa peduli.
Tepat pada saat gadis itu hendak mendorong tubuh Evan ke samping Rian masuk ke dalam. Dan disusul berikutnya Fredian.
"Astaga! Aku tidak mengira akan menjadi tontonan konyol kalian." Gerutunya seraya mendorong tubuh Evan ke samping. Melihat penampilan mantan istrinya seperti itu, Rian hanya bisa menutup bibirnya dengan tangan kanannya.
Sedangkan Fredian berkacak pinggang, bersiap memarahinya.
"Ini tidak seperti yang kalian pikirkan! Sungguh, aku tidak pernah berhubungan intim dengan dokter muda ini." Ujarnya seraya membetulkan letak G-string nya kembali.
"Apa kamu bilang? Dokter muda? Kamu lupa saat kamu hilang ingatan? Pria ini yang menemanimu ke klub malam, juga membelikanmu pakaian!" Sergah Fredian gemas sekali. Berulang kali dia melihat Irna berada di dalam pelukan pria lain. Sedangkan dirinya sendiri juga tidak mampu untuk berpisah dengan istri tercintanya itu.
Irna kini mengalihkan pandangannya ke arah Rian pria itu sengaja berdiri memunggunginya, menatap dinding ruangan apartemen tersebut.
"Bagaimana dengan tubuh pria ini?" Tanyanya segera pada dua pria itu.
"Buang saja ke jurang!" Ujar Fredian karena tidak mampu menahan kemarahannya lagi menghadapi pria super licik yang sedang terbaring pingsan di depannya itu.
"Rumah sakit! Kita rendam dengan air keras!" Sergah Rian penuh semangat.
"Ampun presdir jangan!" Evan segera terjaga mendengar ucapan Rian, rupanya pria itu pura-pura pingsan karena merasakan kehadiran Fredian dan juga Rian di sana. Kalaupun berniat kabur baginya juga tidak akan ada gunanya, karena Irna dan dua pria itu pasti akan terus mengejarnya sampai ke lubang semut sekalipun!
Kini dia benar-benar menyerahkan dirinya pada Rian dan Fredian. Akhirnya mereka memilih untuk mengurungnya sementara waktu di dalam ruangan khusus yang berada di rumah sakit milik Rian Aditama.
"Minum ini!" Rian melemparkan cairan di dalam botol panjang berukuran 1x3 sentimeter. Saat mereka berdua sudah selesai mengurung Evan. Irna segera menelan cairan hitam pekat tersebut, dan dia tidak merasakan perubahan apapun pada dirinya.
"Apa ini? Kenapa tidak terasa ada perubahan sama sekali?" Keluhnya pada pria berstatus ilmuwan terhebat sepanjang sejarah tersebut.
"Namanya juga ramuan pelepas segel. Memangnya kamu berharap akan ada rasa asin? Gurih? Atau manis?" Gurau Rian sambil mengunci pintu dimana Evan ditahan. Irna sengaja mengatakan hal itu, karena dia merasakan kehadiran orang lain di sana. Pasti orang tersebut tidak ingin pria itu ditahan.
Untungnya Rian juga menaruh cctv tersembunyi pada area tersebut jadi dia dengan mudah bisa mengawasi siapa saja yang keluar masuk, juga siapa saja yang berada di dalam tahanan itu dan mengetahui apa saja yang dilakukan pria itu di sana.
Dia melihat keanehan, saat seorang wanita asing berhasil masuk ke dalam ruangan tersebut. Evan dengan santainya membuka pintu sel dimana dia ditahan tanpa kunci sama sekali. Hanya dengan sentuhan jemari tangannya pintu bisa terbuka. Dan pemandangan terakhir hanyalah adegan dewasa bersama wanita itu di dalam ruangan tersebut.
Rian hanya bisa mengaduk-aduk rambutnya sampai berantakan. Anehnya setelah selesai, Evan masuk lagi ke dalam ruangan tahanan tersebut. Seharusnya dia bisa kabur dari ruangan itu kapan saja.
"Benar-benar pria licik!" Gumam Rian pada dirinya sendiri. Rian terlompat kaget saat mendapati Irna sedang menyeruput secangkir kopi, wanita itu tepat berada di belakang punggungnya sambil ikut memantau.
Gadis itu tidak segan-segan menggunakan kekuatannya untuk muncul tiba-tiba di tempat manapun yang dia inginkan.
"Kenapa kamu kaget sekali?" Tanyanya santai sambil menekan tombol preview pada layar laptop di depan Rian.
"Uhk! Uhk! Uhk!" Irna tersedak menatap adegan menegangkan tersebut, yang tak seharusnya dia lihat. "Pantas saja rambutmu begitu acak-acakan! Hahahaha!" Ujarnya sambil tertawa terpingkal-pingkal keluar dari dalam ruangan Rian.
"Dasar wanita!" Umpat Rian masih memijit keningnya, dia mencoba mengusir adegan intim tersebut dari dalam benaknya jauh-jauh. Bayangannya adalah dirinya bersama Irna bertahun-tahun lalu.
"Jika aku menyimpan pikiran gilaku, aku akan kehilangan Irna dan juga Fredian!" Bisiknya pada dirinya sendiri.
Di lorong rumah sakit tersebut karyawan terkejut melihat Irna melenggang santai dengan gaun warna biru cerah, tanpa jas putih dokternya.
"Pagi dokter Kaila." Sapa beberapa juniornya yang melintas di depannya.
"Pagi semuanya." Sahutnya ringan dan santai. Irna segera masuk ke dalam ruangan kerjanya. Lalu ber-teleportasi kembali ke dalam Resort untuk mengambil jas putihnya.
"Enak ya? Bolak-balik ke rumah sakit dalam sekejap?" Sindir Fredian sambil berdiri di ambang pintu menatap penampilan istrinya dari kepala hingga ujung kaki.
"Kamu terlalu manis memakai warna biru cerah! Ganti cepat!" Perintahnya pada Irna. Irna menurutinya saja, dia kemudian berganti baju warna peach.
"Itu terlalu imut sayang!"
Irna hanya bisa mengunyah giginya mendengar ucapan suaminya.
Lalu berganti dengan gaun warna merah.
"Itu terlalu menggoda!" Sergah Fredian lagi sambil berjalan memutari tubuh istrinya.