Part 10

2428 Words
Azra terlihat tampak sibuk dari biasanya. Ia mondar-mandir keluar kelas lalu masuk ke dalam kelas. Entah apa yang anak itu lakukan, pekerjaannya hanya sebatas mengintip dari jendela kelas lalu keluar dan kembali masuk lagi ke dalam kelasnya. Nana yaitu teman sebangku Azra yang sejak tadi memperhatikan tingkah Azra akhirnya buka suara. Ia merasa pusing melihat Azra yang tidak jelas keluar kelas lalu masuk kembali ke dalam kelas. “Zara, lo kenapa dari tadi keluar kelas terus masuk lagi? Pusing banget gue lihatnya. Udah kayak buronan tersangka aja lo!” ucapnya. “Ih, kok Zara, sih? Azra loh namanya!” kata Azra membenarkan. “Nah, iya itu pokoknya. Suka lupa gue sama nama lo.” “Ya Allah, padahal kan kita satu bangku. Bisa-bisanya lupa.” geram Azra kepada Nana. “Ya begitulah Zra, manusia kan emang suka pelupa,” Nana mengedikkan bahunya, “oh, ya, lo belum jawab pertanyaan gue tadi. Lo kenapa mondar-mandir Maimunah?” “Nana belum tahu ya?” tanya Azra membuat Nana bertambah bingung dibuatnya. “Tahu apa?” “Seriusan belum tahu?” “Iyalah, emang ada apaan, sih? Buru cerita cepet!” kata Nana yang semakin tak sabaran dengan cerita yang akan Azra bawakan. “Jadi itu Hans bakalan dateng ke sekolah kita. Dia sama teamnya mau lomba basket di sini.” “HAH? SERIUS LO? HANS YANG KATA LO COGAN ITU MAU KE SINI? DEMI APA?!” refleks Nana berteriak dengan kerasnya membuat beberapa perhatian anak kelas tertuju kepadanya. “Ih, jangan besar-besar! Malu di denger orang!” Azra segera menutup mulut Nana. “Ya Allah, Azra! Lepas! Tangan lo bau terasi!” Nana berusaha melepas dekapan tangan Azra. “Heh, mana ada!”  “L-Lepas, Zra! Asli bau terasi!” Karena kasihan mendengar penuturan Nana yang kelewat jujur itu, akhirnya Azra memutuskan untuk melepaskan tangannya.  Ia pun membisikkan sesuatu kepada Nana. “Na, serius tangan Azra bau terasi?” “Serius gue ngapain bohong.” “Aduh, gimana dong? Nanti kalau Hans tahu Azra bau terasi gimana?” “Nih pakai hand sanitizer dulu!” Nana mengeluarkan hand sanitizernya dan memberikannya kepada Azra. “Makasih, Na. Nana emang teman yang paling baik!” “Modus lo, Zra.” “Em, yaudah kalau gitu Azra mau keluar kelas lagi nunggu Hans sampai.” “Nunggu terus lo, mending dikasih kepastian ini mah kagak.” “Ya, sabar lah, Na. Semua kan butuh proses. Butuh usaha juga nggak secepat kayak mie instan.” “Yaudah, suka-suka lo aja.” kata Nana yang sudah pusing berbicara dengan Azra. Sementara itu, Azra segera berlari keluar kelas berniat menunggu kedatangan Hans. Ia ingin menjadi orang pertama yang menyambut Hans saat cowok itu memasuki sekolahnya. *** Sekarang, Azra sedang berada di sisi pinggir lapangan. Kepalanya mendongak seperti gagak yang sedang mencari mangsanya. Matanya terus menuju ke arah luar gerbang sekolah menunggu Hans yang tak kunjung datang. Sepuluh menit berlalu tanda-tanda keberadaan Hans juga belum mulai muncul. Azra sudah seperti security sekolahnya sekarang mengawasi orang-orang yang berniat masuk ke dalam sekolahnya. “Azra udah kayak orang pongo (bodoh) sekarang.” ujar Azra menghela napasnya perlahan. Anak-anak dari sekolah lain mulai berdatangan akan tetapi orang yang ia tunggu-tunggu kehadirannya malah tak kunjung datang juga. Maunya apa coba? Membuat kepalanya semakin pusing saja. Azra masih setia menunggu Hans di sisi lapangan. Untung saja ia berteduh di bawah pohon yang rimbun, jadinya dapat merasakan angin yang berhembus membelai wajahnya. Di saat Azra sedang menunggu kedatangan Hans. Tiba-tiba saja Azra merasakan sesuatu terjatuh di atas kepalanya. Lantas, ia mendongak ke atas pohon dan melihat  seekor burung dara tengah membuang air besar di atas kepalanya. Azra segera menggeser tempat duduknya dan mengecek keadaan rambutnya. Tangannya mengusap rambutnya dan melihat kotoran burung dara yang sudah menempel di telapak tangannya. Sial! Rambut Azra dijatuhi oleh kotoran burung dara yang sedang bertengger di ranting pohon itu. “Astaga, apa ini?!” kata Azra panik melihat kotoran burung dara yang menempel di rambut dan tangannya. Azra belum tahu jika itu adalah kotoran yang ditimbulkan dari burung dara tersebut. Dengan polosnya, Azra malah mendekatkan tangannya dan mencium bau t***a yang berasal dari burung dara itu. Barulah ia sadar jika bau tak sedap itu adalah kotoran milik seekor burung yang bertengger di atas pohon. “IH, BAU ASEM!” ucap Azra setelah mencium t***a sang burung. Setelahnya ia mendongak ke atas dan memarahi burung dara tersebut, “Burung nggak ada akhlak! Bisa-bisanya poop sembarangan! Mana di atas rambut orang lagi!”  Burung tersebut tidak bereaksi apa-apa atas kemarahan Azra padanya. Ia malah melengos terbang begitu saja ke udara membuat Azra semakin geram padanya. Para murid yang berada di sisi lapangan tentu saja melihat kejadian tersebut. Bukannya membantu Azra mereka malah menertawakannya membuat Azra malu setengah mati karena burung dara itu. Azra kebingungan sendiri. Bagaimana ini?  Ia sangat malas mencari shampo untuk membersihkan rambutnya. Bukan malas mencari shampo, sih, sebenarnya Azra tidak ingin menyentuh kotoran burung tersebut. Semakin lama semakin banyak para murid yang bergerombol melihat Azra yang tengah sekarat. Mereka terlihat sangat senang melihat Azra tertimpa musibah. “Lihat! Rambutnya kejatuhan kotoran burung!” “Pasti bau!” “Kasihan tapi ngakak juga.” “Hahaha.” Azra yang memang pada dasarnya cengeng akhirnya menangis di tengah-tengah gerombolan para murid itu. Azra menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia ingin mencari Fathan akan tetapi malu karena menjadi pusat perhatian. Di saat murid-murid lain menertawakan Azra, tiba-tiba seorang cowok datang membelah kerumunan. Cowok itu mengenakan jersey basket dengan tas punggung yang masih menempel di punggungnya. Para murid menatapnya dengan tatapan kagum dan juga bingung. Pasalnya ia terlihat sangat tampan namun aneh juga jika ia tiba-tiba membelah barisan. Karena mendapat tatapan yang bermacam-macam, cowok tersebut membuka suara. “Kenapa pada ngetawain dia?” tanyanya dingin. Suaranya terdengar berat.  “...” Hening. Tidak ada yang merespons ucapannya. “Kalo orang lagi susah itu dibantu. Bukannya malah diketawain! Nggak lihat apa dia butuh bantuan?” “...” “Dih, malah bisu!” sinisnya karena tidak ada yang merespons apa yang dia katakan. Azra yang mendengar seseorang membelanya sontak saja mengintip melalui ruas jarinya. Ia tercengang saat melihat Hans yang sudah berdiri di sampingnya. Demi apapun ini seperti mimpi bagi Azra. Hans mendekati Azra dan langsung menarik tangan Azra untuk keluar dari gerombolan tersebut. Azra hanya diam saat Hans menggenggam tangannya. Di perjalanan Hans sempat bertanya kepada murid yang lewat mengenai dimana letak toilet.  Dan kini sampailah Hans dan Azra di depan toilet siswi. Hans melihat banyak siswi yang sedang merias diri di dalamnya karena terdapat kaca. Hans pun akhirnya memutuskan untuk membawa Azra ke toilet siswa karena tidak seramai toilet siswi. Sesampainya di toilet siswa, ada beberapa anak cowok di dalamnya. Dengan tegas Hans meminta anak cowok itu untuk pergi dari sana. “Permisi, Boy, boleh kalian pergi?”  “Ada keperluan apa lo?” balas cowok tersebut, “lo kayaknya peserta lomba kan? Ngapain ngusir-ngusir orang? Bukan anak sekolah sini juga sok-sokan ngusir.” “Cewek gue mau bersihin rambutnya. Toilet siswi ramai cuma di sini yang nggak ramai. Jadi, lo bisa pergi, Ngab?” jelas Hans baik-baik. Cowok tersebut melihat rambut Azra yang kelihatan kotor. Lantas ia pun menuruti Hans dan pergi dari sana. Azra terpaku mendengar pernyataan Hans yang mengklaim bahwa dirinya milik Hans. Rasanya Azra ingin guling-guling di aspal saja kalau Hans memperlakukannya semanis ini. Hans melepaskan tasnya dan mengeluarkan shampo dan juga handuk. Di setiap pertandingan basket, Hans memang selalu membawa shampo, handuk, dan sisir. Setelah ia bertanding biasanya rambutnya suka basah dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Maka dari itu Hans selalu mencuci rambutnya setiap berakhirnya pertandingan basket. “Sini, gue bersihin rambut lo.” ucap Hans sementara Azra masih diam membisu. Hans pun membersihkan rambut Azra dengan sangat teliti. Ia tak ingin merusak rambut Azra atau ada air yang menetes membasahi seragam Azra.  “Rambut Azra pasti lepek! Bau kotoran burung juga. Ih, sial banget sih, hari ini! Pasti Azra kelihatan jelek banget! Pasti Azra nggak cantik lagi!” ucap Azra pelan ia merutuki hari yang dilaluinya. Walaupun ucapan Azra terdengar pelan akan tetapi Hans masih bisa mendengarnya.  Hans pun tersenyum lalu berucap, “Nggak usah cantik-cantik. Di mata gue lo selalu cantik." Azra menoleh ke arah sumber suara dan melihat Hans yang tersenyum kepadanya.  Hans masih betah memperhatikan Azra. Deg! “H-Hans, jangan liatin Azra.” kata Azra terbata-bata. Ia sangat deg-degan bila ditatap cogan macam Hans. Azra yang tadinya berspekulasi kalau Hans masih di jalan ternyata malah salah. Sekarang, Hans sudah berada di depannya. “Kenapa kalau gue liatin lo?” Hans tersenyum dan mengedipkan sebelah mata kirinya membuat Azra serasa ingin jatuh ke jurang. Setelah selesai membersihkan rambut Azra. Hans juga menyisir rambutnya agar tidak kusut. Sontak saja hal manis itu membuat Azra semakin ingin pingsan saja rasanya.  Bagaimana dengan kesehatan jantung Azra? Entah lah, jantung Azra sekarang sudah tidak bisa diajak kompromi lagi. Yang pasti jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya membuat tekanan darahnya naik seketika. “Hans.” panggil Azra. “Iya, Azra?” “Makasih ya.” “Untuk?” “Udah mau nolongin Azra.” “Ya ampun, santai kali, Zra. Kayak apa aja sama gue ini jangan malu-malu lah. Ya, walaupun kita belum kenal dekat tapi anggap aja udah kenal lama.” cengir Hans. “Hans,” panggil Azra lagi. “Iya?” “Azra mau nanya lagi boleh?” “Boleh dong. Masa enggak? Emang mau nanya apa?” “K-Kenapa Hans bisa tahu kalau Azra ketimpahan kotoran burung?” “Oh itu,” Hans terkekeh sebentar lalu melanjutkan, “Nggak tahu deh. Tadi gue nyariin lo ke kelas 10 IPA 2, gue inget lo pernah nyebutin kelas lo pas kita chatan. Terus kata temen lo, lo lagi di lapangan. Yaudah kan gue ke lapangan, eh tiba-tiba ramai gitu lapangannya. Gue ngintip dari sela-sela gerombolan anak-anak dan ngelihat lo lagi nangis. Yaudah, gue bantu. Gue nggak tega lihat lo diketawain.” jelas Hans. “Tapi kok Hans bisa tahu kalau itu Azra? Kan Azra nutupin wajah Azra pakai tangan.” “Muka bulat lo yang bikin gue ingat kalo itu lo. Soalnya tangan lo nggak terlalu menutupi muka bulat lo itu. Jadinya gue tahu kalau itu si Gemes.” “Si Gemes siapa?” “Lo lah.” “Eh?” “Baper?” Hans mengangkat alisnya satu. “E-enggak kok!” “Masa? Coba sini gue tatap mata lo.” “Ih, Hans apaan, sih! Nggak tahu ah, Azra malu!” Azra yang pipinya sudah memerah seperti buah apel itu pun memilih untuk keluar dari toilet tersebut. “Eh, belum selesai sisirannya! Sini gue sisir dulu rambut lo, Zra!” “Nggak, nggak mau!” “Takut baper ya?” goda Hans semakin gencar. “Nggak kok!” “Halah, bohong itu pipinya udah merah-merah!” “Oh, ini Azra pakai blush on!” racau Azra yang sudah keluar toilet. Hans yang sudah mengetahui pipi Azra memerah malah tertawa terbahak-bahak. Ia juga tidak menyangka awal pertemuannya dengan Azra akan menjadi konyol begini. Tadinya Hans mengira akan seperti di dunia fantasi. Namun kenyataannya malah cringe tapi menyenangkan. Ya, karena Azra tertimpa kotoran burung.  *** Pertandingan basket mulai mencuri perhatian seluruh warga sekolah terutama para kaum hawa. Karena pasalnya banyak anak basket dari sekolah lain yang sangat menawan. Tak sedikit dari mereka yang menyemangati peserta basket sekolah lain meskipun tidak kenal. Aneh, bukannya menyemangati team basket sekolahannya tetapi malah menyemangati team basket dari sekolah lain. Ada-ada saja kelakuan anak muda! Sementara itu Azra sedang duduk di tempat yang di sediakan untuk menonton pertandingan basket. Di sampingnya terdapat Nana yang tengah memakan cemilan untuk menyaksikan pertandingan tersebut.  Tadi, Azra bercerita kepada Nana perihal rambutnya, Azra mengira Nana akan prihatin padanya tetapi nyatanya malah tidak sama sekali. Teman sebangkunya itu malah tertawa ngakak mendengar cerita yang dibawakan oleh Azra. Memang dasar teman tidak ada akhlak! Senang melihat temannya menderita. “Mau minta chiki, Nana,” kata Azra yang meminta cemilan Nana. “Sok mangga.” “Ini rasa apa, Na?” “Rasa cintaku padamu, Zra.” “Ih, apaan, sih, Na! Garing!” “Ya lo nanya rasa apa! Emangnya lidah lo nggak bisa ngerasain apa?” “Lidah Azra lagi bucin. Dia nggak mau ngerasain rasa makanan kecuali rasa suka Azra ke Hans.” “Idih, bucin bener lo kodok bangkong!” Nana menoyor kepala Azra. Di saat Azra dan Nana sedang menunggu mulainya pertandingan, Fathan datang menghampiri Azra. “Azra.” ujar Fathan. “Eh, Fathan. Kenapa, Than?” tanya Azra. “Gua dengar orang-orang, tadi lo kena kotoran burung ya?” “Kok Fathan bisa tahu?” “Gue tahu dari orang-orang.” “Oh, iya tadi.” “Gimana?”  “Hah? Gimana apanya?” “Enak nggak?” “Mana ada enak lah! Fathan kira makanan apa?” gerutu Azra. Sementara Fathan malah terkekeh. Fathan ini ada-ada saja, musibah kok dibilang enak. Memangnya ia kira makanan apa?  “Gue antara ngakak sama prihatin sebenarnya.” “Dih, Fathan jahat sekarang!” “Biarin aja seru,” kata Fathan yang masih terkekeh, “tapi lo nggak kenapa-kenapa kan?” “Nggak kok biasa aja. Cuma malunya itu nggak akan pernah lupa.” “Syukurlah,” ucap Fathan lega, “oh ya, tadi gue juga sempat dengar kalau ada cowok yang nolongin lo. Siapa dia?” “Oh, itu Hans.” “Hans yang cowok online lo itu?” “Iya.” “Kok dia bisa lomba di SMA kita?” “Mana Azra tahu. Udah jodohnya kali kalau Azra kau ketemu dia.” “Pede banget lo kutu!” “Biarin!” “Yaudah, gue mau nugas lagi.” “Hm, oke.” “Hati-hati jangan ceroboh.” “Siap.” “Bye!” Fathan mengacak rambut Azra lalu pergi dari sana. “So sweet banget sih, lo sama Kak Fathan.” celetuk Nana. “Nana mau uwu sama Fathan?” “Eh? Nggak lah! Gue udah punya kok.” “Punya apa?” “Punya doi lah.” “Siapa?” “Seojun.” “Halu terus kerajaannya!” Azra mencibir. Suara peluit wasit berbunyi pertanda dimulainya pertandingan basket. Dari atas lapangan, Azra berteriak menyemangati Hans yang sedang bertanding.  “SEMANGAT HANS!” “HANS PASTI BISA!” “SEMANGAT!” Hans yang mendengar suara seseorang memanggil namanya pun akhirnya menoleh. Ia melihat Azra di sana yang menyemangatinya. Hans membalas dukungan Azra dengan kedipan mata dan senyuman manisnya. Azra yang mendapati hal itu segera senyum-senyum seperti orang gila karena sangking senangnya. Tak lupa Nana yang berada di sampingnya menjadi korban pukulan Azra karena dirinya sedang merasakan jatuh cinta!  Dasar Azra bucin!  ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD