Part 9

1751 Words
Setelah melewati masa-masa pembelajaran selama satu minggu di sekolah akhirnya hari yang dinanti seluruh murid tiba. Ya, hari dimana sekolah mereka akan mengadakan lomba tahunan antar sekolah. Di jam ini banyak kelas meeting yang akan mereka gunakan untuk bersenang-senang. Ada yang makan di kantin, main HP, foto-foto, bahkan ada pula yang ngebucin. Hal itu terkadang membuat sebagian para kaum lajang cemburu karena mereka tidak memiliki pasangan. Mereka hanya bisa mencintai diam-diam dan menangis dalam diam. Sedih kedengarannya, namun apa boleh buat sudah takdir mereka. Sebelum mentari terbit, Anak OSIS sudah terlebih dahulu datang ke sekolah. Mereka terlihat sangat sibuk menyiapkan segala kebutuhan lomba. Seperti menyiapkan makanan dan minuman di meja tamu undangan, merapihkan panggung yang berantakan karena dipakai untuk kerja kelompok kemarin, mengangkat banyaknya kursi dari gudang sekolah, dan masih banyak lagi aktivitas yang mereka lakukan. Sama halnya dengan Jessie, Azra, dan Fathan. Mereka ikut ambil alih untuk datang ke sekolah pagi-pagi buta seperti ini. Sebenarnya Azra tidak ikut OSIS. Namun karena Fathan hari ini datang lebih pagi dari biasanya apa boleh buat jika Azra tidak berangkat dengan Fathan? Tidak mungkin bukan jika ia berangkat setelah Fathan? Siapa yang mengantar? Sopir? Tidak, sopir di rumahnya sedang mengantar Fani dan Farid. "Bosen," ucap Azra duduk di kelasnya sendirian. Ya, ia adalah salah satu murid yang datang pertama di kelasnya. Di tatapnya jendela kelasnya, Azra menyaksikan anak OSIS yang sedang sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Huft, melelahkan sekali melihatnya. Padahal Azra sama sekali tidak melakukan apa-apa. Dasar aneh! "Ngapain ya?" Azra berucap kembali pada dirinya sendiri. Ia menimang-menimang sebuah keputusan untuk melakukan sesuatu. Demi apapun, ia benar-benar tidak tahu ingin melakukan kegiatan apa. Waktu terus berjalan dengan cepatnya. Setelah lama Azra melamun, akhirnya Azra memutuskan untuk memainkan ponselnya. Di saat yang sepi dan sunyi seperti ini ponsel memang merupakan teman sejati yang akan selalu menemani. Ia akan melakukan apa saja yang kita kehendaki asalkan daya tahan baterai masih mencapai angka seratus agar dapat dimainkan dalam jangka waktu yang relatif lama. Azra merogoh saku baju seragamnya dan mengambil ponselnya. Diketiknya kata sandi rahasia agar ponselnya dapat dibuka. Pertama, Azra membuka aplikasi berlogo telepon berwarna hijau. Azra mengecek apakah ada seseorang yang mengirim pesan padanya.  "Coba kita buka w******p dulu, barangkali ada pesan yang menunggu." kata Azra dengan tingkat rasa percaya diri yang tinggi. Ia sudah senyum-senyum sendiri berkhayal kalau w******p-nya dipenuhi dengan deretan chat dari teman-temannya. Namun nyatanya tidak semua ekspektasi akan sesuai dengan realita kehidupan. Ya, jauh dari anggapan Azra ternyata tidak ada satupun pesan yang ada di room chatnya. Hasilnya nihil. Kasihan sekali nasibnya padahal sudah berharap lebih. Mungkin benar kata orang-orang kalau kita tidak sepantasnya berekspektasi tinggi terhadap manusia. Azra pun berinisiatif untuk melihat-lihat story w******p teman-temannya. Bingung sekali rasanya. Ia tidak tahu ingin melakukan apa. Tapi ya sudahlah mau bagaimana lagi. Isi story teman-teman Azra beragam macam bentuknya. Ada julukan si Sadgirl yaitu teman Azra yang hobi membuat story galau berisi tentang keluh kesah hatinya kepada seseorang yang tidak kunjung peka terhadap perasaannya. Bukan hanya Sadgirl, ada pula si Sadboy. Kisah story-nya hampir mirip dengan si Sadgirl. Ya, sama-sama sad. Kasihan. Sampai ketika Azra melihat Hans membuat story sekitar dua menit yang lalu. Bukan Azra namanya kalau tidak kepo. Tentu saja Azra langsung membukanya dengan secepat kilat menyambar. Jemari Azra segera mengklik story Hans. Sampai ketika kedua mata Azra terkejut saat melihat foto Hans dengan jersey basketnya yang sedang berfoto bersama teman-temannya di sekolah Hans sendiri. Sebenarnya bukan foto Hans yang membuat Azra terkejut bukan main. Melainkan caption pada story Hans yang berbunyi. 'Fighting! Otw lomba ke SMA Moonlight' "Demi apa? Ini kan sekolah, Azra?" kata Azra dengan mata yang melotot seketika itu juga. Ia benar-benar tidak percaya. Rasanya seperti mimpi. Azra mencoba untuk menyubit tangan kanannya dengan keras. Ia mengira ini hanyalah mimpi atau halusinasinya belaka namun sayangnya tidak. Tangannya merasakan sakit akibat cubitan yang ia buat sendiri untuk dirinya. "Ternyata ini sungguhan!" kata Azra berteriak senang melihat story tersebut, “Ya Allah, ternyata benar kalau Hans mau ke sekolah Azra! Duh, kayaknya ini rezeki anak sholeh deh!” cengir Azra yang terlihat kegirangan. Azra tidak mau basa-basi atau berlama-lama dengan keadaan. Tanpa harus menunggu waktu yang lama Azra segera membalas story Hans dengan cepat. Azra : SERIUS HANS MAU LOMBA KE SMA MOONLIGHT?  Hanya sekitar satu menit untuk membalas pesan Azra yang sama sekali tidak membutuhkan waktu yang lama untuk Azra menunggu. Hans dengan cepat membalas pesannya yang membuat senyum Azra menjadi terangkat karena senang karena Hans fast respon. Hans : IYAAA, AZRA. KENAPA? Azra : SERIUS? Hans : Iyaa, serius, By:” Azra : Azra kok nggak percaya ya, Hans. Hans : Ih, kok gitu? Harus percaya dong. Azra : Kayak mimpi rasanya. Hans : Hahaha, ada-ada aja lo, Zra. Kayak ketemu siapa aja. Azra : DEMI APA SIH HANS MAU KE SEKOLAH AZRA? Hans : DEMI CINTAKU PADAMU. Azra : Ih, Hans jangan gitu! Azra nanya serius ini! Hans : Iya, gue serius kok, Zra.  Azra : Hans yang benar! Hans : Iya, Sayang. Azra : Otw block. Hans : Lah, kenapa? Azra : Azra nanya nggak dijawab. Hans : Nanya apa? Azra : Hans b***t apa gimana sih? Azra itu nanya 'Hans beneran mau lomba di SMA Moonlight?' Hans : Iyaaaa, Azraaaa. Memangnya kenapa? Azra : Astaga! Itu kan SMA tempat Azra sekolah! Hans : Hah? Serius?  Azra : Iya, Hans! Hans : Tapi gue nggak mau ketemu lo. Azra : Lah, kok gitu? Nggak mau first meet sama Azra? Hans : Enggak. Azra : Kenapa? Hans : Gue takut kejang-kejang kalau lihat lo.  Azra : Dih, kok gitu sih? Kejang-kejang kenapa lah? Emangnya Azra hantu? Hans : Hans tuh nggak tahan sama kecantikan Azra. Jadinya ya, Hans nggak mau ketemu sama Azra karena takut kejang-kejang karena cantiknya Azra. Oh, s**t! Hans dapat membuat Azra serasa ingin menceburkan diri ke sungai dengan kata-katanya yang membuat jantung Azra berdetak lebih cepat dari biasanya. “Tahan jantung, tahan... Jangan baper tahan dulu bentar—“ Azra berbicara kepada dirinya sendiri tetapi kelanjutannya ia malah tiba-tiba berteriak kegirangan atas pujian dari Hans, “ARGHHH BAPER!!!”  Untung saja tidak ada orang di kelasnya, kalau sampai ada orang mungkin Azra akan mempermalukan dirinya sendiri. Setelah Azra berteriak-teriak tidak jelas akhirnya jantungnya dapat berjalan normal kembali seperti sedia kala. Ia pun kembali melanjutkan percakapannya dengan Hans. Azra : Apaan, sih, Hans! Malu tahu! Hans : Nggak usah malu-malu ih, ada Hans yang siap menampung malu kamu. Azra : Idih! Hans : Yaudah beb, gue mau siap-siap dulu. Mau otw ke sekolah lo nih. Azra : Siap! Hati-hati, Hans! Hans : Okee, Azra! Azra : Sampai ketemu Azra! Hans : Sampai ketemu Hans juga! Setelah mengakhiri chat-nya dengan seseorang bernama Hans tersebut, Azra mulai senyum-senyum sendiri. Untung saja belum ada teman kelasnya yang datang. Kalau tidak sudah pasti Azra akan dicap seperti gadis gila. Astaga, Azra tidak sabar rasanya ingin bertemu Hans untuk yang pertama kalinya. Azra mengambil cermin kecil di dalam kotak pensilnya. Ia membuka cermin tersebut lalu melihat penampilannya lebih dahulu sebelum bertemu dengan Hans. Tentu saja ia ingin tampil sempurna di depan Hans. Azra merasa gaya rambutnya agak sedikit aneh. Ada dua helai rambut Azra yang terlihat sedikit tegak ke atas. Mirip seperti jambul ikan cupang yang ingin di adu. Tentu saja Azra tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Benar-benar memalukan jika nantinya Hans melihat rambut Azra yang berkamuflase seperti jambul ikan cupang. Dengan seluruh kemampuan dan tenaga yang ia punya. Azra mencoba untuk menguncir rambutnya dengan rapih. Namun bukannya rapih yang di dapatkannya, rambutnya malah terlihat berantakan. Azra punya ide! Ia akan meminta bantuan Fathan mengikat rambutnya seperti Elsa. Ya, meskipun Azra adalah seorang wanita ia tidak bisa menguncir rambutnya sendiri. Azra kalah dengan Fathan yang notabene-nya adalah cowok akan tetapi anak itu dapat menguncir rambut orang. Aneh memang namun nyatanya memang begitu. Ah, yang terpenting adalah cewek selalu benar. *** Azra keluar dari kelasnya. Ia berjalan mengelilingi gedung sekolahan mencari letak keberadaan Fathan. Azra sudah pergi ke kelas Fathan namun Fathan tidak ada di sana, ruang OSIS juga sudah Azra datangi namun hasilnya nihil. Kemana lagi Azra harus menemui Fathan? "Fathan kemana, sih?" gerutu Azra. Kedua netranya masih sibuk mencari Fathan. Hingga akhirnya Azra menemukan batang hidung Fathan di depan majalah dinding sekolah. Terlihat di sana Fathan sedang merapikan mading sekolah bersama Jessie di sampingnya. Tidak mau lama-lama karena takut Hans akan lebih dulu datang ke sekolahnya, Azra langsung berlari menghampiri Fathan.   "Dorrrrr!" Azra berniat membuat Fathan dan Jessie terkejut namun kenyataannya malah tidak sama sekali. Jessie dan Fathan malah bingung dengan kehadiran Azra di sana. "Yah, kok kalian pada nggak kaget, sih?" kata Azra dengan wajah yang memelas. "Apa, Zra?" tanya Fathan to the point.  "Kuncir rambut Azra, tolong!" jawab Azra. "Lah, tadi pagi kan udah dikuncir kok sekarang dilepas lagi?" "Tadi rambut Azra tiba-tiba lagi badmood. Fathan pokoknya harus kuncir rambut Azra. Azra pengin gaya dikelabang." "Hah? Kelabang apa?" kata Fathan yang tak mengerti dengan apa yang Azra katakan. "Itu loh yang kayak Elsa di film frozen." "Ngapain sih, dikelabang segala? Biar apa? Sini kuncir biasa aja." "Nggak mau! Azra maunya dikelabang biar kayak Elsa Frozen!" "Emang kenapa kalau kuncir biasa?" "Doi Azra mau ke sini! Dia ternyata ikut lomba di sekolah kita, Han!" "Doi siapa?" "Ih, Fathan mah pelupa! Pokoknya doi Azra!" "Hm, terserah lo." "Cepat ikat rambut Azra! Azra nggak mau keliatan kumel di depan dia!" "Ck, yaudah. Sini ikat rambutnya gue kuncir." "Nih." Azra memberikan ikat rambutnya kepada Fathan. Fathan menerimanya lalu melakukan apa yang Azra katakan. Menyusahkan memang namun Fathan senang dikerjai oleh Azra. Sesibuk apapun Fathan, seberat apapun pekerjaannya, jika Azra meminta pasti akan Fathan lakukan.  “Udah selesai nih.” “Ih, kok cepet banget sih, Fathan? Fathan ngasal nggak nih kuncir rambut Azra?” ujar Azra malah menuduh yang tidak-tidak. “Ya nggak lah! Lo liat aja di cermin kalau  rambut lo udah rapih.” “Di mana cerminnya?” “Mana gue tahu.” “Oh, iya! Ada di tas Azra!” kata Azra sembari menepuk kepalanya. Alis Fathan terangkat satu, “Ya terus?” “Ambil.” “Siapa?” “Fathan.” “Kok nyuruh?” “Fathan kan baik! Please, ambilin ya!” Azra memasang puppy eyesnya yang membuat Fathan terenyuh karena tak tega.  “Hm. Tunggu.” Fathan mengalah. Akhirnya ia pun pergi ke kelas Azra untuk mengambil cermin yang Azra maksud. Jessie yang berada di samping Fathan tersenyum melihat ketulusan persahabatan antara Azra dan Fathan. Azra pasti bangga mempunyai sahabat macam Fathan yang selalu ada di saat dirinya membutuhkan bantuan. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD