Setelah menunggu antrean yang sangat melelahkan. Akhrinya Fathan dan Jessie dapat menyelesaikannya. Mereka sekarang sudah berada di parkiran tepatnya di atas motor Fathan.
"Ini helmnya, Je." kata Fathan.
"Iya, Han." Jessie menerima helm tersebut dan memakainya.
Fathan pun menancapkan gas motornya lalu pergi dari stationary tersebut.
***
Sekarang, Jessie dan Fathan sedang berhenti di depan tiang lampu jalan yang masih berwarna merah. Sembari menunggu lampu merah berubah menjadi hijau, Fathan dengan malu-malu memulai percakapan. Sebenarnya gengsi namun ia tetap ucapkan agar tidak tercipta keheningan.
"Je,"
"Iya?"
"Lagi apa?”
Bodoh!
Pertanyaan aneh macam apa itu yang dilontarkan oleh Fathan tiba-tiba? Sudah jelas Jessie sedang duduk di belakang jok motor Fathan. Malah Fathan bertanya dengan lantangnya, "Lagi apa?"
"Hah? Lo ngomong apa tadi, Han?" tanya Jessie tidak mendengar.
Huft.
Fathan bernapas lega. Untung saja Jessie tidak mendengar apa yang dikatakannya jika ia mendengar apa yang diucapkannya. Fathan sudah dapat menebak pasti Jessie akan merasa cringe jika berada di dekatnya. Huft, untung saja.
"Eh? Nggak, bukan apa-apa kok Je,"
"Oh, iya, Han."
Lampu merah akhirnya berganti menjadi lampu hijau. Fathan segera menancapkan gasnya kembali.
Di setengah perjalanan pulang tiba-tiba terdengar sebuah lantunan adzan dzuhur yang bersumber dari masjid. Seruan adzan yang memanggil manusia untuk beribadah itu sepertinya tak jauh dari tempat Fathan berada. Fathan memutuskan untuk menetap terlebih dahulu di masjid tersebut.
"Je, udah adzan kita singgah dulu ya di masjid. Sholat dulu baru pulang." kata Fathan.
"Eh? I-Iya, Fathan."
Tidak berangsur lama akhirnya Fathan dan Jessie berhenti di sebuah masjid. Jessie turun lebih dulu dibandingkan Fathan.
"Yuk, Je. Masuk." ajak Fathan tetapi Jessie menolaknya.
"Iya, Han, lo masuk aja duluan. Gue di sini aja nunggu lo."
"Lah, ngapain nunggu gue? Lo nggak sholat?"
Jessie tersenyum kecut lalu berucap, "Kiblat kita beda, Han."
"Hah? Kiblat kita beda?" Fathan mengernyit bingung, "maksudnya?"
"Gue beribadah di gereja dan lo beribadah di masjid."
Mendengar penuturan Jessie seketika itu juga Fathan langsung menutup mulutnya. Bukan tanpa sebab ia melakukannya, Fathan hanya tidak enak dengan ucapannya kepada Jessie yang menyuruhnya untuk masuk ke tempat ibadahnya.
"M-Maaf, Je. Gue nggak bermaksud apa-apa terhadap lo. Gue nggak tahu." ucap Fathan jujur. Ia meminta maaf kepada Jessie.
"Iya, nggak apa-apa, Han. Santai aja. Udah sana sholat." suruh Jessie.
Fathan mengangguk, "Yaudah, gue masuk ya. Lo di sini aja."
"Iya, gue tunggu lo di sini."
"Assalamualaikum."
"Shalom."
Fathan pun pergi untuk masuk ke dalam masjid. Sementara itu Jessie menunggu Fathan di parkiran motor. Karena kepanasan, akhirnya Jessie memutuskan untuk duduk di tempat yang teduh, yaitu di bawah tangga masuk masjid yang lumayan lebar. Ia pun duduk di sana menunggu Fathan selesai sholat.
Jessie menoleh ke dalam masjid. Ia melihat bagian shaf laki-laki mencari Fathan. Ia pun menemukannya walau hanya terlihat tubuh Fathan dan rambutnya dari belakang. Fathan terlihat sangat khusyuk menjalankan ibadahnya. Jessie tersenyum akan hal itu. Ia merasa bangga terhadap Fathan tidak tahu apa sebabnya.
Jessie menengadahkan kepalanya ke atas Menatap langit yang berwarna biru dengan matahari yang memberikan sinar di sampingnya.
Tidak tahu kenapa ia merasa akhir-akhir ini perasaannya seperti ada yang berbeda dari biasanya.
Apalagi kalau berada dekat dengan Fathan. Ia merasakan kenyamanan yang benar-benar membuatnya tak ingin pindah. Apa ini? Jessie juga tidak mengetahuinya.
Apakah ia menyukai Fathan? Entah lah, Jessie belum bisa mendeskripsikannya. Jikalau benar, bagaimana bisa ia menyukai Fathan?
Di saat kebimbangan melanda dirinya, Jessie langsung mengepalkan tangannya dan bermunajat di dalam hatinya.
"Ya Tuhan, aku sedang merasa nyaman dengan orang yang berbeda kiblat denganku. Orang itu dapat membuat diriku merasa menjadi manusia yang bebas tanpa menjaga image-ku di depannya. Aku tidak mengerti apa yang terjadi di dalam pikiranku dan hatiku. Apakah aku menyukainya? Atau hanya sebatas kagum belaka? Entahlah aku tidak mengerti. Satu harapku, semoga aku bisa selalu bersama dengannya walau kita berbeda. Aamiin."
Beberapa menit kemudian Fathan keluar dari masjid. Saat ia sudah memakai sepatunya dan bergegas pergi ke parkiran motor, ia melihat sosok Jessie yang sedang duduk di bawah tangga masjid.
"Hei? Ngapain di bawah tangga?" kata Fathan sembari mengacak rambut Jessie membuat Jessie sedikit bingung.
"Eh? M-Maaf, Je. Tangan gue nakal ngacak-ngacak rambut lo."
"I-Iya, nggak apa-apa, Han."
"Lo ngapain duduk di tangga, Je?"
"Nunggu lo. Di parkiran panas jadi gue duduk di sini biar adem."
"Oh, iya. Kirain gue kenapa. Yaudah yuk pulang."
"Pulang?"
"Eh, maksudnya ke rumah gue untuk kerja kelompok."
"Yaudah, ayo."
Mereka pun berjalan ke parkiran. Sesampainya di parkiran Fathan menyuruh Jessie untuk duduk di atas motornya. Setelahnya ia pun naik dan pergi dari sana
***
Akhirnya motor Aerox itu berhenti di depan rumah Fathan. Jessie pun turun diikuti dengan Fathan di sampingnya.
"Ayo masuk, Je."
"Iya, Han."
Jessie pun memasuki kediaman Fathan.
"Mau kerja kelompok dimana?"
"Terserah lo."
"Di atas aja ya."
"Di atas mana?"
"Di atas atap."
"Eh? Emang bisa?"
"Ya nggak lah. Maksud gue di teras lantai atas. Dingin di sana, sejuk gitu."
"Oh, yaudah."
"Iya."
"Orangtua lo kemana?"
"Bunda di kamarnya, kalau Ayah lagi kerja."
"Anterin gue ketemu Bunda lo, Han. Mau bertamu dulu."
"Ayo."
Fathan mengangguk mengiyakan apa yang dikatakan Jessie. Ia pun mengantarkan Jessie ke kamar Fani.
"Ayo masuk." kata Fathan saat dirinya sudah di depan pintu kamar Fani.
"Nggak Han, gue mau di sini aja. Nggak sopan kalau gue main masuk kamar Bunda lo."
"Yaudah, gue panggil dulu Bunda gue."
"Iya."
Ceklek.
Fathan mengetuk kamar Fani dan masuk ke dalam memanggil Fani. Tak berselang lama Fathan keluar dari balik pintu bersama Fani.
"Selamat siang Tante, perkenalkan saya Jessie teman kelompok Fathan." Jessie mencium tangan Fani.
"Wah, selamat siang kembali, Jessie. Nama yang indah."
"Makasih, Tante."
"Eh, jangan panggil Tante. Panggil aja Bunda, ya, Je."
"Eh? I-Iya, Bunda."
"Udah makan belum? Mau makan nggak? Nanti Bunda siapin."
"Nggak usah repot-repot Bunda, Jessie udah makan kok di rumah."
"Lah, itukan di rumah kamu bukan di rumah Bunda."
"Nggak apa-apa Bunda, Jessie mau kerja kelompok aja di sini."
"Nggak bisa gitu dong, kamu harus makan ya habis kerja kelompok bareng Fathan juga."
"Iya, Bunda."
"Fathan, berikan Jessie minuman sama cemilan di kulkas."
"Iya, Bun." jawab Fathan.
"Yaudah kalau gitu kalian kerja kelompok dulu aja sana nanti nyusul makannya ya."
"Iya." kata Jessie dan Fathan bersamaan. Sebelum ke lantai atas, Fathan pergi sebentar ke dapur mengambil minuman dan cemilan seperti apa yang dikatakan Fani. Lalu, Fathan mengajak Jessie ke teras yang terletak di lantai atas rumahnya untuk mengerjakan mading sekolah.
***
Kini, Jessie dan Fathan sedang mengerjakan tugas OSIS mereka berdua. Ya, membuat mading sekolah. Segala perlengkapan sudah mereka siapkan di depan mereka. Tinggal mereka yang mengatur tugas, membagi apa saja yang akan mereka kerjakan agar urusannya segera selesai dengan cepat.
"Fathan, lo yang nulis kata-katanya ya. Gue yang gambar sama menghiasnya."
"Oke, Je."
"Ini pensil sama spidolnya."
"Siap."
Fathan dan Jessie mulai mengerjakan tugas mereka berdua. Mereka terlihat sangat teliti dan fokus mengerjakannya. Mereka berdua memiliki jiwa ambis yang sangat tinggi. Mereka yakin jika proyek kerja kelompok ini akan selesai di hari yang sama. Fathan dan Jessie akan meluangkan seluruh waktunya agar tugas tersebut dapat terselesaikan.
Niat mereka memang harus diacungi jempol. Menurut perspektif diantara Fathan dan Jessie, jika kita menunda pekerjaan maka pekerjaan tersebut semakin harinya akan semakin menumpuk. Jadi kita harus menyelesaikan pekerjaan itu sebelum hari deadline tiba. Namun jika pekerjaan itu menyulitkan atau kita tidak mempunyai waktu luang, kita bisa mencicilnya sedikit demi sedikit. Percayalah, pasti nantinya akan menjadi bukit.
Saat mereka berdua sedang fokus mengerjakan, tiba-tiba saja Azra datang dengan wajah yang berantakan. Rambutnya acak-acakan, matanya menyipit sebelah, dan juga jalannya seperti orang mabuk.
Fathan yang melihat itu sudah tahu apa yang telah Azra lakukan. Ya, Azra habis bangun tidur. Jika hari minggu tiba dan tidak ada keperluan, biasanya Azra senang sekali menghabiskan waktunya untuk tidur. Terlebih lagi tidur siang. Itu memang juaranya kalau menurut Azra.
"Ngapain ke sini?" tanya Fathan saat Azra duduk di tengah-tengah Fathan dan Jessie.
"Lah, emang kenapa? Nggak boleh?" balas Azra dengan suara serak.
"Minum dulu sana, cuci muka. Banyak beleknya tuh di mata. Ngebo aja bisanya." suruh Fathan. Sontak saja hal itu membuat Azra kesal. Azra menoleh ke sampingnya dan melihat ada Jessie di sana. Azra lumayan terkejut namun ia tak menggubris keterkejutannya itu. Astaga? Apakah Jessie mendengar tabiat buruknya yang dibongkar oleh Fathan?
"Eh? Ada Kak Jessie, apa kabar, Kak?" tanya Azra basa-basi.
"Baik, kalau Azra?" Jessie balik bertanya.
"Alhamdulillah, Azra baik juga Kak Jessie."
"Puji Tuhan kalau begitu." jawab Jessie dan dibalas anggukan oleh Azra. Tanpa Jessie jelaskan, Azra sudah memahami apa yang diucapkannya.
"Ini kalian mau buat apa?"
"Apaan, sih, nanya-nanya. Kepo bener." celetuk Fathan.
"Azra nanya karena Azra nggak tahu," Azra membela dirinya, "daripada nggak bertanya sesat di jalan. Lebih bahaya kan nggak bisa pulang."
"Dih, lebay! Tinggal jalan kaki aja!"
"Apaan, sih, Fathan nggak jelas!" Azra menjulurkan lidahnya.
Ia pun berbalik bertanya kepada Jessie yang memang lebih waras dibandingkan Fathan, "Kak Jessie, ini mau buat apa ya, Kak?"
"Mading OSIS, Azra."
"Oh, mading."
"Iya."
"Eh, bentar-bentar,"Azra merasakan sesuatu yang berbeda dari Jessie, "Kak Jessie Azra izin bertanya sama Kakak."
"Izin bertanya sama Kakak, udah kayak anak pramuka aja lo!" celetuk Fathan.
"Ya terserah lah!"
"Nanya apa?" tanya Jessie.
"Azra bingung sama Kak Jessie."
"Bingung? Kenapa?"
"Kak Jessie tumben mau bicara sebanyak ini? Biasanya Kak Jessie irit banget kalau bicara kayak irit kuota. Kenapa Kak? Kok tumben mau ngeluarin suara?" tanya Azra to the point. Ia memang merasakan aura berbeda dari Jessie yang ia temui beberapa hari lalu di sekolah dengan Jessie yang sekarang.
"Heh! Nggak sopan!" sela Fathan, "terserah Jessie mau bicara panjang atau pendek. Lo ini sibuk aja!"
"Yeee, kambing conge! Siapa yang sibuk? Orang Azra cuma nanya doang kok apa salah?"
"Ya salah lah, itukan melanggar privasi orang!"
"Tapi kan Azra udah izin sama Kak Jessie!"
"Bukan salah Azra kok dia cuma bertanya," kata Jessie menengahi ia menarik napas lalu melanjutkan perkataannya, "sifat dan kosa kata gue bisa berubah banyak sama orang yang memang satu frekuensi sama gue. Dan gue rasa, Fathan dan Azra satu frekuensi sama gue sekarang."
"Eh? Beneran kita satu frekuensi, Kak?"
"Iya."
"Ya ampun padahal Azra anaknya petakilan (nakal/aktif) loh, Kak! Beda banget sama Kak Jessie dan Fathan yang sama-sama introvert."
"Lo lucu, Zra. Gue suka." puji Jessie membuat Azra serasa ingin terbang.
"Ih, jadi malu."
Plakkkk!
Fathan menggeplak kepala Azra pelan karena gemas dengan kelakuan sahabatnya itu.
"Ih, Fathan apaan, sih! Sakit tahu!" Azra tak terima.
"Lebay! Cuma digeplak doang!"
"Mana ada lebay! Yang ada sakit aneh!"
"Yaudah, sukurin."
"Dih, jahat banget!"
"Biarin."
Tiba-tiba saja sebuah ide terlintas di dalam otak Azra. Ia ingin menjahili Fathan.
"Kak Jessie tahu nggak?" pancing Azra. Fathan masih diam karena ia tak mengerti apa maksud Azra.
"Kalau sebenarnya Fathan itu suka sama—"
"Sama buku-buku pelajaran digital. Soalnya enak dipelajari terus praktis juga bisa dibawa kemana-mana karena file-nya ada di HP." potong Fathan ngawur sembari mencubit lengan Azra membuatnya langsung diam karena dikode Fathan.
Azra ini ingin mencari perkara saja. Untung saja anak itu diam kalau tidak bisa berakhir hubungan pertemanan antara Fathan dan Jessie.
"Iya, Han, benar. Buku digital itu lebih praktis dan bisa dibawa kemana-mana." kata Jessie beropini tentang ucapan Fathan yang ngalor-ngidul tetapi untung saja Jessie memahaminya.
"I-Iya Je," Fathan berbicara dengan kikuk lalu menyikut Azra memintanya untuk diam agar tidak membocorkan rahasia cinta dalam diamnya kepada Jessie. Azra hanya mengangguk sambil menahan tawa tanpa dosa. Benar- benar menyebalkan sekali!
"Eh, Jessie, makan dulu cemilannya sama minum nih minumannya. Nanti laper sama aus lagi." ucap Fathan sebagai tuan rumah.
"Iya, Han."
Beberapa jam kemudian akhirnya tugas kelompok mereka pun selesai. Fathan dan Jessie bernapas lega. Tak sia-sia perjuangan mereka melewati terik mentari yang panas dan menunggu antrean panjang di stationary. Semua yang mereka lakukan akhirnya terbayar juga dengan hasil yang sepadan dari mading yang mereka buat.
"Wah, madingnya bagus, Han!" kata Jessie mengapresiasi karyanya dengan Fathan. Tidak lupa juga dengan Azra yang sesekali membuat lelucon garung untuk dirinya dan Fathan saat mereka sedang menyelesaikan tugas membuat mading ini. "Makasih, juga ya, Azra."
"Lah, makasih atas apa, Kak?" Azra bingung. Setahu dirinya ia tidak melakukan hal apapun itu.
"Udah buat lelucon lucu."
"Eh? Seriusan kan itu lucu?"
"Iya."
"Wah, makasih loh, Kak. Azra senang dengarnya."
"Sama-sama."
"Tapi garing sih." celetuk Fathan.
"Iri aja!"
Tak berapa lama terdengar suara Fani yang meminta Fathan, Jessie, dan Azra untuk makan siang. Jessie pun menurut dan makan siang bersama keluarga Fathan. Setelahnya Fathan mengantarkan Jessie pulang menuju rumahnya.
***