Setelah penantian lama menunggu sang surya menyinari dunia, akhirnya waktu yang ditunggu-tunggu tiba. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Fathan sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Jessie.
Ia mengambil hoodie hitamnya yang selalu menjadi bagian terpenting dari hidupnya ketika ingin pergi keluar rumah. Tak lupa, Fathan menyisir rambutnya yang badai itu. Ia memoleskan sedikit pomade agar terlihat lebih cool dan berwibawa.
Di tatapnya wajahnya di depan kaca lalu berkata pada dirinya sendiri, "Kok gue ganteng juga ya?" katanya percaya diri. Hanya di depan kaca Fathan berani mengatakan itu, selebihnya tidak sama sekali.
Di saat Fathan sedang berkaca, sebuah notifikasi berbunyi. Ia segera mengambil ponselnya dan membukanya.
Ternyata pesan dari Jessie.
(Jessie mengirimkan lokasi terkini)
Jessie : Ini alamat gue.
Fathan : Oke, ini mau berangkat.
Jessie : Siap.
Fathan pun segera bersiap dengan cepat. Ia segera menuruni anak tangga dan berjalan menuju garasi tempat dimana ia menaruh motor Aerox merahnya.
"Tumben kamu pagi-pagi udah mandi? Mau kemana?" tanya Fani kepada Fathan yang sudah tampan.
"Mau ke rumah teman, Bun."
"Teman siapa?"
"Teman Fathan."
"Memangnya kamu punya teman? Setahu Bunda kamu nggak punya teman di sekolah. Temanmu kan cuma Azra." kata Fani savage membuat hati Fathan terenyuh mendengarnya.
Sangking no life-nya Fathan di rumah dan di sekolah, bahkan sampai-sampai Fani bisa tahu kalau ia tidak punya teman. Nasib-nasib.
"Punya, Bun." balas Fathan apa adanya.
"Siapa nama temannya? Rumahnya dimana? Jantan apa betina?" tanya Fani dengan rentetan pertanyaannya yang panjang.
Deg!
Duh, Fathan jadi bingung sendiri akan menjawab apa. Kalau ia menjawab jujur, pasti Fani akan lebih kepo mengenai hubungan pertemanannya dengan Jessie si betina. Sudah bukan rahasia umum lagi kalau Fathan sangat jarang berinteraksi dengan lawan jenis terkecuali dengan Azra. Fathan takut jika nantinya sang bunda akan memikirkan hal yang tidak-tidak.
"Jawab apa ya?" Fathan membatin.
"Hei! Bunda tanya kok kamu malah diam?" senggol Fani, "siapa nama temanmu? Rumahnya dimana? Jantan apa betina?" Fani mengulangi pertanyaannya.
Pasrah.
Fathan benar-benar pasrah.
Tidak ada cara lain lagi selain berkata dengan sejujurnya. Ia juga tidak mau menumpuk dosa yang sudah menjulang tinggi seperti gunung. Sudah-sudah lagi menambah dosa.
"Namanya Jessie, rumahnya di bumi, dan dia betina." jawab Fathan sembari menutupi wajahnya.
Ia sudah dapat menebak kalau Fani akan kepo dan bertanya-tanya mengenai awal kedekatannya dengan perempuan selain Azra.
Cukup lama Fathan menunggu respon dari Fani. Hatinya sudah dag-dig-dug sejak tadi ingin mendengar apa yang dikatakan Fani.
Dan jawabannya ternyata malah jauh berbeda dengan apa yang Fathan bayangkan sebelumnya. Ya, Fani tidak mempermasalahkan pertemanannya dengan Jessie. Karena menurut Fani semua itu tergantung dari anaknya sendiri. Kalau anaknya memang nyaman dengan orang baru kenapa tidak? Selagi itu tidak merugikan diri sendiri dan orang lain hal itu sah-sah saja kok. Mungkin seperti itulah pendapat yang bisa Fani simpulkan. Ia juga tak mau menjadi seorang ibu yang terlalu memaksakan kehendak sendiri atau over protektif kepada anak-anaknya. Selagi itu baik, kenapa tidak dilanjutkan?
"Owalah, yaudah. Kamu hati-hati ya di jalan. Jangan ngebut-ngebut, kamu bukan Rosi."
Kedua alis Fathan saling bertautan bingung dengan apa yang bundanya katakan, "Bunda nggak nanya ke Fathan?"
"Hah? Nanya apa?"
"Fathan kerja kelompok bareng cewek lain selain Azra?"
"Lah, memangnya kenapa? Apa ada masalah?"
"Eh? Nggak Bun," Fathan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali itu, "Fathan tadi berpikir kalau Bunda bakal nanya-nanya gitu tentang perasaaan Fathan saat ini."
"Lah, ngapain Bunda bertanya tentang perasaan kamu? Itu kan hak kamu, Nak. Kamu sudah mulai beranjak dewasa, Bunda tidak akan melarangmu untuk menyukai seseorang yang memang membuatmu nyaman. Yang terpenting adalah kamu harus tahu batasannya dan tetap melaksanakan kewajiban kamu, Fathan." ucap Fani tulus.
"Makasih ya, Bun. Udah mau ngertiin Fathan."
"Iya Sayang sama-sama, yaudah sana jemput temanmu. Udah nungguin tuh dia di rumahnya."
"Iya Bun, kalau gitu Fathan pergi dulu ya, Bun. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
***
Fathan mengendarai motornya dengan kecepatan standar. Di dalam jok motornya sudah ia siapkan helm bogo untuk Jessie yang akan naik ke motornya nanti. Sebenarnya helm itu adalah helm yang biasa dipakai oleh Azra saat jalan-jalan keliling komplek atau beli makanan saat tidak ada kerjaan. Fathan bawa saja untuk keselamatan Jessie di jalan agar tidak ditilang polisi, tidak masalah bukan?
Fathan mengikuti jalan yang sesuai dengan titik lokasi maps yang Jessie bagikan kepadanya. Jarak rumah Jessie tidak jauh juga tidak pula dekat. Bisa dikatakan standar.
Akhrinya Fathan memasuki area komplek Jessie. Motornya pun berhenti di sebuah rumah minimalis berwarna abu-abu. Fathan yakin betul kalau rumah tersebut adalah rumah milik Jessie.
Ia pun mengklakson sebanyak tiga kali.
Tin...
Tin...
Tin...
"Assalamualaikum, Jessie..."
Tidak ada respon. Fathan kembali mengklakson.
Tin...
Tin...
Tin...
Masih tidak ada respon.
"Oke, klakson sekali lagi."
Tin...
Tin...
Tin...
BRAKKKK!
Pintu rumah terbuka dengan sangat keras memperlihatkan seorang ibu-ibu berwajah garang dengan mata mengantuk. Sepertinya ia habis bangun tidur atau lebih tepatnya terbangun karena kegaduhan.
"Heh, kamu! Ngapain pagi-pagi berisik depan rumah saya, hah? Nggak lihat kalau saya lagi tidur?!" sentak ibu-ibu garang itu.
"Eh? M-Maaf, Bu, saya nggak tahu."
"Enak bener klakson rumah orang sampai sembilan kali. Tin... Tin... Tin..." ocehnya, "kalau kamu mau balapan sana di lapangan jangan di depan rumah saya!"
"I-Iya, Bu."
"Yaudah sana pergi kenapa masih di sini?"
"Saya mau jemput anak Ibu."
"Hah? Ngapain jemput anak saya?"
"Mau kerja kelompok."
"Owalah, mau kerja kelompok? Yaudah tunggu saya panggilin anak saya dulu."
"Iya, Bu."
Huft, Fathan bernapas lega.
Tak berangsur lama keluarlah ibu-ibu garang itu disertai dengan putranya yang membuat Fathan menjadi bingung. Sejak kapan Jessie berganti gender?
"Nih, anak saya." kata ibu-ibu tersebut.
"Siapa itu, Ma?" tanya remaja cowok itu bingung.
"Lah, ini temanmu! Katanya dia mau menyusul kamu untuk kerja kelompok."
"Hah? Kerja kelompok?"
"Iya. Tanya aja sama dia."
"Maaf Bro, lo siapa ya?" tanya cowok itu bingung.
"Fathan."
"Sorry, tapi gue nggak kenal lo, Bro. Kok lo bisa kenal gue?"
"Nggak tahu," kata Fathan bodoh, "gue ngikutin maps soalnya."
"Kayaknya lo salah alamat."
"Nggak kok ini benar."
"Lo cari siapa memangnya?"
"Jessie."
"Hei, Fathan! Lo salah rumah! Itu rumah orang bukan rumah gue!" terdengar suara dari belakang.
Fathan menoleh dan melihat Jessie yang dari balik jendela di depan rumah yang ia pijaki tersebut.
Jadi, Fathan salah rumah dan juga salah orang? Oh, baguslah. Suatu prestasi yang membanggakan untuk dipermalukan.
***
"Hahaha! Kok bisa sih, lo salah rumah? Lo ngantuk apa gimana?"
"Nggak tahu gue, bingung juga sih."
"Dasar Fathan! Aneh banget! Tapi gue ngakak karena itu."
"Lo ngakak gue malu."
"Ada-ada aja sih lo! Main klakson-klakson rumah orang! Bukannya chat gue dulu biar nggak salah."
"Ya mana gue tahu. Gue benar-benar malu!"
"Hahaha!"
Sekarang, Fathan sedang membonceng Jessie di belakangnya. Mereka masih membicarakan topik "salah alamat" tadi. Fathan benar-benar malu jika mengingat kejadian tadi. Bisa-bisanya ia salah alamat. Lebih parahnya lagi ia mengklakson rumah orang sampai sembilan kali. Benar-benar hari yang menjengkelkan.
Tapi tidak apa, yang penting ada bahan topik untuk pembicaraan di atas motor ini, hehe.
Fathan memberhentikan motornya di sebuah parkiran stationary. Ia dan Jessie akan membeli bahan dan alat yang akan mereka gunakan untuk membuat mading sekolah.
Jessie turun lebih dulu dibandingkan Fathan, ia terlihat sangat sibuk dengan helmnya. Helm yang dibawa Fathan dari rumahnya itu sangat susah untuk dibuka. Fathan pun menyadari akan hal itu. Tanpa berbasa-basi lebih dulu Fathan segera membantu Jessie melepaskan helmnya dengan sangat hati-hati.
Ceklek.
"Buka helm aja nggak bisa," kata Fathan pelan namun Jessie mendengarnya, "apalagi buka kaleng s**u untuk anak kita nanti." racaunya tanpa sadar.
"Hah?" beo Jessie tak peka apa maksud yang dikatakan Fathan, "lo ngomong apa tadi?"
"Hah? Ngomong apa?" Fathan pura-pura lupa.
"Kaleng s**u apa?" Jessie mengingat-ingat apa yang dikatakan Fathan.
"O-Oh, itu kaleng s**u sapi. G-Gue suka." elaknya takut ketahuan sementara Jessie hanya mengangguk-angguk saja.
"Oh gitu."
"Ya udah yuk masuk."
"Yuk."
***
Kini, Fathan dan Jessie sudah memasuki stationary store tersebut. Banyak sekali alat tulis dan berbagai perlengkapan kebutuhan kantor di sama.
Tidak hanya kebutuhan alat tulis ataupun kantor. Deretan buku juga memenuhi seluruh rak yang berada di stationary itu. Mulai dari buku novel, buku kerajinan, buku resep masakan dan lain-lain.
Fathan dan Jessie pun memasuki tempat dimana mereka akan membeli perlengkapan untuk membuat mading.
Mereka saling bekerja sama dalam membeli apa yang akan mereka butuhkan. Fathan ditugasi oleh Jessie mengambil gabus dan aksesoris atau ornamen-ornamen penghias mading. Seperti washi tape, pita kecil, glitter, sprinkle, dan lainnya.
Sedangkan Jessie memiliki tugas untuk menentukan warna spidol yang cocok untuk mading yang akan ia kerjakan bersama Fathan. Mereka benar-benar tekun dalam mencari barang yang mereka butuhkan.
"Je, ini bagus, nggak?" tanya Fathan kepada Jessie. Ia memperlihatkan pita bermotif polkadot tersebut.
"Bagus, ambil aja."
"Oke."
Setelah setengah jam mereka mengelilingi toko stationary itu akhirnya mereka selesai juga.
"Fathan," panggil Jessie.
"Iya, Je? Udah?"
Jessie mengangguk, "Udah. Ayo bayar ke kasir."
"Ayo."
Mereka pun berjalan beriringan, di saat mereka ingin berjalan menuju kasir kedua mata Fathan tiba-tiba tertuju kepada tumpukan buku diary. Lantas ia pun melangkahkan kakinya menuju tempat tersebut.
"Mau kemana, Fathan?" tanya Jessie bingung.
"Ini mau lihat diary."
"Lo suka nulis di diary?" Jessie kembali bertanya.
"Enggak sih, gue lebih suka menyimpan memori di otak. Kalau lo?"
"Gue suka nulis di diary. Tapi diary gue hilang sejak satu tahun lalu jadi gue nggak nulis lagi."
Mendengar penuturan Jessie, Fathan segera mengambil sebuah diary berwarna merah muda bergambar panda dan beruang yang sedang memegang love di tengahnya.
Ia pun memberikan diary tersebut kepada Jessie. Jessie tentu saja bingung dengan apa yang dilakukan Fathan terhadapnya.
Ia pun langsung merespon, "Apa ini?"
"Buat lo," ucap Fathan, "untuk nulis segala isi hati lo."
"Eh? Nggak usah, Than. Gue punya uang kok."
"Bukan masalah harganya. Tapi niat gue membelikannya memang untuk lo," Fathan mengambil tangan Jessie dan meletakan diary itu, "ambil ya. Jangan ditolak. Pamali."
"Eh? I-Iya." akhirnya Jessie menerima diary tersebut.
Mereka pun segera pergi menuju kasir lalu membayar barang belanjaan itu.
Sesampainya di kasir, mereka harus menunggu lebih lama dari biasanya. Ya, mereka harus mengantre. Banyak sekali orang-orang yang sedang belanja kebutuhan stationary pada saat yang bersamaan itu.
Fathan melihat Jessie sepertinya kelelahan. Jessie menunduk sembari memainkan jemarinya untuk mengatasi kebosanan yang terjadi pada dirinya.
Fathan sudah bisa menebak kalau Jessie lelah berdiri menunggu antrean. Ia memutar otaknya berusaha mencari tempat duduk yang kosong. Namun sayangnya tidak ada, Fathan memutuskan untuk izin pergi kepada Jessie dengan alasan pergi ke toilet. Padahal bukan, niatnya hanya ingin mencari tempat duduk untuk Jessie.
Akhrinya, Fathan menemukan seorang anak berumur sekitar 8 tahun yang sedang duduk sendirian.
Ia pun langsung mendekatinya dan berkata, "Boleh pergi?"
"Hah?" bingung anak tersebut.
"Iya, lo boleh pergi?"
"Maksudnya?"
"Lo pergi jangan duduk di sini."
"Lah, kok ngatur?"
Fathan mengeluarkan uangnya dari dalam dompetnya. Ia menyodorkan selembar uang berwarna merah kepada anak tersebut.
"Mau nggak?"
"Mau lah."
"Ada syaratnya tapi."
"Syarat? Syarat apa memangnya?"
"Lo harus pergi."
"Yaudah, sini uangnya." anak itupun mengambil uang Fathan dan langsung bergegas pergi dari sana. Fathan tersenyum lebar, ia pun segera menghampiri Jessie.
"Je,"
"Iya?"
"Udah ada tempat duduk yang kosong tuh."
"Dimana?"
"Di sana," Fathan menunjuk tempat duduk yang kosong tersebut, "sana duduk. Gue aja yang antre lo tinggal duduk aja biar nggak capek."
"Nggak ah, nggak sopan namanya gue kalau kayak gitu."
"Sopan kok. Orang gue yang minta bukan lo."
"Nggak mau."
"Udah sana Je, duduk. Sini belanjaannya." tanpa persetujuan dari Jessie, Fathan segera mengambil barang belanjaan stationary tersebut.
"Ih, Fathan!"
"Duduk sana!"
"Tapi lo-nya kayak mana?"
"Udah nggak usah mikirin gue. Buruan tuh nanti ditempatin orang lagi kursinya."
"Yaudah, gue duduk ya."
"Iya, Jessie."
Jessie pun berjalan menuju tempat duduk yang Fathan suruh. Namun baru beberapa langkah ia kembali lagi menghampiri Fathan.
"Fathan,"
"Lah, lo ngapain ke sini lagi, Je?"
"Gue nggak enak sama lo."
"Ya Allah, Jessie! Santai aja sama gue jangan terlalu overthinking gitu. Udah sana duduk!" suruh Fathan.
"Yaudah deh."
Jessie pun kembali berbalik arah untuk duduk di tempat yang Fathan katakan. Dari kejauhan ia memandang Fathan yang sedang mengantre.
Fathan sangat baik padanya. Fathan tahu perasaannya dan segalanya tentang Jessie. Baru kali ini Jessie merasakan kehangatan dari seorang teman. Ya, ia memang sangat pendiam jika temannya tidak satu server dengannya. Berbeda dengan Fathan, Jessie bisa lebih banyak bicara dan mengekspresikan apa yang dia katakan dan lihat.
Namun Jessie teringat akan satu hal yang baru saja Fathan katakan padanya.
"Ya Allah, Jessie! Santai aja sama gue jangan terlalu overthinking gitu. Udah sana duduk!" suruh Fathan.
Jessie tersenyum mengingat apa yang Fathan katakan. Kenapa rasa nyaman ini harus datang pada orang yang bukan seiman dengannya?
Jessie pun membatin di dalam hatinya, "Ya Tuhan, bolehkah aku mencintainya walau kami berbeda?"
***