Part 1

1922 Words
Flashback. Bandung, 12 November 2001. "ARGHHHH..." "Shhh..." "Sakit..." "Tolong..." Dari dalam bilik rumah kontrakan terdengar suara seorang wanita berteriak kesakitan. Rintihan suara yang tadinya teredam akhirnya pecah begitu saja saat perutnya tiba-tiba merasakan sakit yang amat sangat.  Ditambah lagi dengan pecahnya air ketuban sang wanita. Wanita itu terkejut bukan main saat melihat tetesan air yang membasahi rok panjangnya hingga mengenai mata kakinya. Ia kembali menangis dan berteriak sekencang mungkin memanggil siapapun yang berada di rumah itu. Akan tetapi sayangnya tidak ada satupun orang yang berada di rumah itu. Sang suami sedang pergi mencari nafkah. Hanya ialah seorang diri yang berada di sana ditemani rasa sakit yang sangat hebat sekali. "S-SAKIT..." "TOLONG BANTU SAYA KE RUMAH SAKIT!" "MAS, TOLONG SAYA INGIN MELAHIRKAN!" "TOLONG SAYA SIAPAPUN YANG BERADA DI SINI..." "ARGHHHH!" Wanita itu terlihat semakin panik saat melihat rok panjangnya membentuk sebuah peta yang sangat besar dikarenakan air ketubannya yang sepersekian detik bertambah banyak. Sungguh ia tidak sanggup merasakannya. "S-sabar ya Nak, hari ini kamu pasti bisa melihat dunia kok. T-tunggu Ayahmu pulang ya, Sayang." ucap wanita itu entah kepada siapa seraya memegangi perutnya yang sedang diambang kesakitan. Wanita itu terus menunggu dan menunggu sang suami yang tak kunjung juga datang. Yang hanya ia bisa hanyalah berteriak meminta pertolongan kepada tetangga ataupun orang-orang di sekitarnya akan tetapi tidak ada yang mendengarnya.  Menelepon sang suami? Tidak. Ia tidak punya ponsel. Wanita itu tidak memiliki ponsel dikarenakan kondisi ekonominya yang terbilang lemah, bahkan untuk makan saja susah. Wanita itu mencoba berdiri sebisa mungkin untuk keluar dari rumahnya untuk meminta pertolongan kepada masyarakat sekitar. Pelan-pelan namun pasti ia menginjakkan kakinya di lantai. Napasnya mulai tidak beraturan akan tetapi ia tetap memaksa tubuhnya berjalan keluar. Dengan bantuan kaki kanan, ia menggiring kaki kirinya yang kram. Di perutnya ia membawa sang jabang bayi yang sedang ia pertaruhkan nyawanya demi keselamatan putrinya. Ia tidak ingin Tuhan mencabut nyawanya sebelum ia keluarkan sang bayi dari rahimnya. Ia ingin anaknya melihat indahnya dunia ini. Melihat langit yang menurunkan hujan yang menyejukkan ataupun melihat matahari terbenam yang sangat memanjakan panca indera. "Arggh," rintih wanita itu tetapi ia tetap berjalan maju, "kamu harus bisa. Kamu bisa." kata wanita itu menyemangati dirinya sendiri. Hingga tibalah ia di depan pintu. Tangan wanita itu mulai meraih handle pintu yang berada di depan matanya.  Brukkkkk! Tiba-tiba saja wanita itu jatuh tersungkur ke lantai. Belum sempat ia membuka pintu tubuhnya mulai ambruk lebih dulu.  "S-sakit..." lirihnya. Air ketubannya semakin bertambah banyak membasahi lantai. Ditambah lagi dengan darah yang tiba-tiba keluar begitu saja. Kondisi wanita itu semakin sekarat. Ia tidak dapat lagi berdiri karena sudah tak sanggup menopang tubuhnya yang sudah lemah. Bahkan untuk berteriak meminta bantuan pun ia sudah tak bisa mengeluarkan sepatah kata apapun. Benar-benar ia tak tahu lagi ingin berbuat apa. Ia hanya bisa berdoa meminta kepada Tuhan untuk tidak mengambil nyawa anaknya. Jikalau memang Tuhan ingin mengambil nyawa anaknya, wanita itu ingin menggantinya dengan dirinya sahaja. Ia tidak mau jika sang anak pergi. Lebih baik ia saja yang pergi dari bumi. "Ya Allah, tolong hambamu ini. Jika engkau memang ingin mengambil nyawa anakku tolong jangan ambil nyawanya. Ambil saja nyawaku untuk kehidupannya. Aku ikhlas, sangat ikhlas." ujar wanita itu dengan bibir yang gemetar hebat. Tak lama dari itu pintu terbuka. Terlihat sang suami yang nampak kebingungan sekaligus terkejut melihat pemandangan yang berada di depan matanya. Ya, kondisi sang istri yang sedang sekarat. "Ya ampun, Rani! Kenapa kamu bisa begini?!" katanya histeris. "T-Tolong aku, M-Mas." jawab wanita itu meskipun sakit. Tanpa lama-lama, suami Rani yang bernama Anton itu segera membopong istrinya menuju rumah sakit.  Karena tidak mempunyai biaya untuk menyewa ambulan atau sejenisnya. Anton jalan kaki ke rumah sakit tujuannya untuk persalinan sang istri yang ia bopong tubuhnya di pundaknya.  "Sabar ya, Rani. Ini kita mau ke rumah sakit kok." kata Anton menenangkan. Sementara Rani hanya mengangguk-angguk saja dengan mata yang menyipit. Beruntung saja di tengah jalan sebuah mobil berhenti menghalangi jalan Anton. Anton terlihat kebingungan saat melihat mobil berwarna putih susu itu tiba-tiba berhenti dan menghalangi perjalanannya. Dan ternyata sang pemilik mobil itu adalah tetangganya sendiri yang bernama Farid dan Fani yaitu tetangga di depan rumahnya. "Astaga, kenapa istrimu, Anton?" tanya Farid. "Mau melahirkan, Pak," balas Anton tergesa-gesa, "yaudah ya, Pak. Saya mau jalan dulu ke rumah sakit." "Eh, ngapain jalan mendingan langsung naik aja, Anton. Yuk kami antarkan." timpal Fani, istri Farid. "Eh? Tidak usah, Bu. Merepotkan saja. Saya bisa kok jalan sendiri." "Hei, itu istrimu sedang sekarat kok malah nggak mau. Ayo naik sini!"  "Apa nggak merepotkan, Bu?" "Sudah-sudah lagi nggak usah gengsi! Ayo cepat naik, Anton. Kasihan itu istrimu sedang sekarat!" tukas Farid. "Oh, iya Pak, baik." jawab Anton yang langsung membopong istrinya masuk ke dalam mobil Farid. *** Sekarang, Anton, Farid, dan Fani sedang berada di ruang tunggu. Mereka sedang menunggu Rani melahirkan sang jabang bayi. Sejak tadi Anton sudah sangat merasa resah tentang kesehatan Rani. Anton hanya bisa banyak-banyak berdoa kepada Tuhan agar istrinya dapat melahirkan dengan lancar tanpa kendala sedikitpun. "Sudah tidak apa-apa. Rani pasti bisa kok. Kamu harus yakin, Anton." ujar Farid. "Iya, Pak." Setelah menunggu beberapa waktu lamanya, pintu UGD terbuka lebar menampilkan seorang dokter yang diikuti dengan dua perawat di sampingnya. Antok segera berdiri dan menanyakan kesehatan sang istri kepada dokter tersebut. "Dok, bagaimana kesehatan istri saya? Dia tidak apa-apa kan, Dok? Bagaimana dengan kondisi bayi saya?" tanya Anton dengan nada yang menggebu-gebu. "Alhamdulillah bayi Pak Anton sehat." jawab sang dokter dengan senyuman yang terlihat membingungkan. "Istri saya bagaimana, Dok?" Dokter itu tiba-tiba terdiam. Ia   bingung ingin mengatakan apa. Akan tetapi memang itu sudah menjadi prosedurnya bahwa ia harus mengatakan hal tersebut kepada keluarga pasien. "Maaf Pak, sebenarnya saya tidak tega mengatakan hal ini tapi apa boleh buat," dokter itu menghela napasnya pelan, "dengan berat hati saya menyatakan bahwa istri bapak telah pergi." Deg! Seketika itu juga dunia Anton mendadak runtuh seketika saat mendengar kabar tak mengenakkan itu. Antara senang atau sedih Anton tak mengerti tentang nasibnya. Di sisi lain sang bayi berhasil selamat dan sehat. Di sisi lain juga sang istri pergi dari sisinya. *** Waktu terus berlalu, mempersingkat jarak diantara kehidupan. Sepeninggal Rani, Anton hidup bersama putri kecilnya yang ia beri nama Azra.  Anton sangat menyayangi Azra dengan sepenuh kasihnya. Ia bekerja keras demi memenuhi kebutuhan bayinya itu. Ditinggal sang istri pergi Memanglah tak semudah yang Anton bayangkan. Di fase itu ia benar-benar sangat rapuh. Ia hanya hidup berdua dengan anaknya saja. Impian yang ia dambakan memiliki keluarga kecil ternyata harus musnah dikalahkan oleh takdir semesta.  Mau bagaimana lagi mungkin itu sudah garis takdirnya. Anton juga tidak bisa memaksa semesta untuk mengubah segalanya.   Di depan teras rumahnya, Anton sedang menggendong putri kecilnya itu yang masih balita. Sesekali Anton melemparkan lelucon lucu kepadanya hanya untuk membuat sang putri tertawa dengan tingkahnya yang sebenarnya dapat dikatakan absurd. Di saat ia sedang bercanda tiba-tiba saja Anton terjatuh seketika itu juga. Tubuhnya jatuh menabrak lantai teras rumahnya. Azra yang sedang Anton gendong itupun juga ikut terjatuh. Mata Anton mulai menutup di detik yang bersamaan. Anton tidak dapat melihat dunia kembali. Anton tidak dapat mengurus Azra lagi, dan yang lebih menyedihkan lagi dunia Anton sudah berbeda dengan dunia sang putri. Ya, Anton terkena stroke dan meninggal dunia. Para tetangga yang melihat Anton tiba-tiba ambruk begitu saja segera menghampiri Anton. Tidak lupa pula mereka menolong Azra yang masih balita itu. Azra kecil menangis sejadi-jadinya akibat benturan lantai yang ia rasakan. Saat Anton dibawa ke rumah sakit. Dokter segera mendiagnosis bahwa Anton sudah pergi dari dunia. Nasib Azra benar-benar sangat memperihatinkan. Belum lama ia ditinggal sang ibu sekarang sudah ditinggal sang ayah. Para tetangga mulai kebingungan tentang siapa yang akan mengadopsi Azra. Mereka berdiskusi dan sepakat kalau Azra akan mereka bawa sekaligus mereka titipkan di panti asuhan.  "Jadi, bagaimana dengan bayi kecil ini?" ucap seorang lelaki paruh baya, "apa kalian ada yang ingin mengurusnya?" "Aku ingin sekali mengurusnya tapi anakku juga sudah banyak. Butuh biaya untuk mengurus anak. Apalagi anak ini masih bayi." jawab yang lainnya. "Apakah ada pendapat yang lain?" "..." "Bagaimana denganmu, Mischa? Kau belum memiliki anak bukan?" "Aku sedang mengandung anakku. Aku tidak bisa mengurusnya." "Yaudah, kalau tidak ada yang bisa mengurus bayi ini kita bawa saja ke panti asuhan. Apa kalian setuju?" "Ya, itu hal yang bagus. Daripada tidak ada yang merawatnya. Lebih baik ia dititipkan di sana." "Baiklah." "Ayo pergi." Di saat mereka ingin membawa Azra ke panti. Kedua manusia baik  langsung menghalangi mereka. Mereka adalah Fani dan Farid, tetangga depan rumah Anton.  "Hei, tunggu!" tegur Fani. "Ada apa Bu Fani?" "Jangan bawa bayi itu ke panti asuhan." "Kenapa?" "Saya dan suami saya akan mengurusnya dan membiayayai segala kebutuhannya. Terlebih lagi kami juga mempunyai putra kecil yang bisa dijadikan kakak oleh bayi itu." ujar Fani meminta. Ia tak tega melihat bayi Malang itu dilepas begitu saja. Fani membayangkan bayi tersebut adalah putra kecilnya yang bernama Fathan. Ia tidak tega bila melihat Fathan bernasib demikian. Maka dari itu ia memutuskan untuk merawat Azra kecil dan menempatkannya untuk tinggal di rumahnya. "Oh, baiklah kalau begitu." *** Setibanya Fani dan Farid di rumah. Mereka langsung memanggil tukang untuk membuat kamar yang akan mereka gunakan sebagai kamar tidur Azra. Fani dan Farid sangat baik dan royal kepada Azra kecil. Bahkan mereka sudah menganggap Azra sebagai anak mereka sendiri. Meski Fani dan Farid memiliki anak mereka tidak membeda-bedakan antara Fathan dengan Azra. Mereka membagi kasih sayangnya dengan sama rata. Tidak berbeda sama sekali. Karena menurut mereka itu adalah sebuah anugerah dari Tuhan yang maha kuasa. Dan mereka tidak mau menyianyiakan kesempatan emas itu untuk mengurusi anak-anaknya.  *** Semesta bekerja dengan sendirinya. Matahari berputar mengikuti porosnya. Air mengalir dengan derasnya. Semua kejadian terus berputar mengikuti alur sang maha kuasa. Fathan dan Azra menginjak usia balita. Kurang lebih Fathan berumur lima tahun sedangkan Azra berusia empat tahun. Mereka terpaut umur satu tahun berbeda. Yang pastinya Fathan lebih tua dibandingkan Azra. Di umur mereka yang sudah menginjak balita. Sifat kedua individu itu mulai terlihat. Tidak. Bukan sama, melainkan berbeda drastis. Fathan cenderung lebih pendiam dan Azra bisa dikatakan hiperaktif. Akan tetapi meskipun sifat mereka berbeda, Fathan dan Azra suka bermain bersama. Seperti bermain kejar-kejaran atau bermain masak-masakan. Azra kecil selalu meminta Fathan untuk bermain. Fathan yang sejak kecilnya memang pendiam dan malas menolak karena terlalu melelahkan pikiran akhirnya mengiyakan ajakannya. Ya, meskipun Azra di sini yang bisa dibilang paling cerewet tapi tidak masalah bagi Fathan.   "Fathan! Ayo main masak-masakkan!" ajak Azra kepada Fathan. "Ngg—" "Ndak boleh bilang 'ndak' loh! Awas aja!" kata Azra kecil memaksa. Wajahnya yang bulat membuat kesan cute pada diri balita itu. "Aneh!" cetus Fathan. "Ndak aneh lah! Pokoknya ayo main masak-masakkan!" "Yaudah." balas Fathan memelas. "Nah, gitu dong! Itu namanya balu temen Ajla!" kata Azra bangga. Ia belum bisa menyebutkan huruf "R" karena masih belia. Dengan mata menyipit Fathan hanya bisa mengangguk mengiyakan apa yang Azra kecil minta. "Iya-iya." ucapnya mengalah. "Ayo main!" "Yuk." Azra dan Fathan kecil pun bermain masak-masakkan. Azra yang jadi kokinya dan Fathan yang jadi pembelinya. Dengan daun-daun kecil Azra membuatnya menjadi piring. Ia memasukkan rumput-rumput ke dalam piring itu seolah bertingkah sebagai makanan asli sungguhan. "Mau pakai cabe ndak?"  "Ndak." "Kenapa?" "Males." "Males apa?" "Males main." "Ih, ndak boleh gitu! Fathan halus main sama Ajla!"  "Mau bobo. Ngantuk." "Besok aja bobonya! Sekalang kita main aja!" Tadinya Fathan ingin menolak tapi ia sudah ingat jika Azra tidak bisa ditolak. Memang anak itu sangat manja sekali. Fathan hanya bisa menuruti apa yang Azra katakan.  "Nah, ini udah jadi masakannya! Sekalang Fathan makan ya!"  "Sekalang?" "Iya." "Makannya bohongan kan?" "Kalo Fathan mau benelan juga ndak apa-apa. Paling nanti Fathan pingsan kelacunan (keracunan)." "Ndak mau!" "Ndak apa-apa seru!" Tokkkk! Fathan mengetuk kepala Azra. Azra ini ada-ada saja. Yang benar saja ia akan memakan masakan dari rumput liar.  "Ih, sakit tau, Fathan!" kesal Azra. "Bialin aja!" "Fathan mulai nakal ya sekalang!" "Suka-suka." Tokkkk! Azra membalas Fathan. Ia mengetuk kepala Fathan dengan mudahnya. Fathan pun tidak terima. Jelas saja ia kembali membalas perbuatan Azra. Tokkkk! Kedua anak itu saling ketuk-mengetuk. Hingga akhirnya mereka memutuskan untuk bermain lari-larian di sekitar pekarangan rumah. Fani dan Farid yang melihat hal seperti itu hanya bisa menggelengkan kepala mereka masing-masing.  "Lucu ya, Mas." ucap Fani kepada Farid. "Siapa?" "Mereka." "Oh, kirain aku." "Kamu juga manis kok." "Masa?" "Iya." "Kamu juga cantik." Fani tersenyum dan mencubit lengan Farid. "Kamu ini ada-ada aja." "Fani." "Iya, Mas?" "Meskipun Azra udah tahu kalau kita bukan orangtua kandungnya, kita harus tetap sayang sama Azra ya. Anggap Azra anak kita sendiri." "Pasti Mas, aku udah menganggap Azra anak kita sendiri." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD