ONE

1369 Words
Aku berjalan mengarungi koridor kampus. Berselisihan dengan mahasiswa lainnya yang membagi senyum padaku. Aku membalas senyum mereka dan menyapa mereka. Yep! Begitulah aku. Aku dikenal sebagai cewek dengan predikat ramah. Aku selalu tersenyum pada semua orang. Walaupun aku kurang sreg dengan beberapa orang, tetapi tidak membuat pengecualian untuk membagi senyumku pada mereka. Kehidupanku bisa dikatakan sempurna. Mempunyai orang tua lengkap yang menyayangiku walaupun mereka jarang di rumah. Kecuali weekend. Mereka workaholic, namun tetap memberiku kasih sayang berlimpah. Aku tinggal di daerah Senayan. Orang tuaku berpenghasilan menengah ke atas, tidak kaya, tidak juga kekurangan. Kami hidup berkecukupan. Aku anak tunggal, tidak heran jika orang tua memanjakanku. Aku mempunyai banyak teman. Namun hanya satu sahabat tercantikku sedari kecil, Sabrina. Kami selalu satu sekolah hingga kami duduk di bangku sekolah menengah atas. Kini kami terpisah walaupun masih satu universitas, namun berbeda fakultas. Sabrina termasuk jajaran anak gaul Jakarta. Orang-orang yang seumuran dengan kami pasti tahu dengan Sabrina karena dia adalah seorang model. Lalu apa lagi? Ah, ya. Pacar. Aku mempunyai pacar, namanya Donny yang notabene adalah salah satu cowok tenar di kampusku. Aku sudah berpacaran dengan Donny di bulan kelima. Bagaimana bisa dia menjadi pacarku? Aku juga bingung. Donny memintaku menjadi pacarnya di pesta tahun baru kampus. Aku juga menyukainya karena ia sangat tampan. Jadi, ya... begitulah. Aku berpacaran dengannya. Aku berjalan menuju ruang BEM, berhubung pacarku adalah salah satu anggotanya. Dengan menenteng sekotak sandwich yang kubuat dari rumah untuknya, aku berharap ini akan menjadi kejutan yang menyenangkan. Aku sengaja mengunjunginya tanpa memberi tahunya. Biasanya aku selalu mengirim pesan terlebih dahulu jika ingin menemuinya. Lima belas meter sebelum aku tiba di ruang BEM, seseorang menyapaku. "Oh, Gizelle, mau ketemu Donny ya?" Budi. Kakak senior, Ketua BEM. Aku harus mendongak dulu untuk berbicara dengannya. Badannya yang sangat tinggi. "Iya, Kak. Donnynya ada?" Budi mengangguk. "Masuk aja. Tadi Donny ada di dalam. Gue duluan ya, bye...." Aku memberi senyumku padanya. "Bye." Aku tiba di depan ruang BEM, membuka pintu pelan-pelan. Ingin mengagetkan Donny. Aku masuk diam-diam dengan kaki berjinjit. Namun langkahku terhenti saatku mendengar.... "Ah... Donny... Ahhh...." What the fuck is going on! Dengan segala rasa penasaran yang menggerogoti hatiku, aku mengikuti arah suara desahan aneh itu. Jantungku berdebar sangat cepat. Aku mendengar suara aneh itu lagi. Terus mengikuti sumber suara yang lama-kelamaan mencabik-cabik hatiku. I saw Donny fucking his BEM partner in the BEM room. Di depan mata kepalaku sendiri. GODDAMNIT! Aku mengenal suara cewek itu. Tia. Cewek yang mengklaim dirinya tercantik dan terkaya di kampus. Walaupun posisi mereka tengah membelakangiku. Aku benar-benar yakin, cewek yang tengah bercumbu dan bercinta dengan tidak senonoh itu adalah Tia. "DONNY!!" Teriakanku membuat mereka tersentak. Donny melepaskan diri dari Tia dan segera memasang celananya. "Gizelle?" Donny menatapku horor. "Giz, aku bisa jelasin semuanya. Ini salah paham." Aku menangis. Tentu saja. Air mataku merembes keluar dari pelupuk mataku. Aku segera memutuskannya tanpa pikir panjang. "Shut your rotten mouth, Donny. I hate you! We are over!" Kulihat Tia sudah berpakaian lengkap. Ia memeluk Donny. "Bagus deh kalo lo putusin dia. Jadi sekarang kita nggak perlu backstreet lagi, ya kan sayang?" Donny gugup. Ia hanya diam tidak mengeluarkan suara. "Wow! So.. You already backstabbing me, Donny?! What a surprise!" Oh, geez, jadi Donny sudah mengkhianatiku selama ini... Ya Tuhan, ini benar-benar memilukan. Aku hanya mampu menatap kosong ke arah Donny dan selingkuhannya. "Gizelle...." Donny mencoba bicara, namun segera kupotong dengan mengangkat kedua tanganku. Tidak ingin mendengar apapun darinya. "You know what? I'm done!" Aku melempar kotak berisi sandwich itu ke arahnya. Membuat kotak itu terjatuh di lantai dan roti-roti itu berhamburan. Aku membalikkan badanku dan membawa kakiku keluar dari ruangan terkutuk itu. *** Hingar-bingar dan hentakkan musik menusuk telingaku. Aku ditarik masuk ke dalam sebuah Club oleh Sabrina. Tempat ini dipenuhi oleh orang-orang. Aku melihat banyak orang berkumpul di bawah--sebuah lantai yang menjorok ke bawah--menari disana. Mungkin itu yang disebut dance floor. Aku tidak familiar dengan tempat seperti ini. Tentu saja aku adalah cewek rumahan yang setiap malam tidur tepat jam sebelas malam. Rutin. Berbeda dengan sahabatku yang super gaul ini. Tentu saja, ini adalah dunia glamournya. "Fuck that Donny! I knew that he will hurt you, honey! Just forget about him and feel this night with me!" Ia harus berteriak agar aku mendengar suaranya. Musik di tempat ini benar-benar memekakkan telinga. Sabrina dan aku terus di depan bar. Ia memesan minuman. Talking to the bartender with her flirty way. Aku tidak tahu Sabrina memesankanku minuman apa. Aku tidak terlalu peduli. Yang kuinginkan adalah melupakan sang mantan. Aku mengedarkan pandanganku ke segala arah. Merekam segala aktifitas dunia malam yang hectic. Dap! Mataku terhenti pada satu orang asing yang tengah memperhatikanku. Tidak salah lagi. Aku menoleh ke kiri dan kananku, bahkan ke belakangku. Tidak ada orang lain selain diriku. Aku kembali melihatnya. Masih terfokus padaku. Saat aku benar-benar yakin bahwa ia tengah menatapku lekat, ia menyunggingkan senyuman. Rambutnya agak kemerahan... mungkin. Aku tidak yakin karena tempatnya berdiri agak gelap. "Nih!" Sabrina berteriak di sampingku, membuatku menoleh dan menRaihankan pandangan mataku pada sahabatku itu. Ia menyodorkanku segelas minuman dengan cairan berwarna cokelat bening. Minuman mengandung alkohol. Tentu saja. Sabrina meraih sesuatu dari dalam branya. Mengeluarkan satu botol kecil berisi tablet-tablet berdiameter lima milimeter dari dalamnya. Ia mengeluarkan dua tablet dari botolnya. Sabrina menaruh satu tablet itu ke telapak tanganku. Ia meminum miliknya dan menghabiskan minumannya dalam satu tenggakkan. Aku masih mengamatinya. Bingung. "Ayo tunggu apa lagi? Buruan diminum!" Aku tergagap. "S-sab, gue... gue nggak berani mi-" "Lo tenang aja, nggak bikin nagih kok! Cuma bikin lo lebih rileks aja. Udah buruan diminum!" Sabrina mulai menggoyang-goyangkan kepalanya. Merasakan efek obat yang diminumnya. Aku menarik napas. Memantapkan diri. Baiklah, hanya malam ini. Aku akan melupakan Donny! Fuck you, you twat! Aku memasukkan tablet kecil itu masuk ke mulutku. Menenggak alkohol yang ada di gelasku. Rasa pahit memenuhi mulut dan tenggorokkanku. Walaupun aku tidak asing dengan alkohol, namun aku tidak pernah meminum minuman yang memiliki kadar alkohol lebih dari tiga puluh persen seperti ini, hanya sebatas bir dan soju saja cukup membuat wajahku merah. Dengan susah payah aku menelannya. "Nice! Sekarang kita nikmati malam ini!" seru Sabrina. Sabrina menarikku ke tempat di mana orang-orang sedang menari mengiringi musik. Kami berada di tengah. Sabrina sudah memulai gerakannya sedari tadi. Kepalaku mulai terasa melayang. Aku mulai menggoyangkan pinggul dan kepalaku tak beraturan. Merasakan kerja obat itu. Merasakan musik yang mengalir liar di gendang telingaku. Aku mengibaskan rambut panjangku yang terurai. Aku meraih bahu Sabrina, menari bersamanya. Sabrina tertawa dan bersorak. Kami tertawa. "WOO!" "FUCK YOU, DON!" Aku berteriak. Meneriakkan isi hatiku, membuat Sabrina terbahak. Saat aku merasa terbang semakin tinggi, aku merasakan sebuah tangan berjalan di pinggulku. Tubuhku refleks terkejut. Memekik sambil tertawa geli tanpa terus hanyut dalam hentakkan musik. I don't care. Aku tetap menggoyangkan tubuhku. Tidak peduli dengan tangan yang bertengger di pinggulku. Kulihat Sabrina menari bersama laki-laki di sampingnya. Oh, dia sudah mendapatkan pasangannya. Baiklah, aku juga harus mendapatkan pasangan dansa. Aku memutar tubuhku ke arah pemilik tangan secara tiba-tiba. Membuat tubuhku dan tubuhnya bertabrakan, namun tangannya yang berada di pinggulku menyeimbangkanku. Membuatku berada di pelukannya. Wajahku tenggelam di dadanya, membuatku bernapas disana, menghirup aroma khas tubuhnya. Seperti percampuran antara kopi dan tembakau. Kami masih bergerak liar mengikuti irama musik. Aku meletakkan kedua tanganku di dada bidangnya. Aku dapat merasakan tubuhnya yang well-toned dari balik pakaian yang menutup kulitnya. Aku mengangkat kepalaku untuk menatap wajahnya. Pria itu. Pria yang menatapku lekat tadi. Pria yang memperhatikanku dari ujung rambut hingga ujung kaki tadi. Pria ini tidak terlalu tinggi, namun tidak terlalu pendek pula. Yang jelas ia lebih tinggi dariku. A smirk planted on his face. Membuatnya semakin tampan, attractive, sexy as fuck. He was definition of hot guy. Holy moly! Cowok ini seksi banget! Kurasakan tangan kanannya mengelus lembut pinggul dan pinggangku. Membuatku merinding. Tangan kirinya terletak di pipi kananku. Aku terbuai oleh sentuhannya. Wajah kami sangat dekat. Mata kami bertaut. Tatapan matanya menghisap jiwaku perlahan. Senyumnya sudah lama hilang saat menatap mataku. Raut wajahnya sangat serius. Bibir kami hampir bersentuhan hingga aku dapat merasakan karbon dioksida yang ia hembuskan di permukaan bibirku. Tiba-tiba ia menarikku. Melangkah keluar dari basement. Genggamannya sangat erat namun tidak menyakiti lenganku. Ia membawaku ke salah satu sudut ruangan. Mengurungku diantara dinding dan tubuhnya. His sexy plump lips wrapped mine.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD