“Bunda kok enggak bilang kalau sakitnya Bunda udah separah itu?” tanyaku ketika mengantar potongan buah apel untuk cemilan. Bunda sudah pulang dari rumah sakit, tetapi dalam beberapa hari kedepan masih perlu kontrol rutin. “Bunda jujur pun kamu akan ngira kalau Bunda lagi ngancem biar kamu mau sama Kian. Iya atau iya, Fi?” Aku terdiam. Aku mengambil satu potong buah apel, lalu meringis. “Hehe …” Bunda benar. Sepertinya aku memang harus menghadapi hal seperti sore itu agar percaya kalau Bunda betul-betul sakit. Jika tidak, aku pasti masih akan menganggap penyakit Bunda sekadar digunakan untuk mengancamku. “Yang sakit, tapi panjang umur, banyak. Yang sehat, tiba-tiba meninggal, banyak. Yang sakit karena emang tanda umur enggak panjang lagi, juga banyak. Bunda enggak tahu masuk daftar yan