Melihat Kak Ani dimarahi oleh Kak Rama, hatiku menjadi panas, ditambah lagi Kak Amel tertawa puas melihat Kak Ani sedih, semakin membuatku murka dan berambisi untuk membalas perlakuan licik kak Amel.
Tanpa memperdulikan keangkuhan Kak Rama aku berkacak pinggang di hadapannya, kan kubela kakak kandungku sampai akhir masa, jangankan Kak Amel, aku rela bertengkar dengan Kak Rama jika diperlukan! Aku tidak takut, Kak Ani adalah kakakku, tak cukup dengan itu beliau juga pengganti ibuku, kalau dia sedih, maka aku juga akan sedih, sebaliknya jika dia bahagia, maka aku juga akan bahagia.
"Cukup!! Apa kau tidak bisa diam?! Singkirkan kopi buatanmu itu dari Kak, Rama!! Uh!!" ucapku membanting gelas yang ada di tangan kak Amel. Karnanya, kopinya jadi jatuh ke lantai dan hancur berantakan.
"Anna!! Kau benar-benar keterlaluan!! Beraninya membuang kopi yang aku suguhkan buat Rama!! Kurang ajar!!" maki Kak Amel, kesal.
"Terserah!! Siapa suruh kau menyakiti, Kak Ani!!" balasku tidak takut.
"Siapa yang menyakiti, Ani?! Dasar kakakmu saja yang tidak tahu diri!!" ejek Kak Amel, membuatku semakin emosi.
"Keterlaluan!! Kujambak, Kau!!" ucapku hendak menjambak rambut kak Amel tapi kak Rama keburu menghentikan.
"Sudah cukup!! Sekali tidak tetap tidak, Anna!! Biarkan Alice kembali ke tempat asalnya," ucap Kak Rama, membuatku semakin terluka.
"Baiklah, kau membela Kak Amel, bukan?! Silahkan!" tekanku kesal.
"Aku tidak membela siapapun, yang pasti, aku tidak mau punya bayi kalau bukan dari darah dagingku sendiri," ucap Kak Rama, membuat keangkuhan Kak Amel semakin menjadi-jadi.
"Terserah!! Jika kau tidak mau menuruti permintaan, Kak Ani! Aku akan pergi!!" protesku tersulut emosi. "Lagipula suami macam apa kau ini?! Tidak menuruti permintaan, Kak Ani?! Miris sekali! Bukannya mendukung istrinya malah mendukung keputusan kak Amel?! Memangnya siapa dia?! Keterlaluan!!" ucapku tajam, bahkan sarat akan kekecewaan.
"Anna, sudah! Tidak apa-apa, Sayang," lirih kak Ani, tidak enak kepada kak Rama.
"Tapi, Kak ... Kak Rama sudah tidak adil kepada, Kakak! Aku tidak suka," bantahku sambil berdiri dan ingin membawa Alice keluar.
Hatiku benar-benar tidak tahan, sangat sakit hingga ingin rasanya aku menangis.
"Anna, tunggu!" ucap kak Rama, menghentikanku.
Aku berhenti dan menatap matanya dengan kesal. Kak Ani berdiri dan mengambil Alice dari gendonganku.
"Kemarilah!" panggil kak Rama, dengan suara beratnya yang khas.
"Tidak mau!!" bantahku sebal.
"Anna," Kak Rama terus memaksa.
"Baiklah!! Ada apa?" tanyaku sambil mendekat ke arah Kak Rama.
"Kemarilah!" panggilnya lagi, berubah lembut.
Karna malas berdebat aku mendekat kepadanya meskipun kesal. Kak Rama menarik badanku dan setelah dekat dengannya, dia mendudukkanku di pangkuannya, menghadap dirinya. Memang saat itu usiaku masih remaja, masih manja-manjanya, terlebih lagi pada kakak dan suaminya, merekalah orangtuaku setelah kepergian Ibu.
Setelah dipangku Kak Rama, Kak Amel menyingkir dari dekat kak Rama dengan kesal. "Keterlaluan!" gumamnya geram. "Apa kau terbiasa manja seperti ini?!" makinya dengan muka merah padam.
Tanpa memperdulikan amarahnya, Kak Rama menatap mataku dan membelai pipiku lembut. "Apakah kau menyukai Alice?" tanya-nya penuh perasaan.
Aku menggangguk sambil memainkan kancing kemejanya. Kak Rama mengusap rambutku dan mengecup keningku dengan penuh kelembutan.
"Baiklah, Ani. Kau bisa merawat Alice, Aku mengizinkannya," ucap kak Rama membuat mata kak Ani dan mataku berbinar bahagia.
"Benarkah, Suamiku?!" seru Kak Ani, memastikan pendengarannya. Dia sempat tidak percaya tapi akhirnya bahagia.
"Tentu saja, Ani. Kau istriku, dan aku mendukung keputusanmu," ucap kak Rama, tampak lega menatap senyumanku.
"Terima kasih, Rama," lirih kak Ani, tertawa lega. Dia sangat bahagia, sungguh sangat bahagia, rupanya Alice begitu berharga di matanya.
"Sama-sama, Ani. Jagalah Alice! Kau menginginkannya, bukan? Tapi ingat! Kau jangan terlalu lelah," jawab kak Rama, membuatku tersenyum penuh kemenangan, aku melirik ke arah Kak Amel dan sengaja menunjukkan padanya bahwa Kak Ani-lah cinta Kak Rama. Bukan, Dia! Selamanya kak Rama hanyalah milik kak Ani seorang.
Kak Amel berdiri dan menjauhi kami bertiga dengan kesal. Dia masuk ke dalam kamar dan membanting pintunya dengan keras.
Kak Ani segera membawa Alice masuk ke kamar dan memberinya s**u. Dia sangat senang karna akhirnya Alice resmi menjadi anaknya, itu berarti menjadi keluargaku juga. Tuhan ... Hamba sangat bahagia.
"Apa kau senang?" tanya kak Rama, sambil membelai pipiku pelan.
"Tentu saja, Kak! Aku sangat senang! Terima kasih, Kak Rama. Kau sangat baik," jawabku langsung memeluknya.
"Sama-sama, Sayang," jawab kak Rama, membalas pelukanku penuh kasih sayang.
Kak Rama berdiri dan tetap menggendongku.
"Kak Rama! Turunkan aku, aku mau melihat Alice," ucapku pelan.
"Aku akan menurunkanmu, Anak manis. Tapi nanti! Soal Alice, kau bisa menemuinya besok, kakak lelah, hiburlah!" ucapnya dan membawaku masuk ke kamarku.
"Hibur apa? Aku tidak bisa apa-apa! Kita ke Kak Ani saja," ucapku memprotesnya.
"Kakakmu sangat bahagia, Anna. Biarkan dia menikmati hari pertama bersama anaknya, kau menurut padaku saja," paksa Kak Rama, tidak mau diganggu-gugat.
"Kak Rama, Aku belum mengantuk, kenapa dibawa kesini?" tanyaku kembali kesal.
"Aku membawa sesuatu untukmu, Anna! Lihatlah!" ucapnya sambil tersenyum.
"Apa?! Hadiah?! Mana?!" seruku bahagia, memang tadi aku sempat membenci Kak Rama, tapi jika dia sudah baik sama Kak Ani, aku sangat bersimpati. Mereka berdua adalah keluargaku yang paling berharga, sebenarnya kak Amel juga, hanya saja ... kak Amel tidak pernah menginginkan kami berdua (Aku dan Kak Ani). Selama bertahun-tahun hubungan kita masih sama, tetap membenci sementara Kak Ani memang baik hati, dia selalu menyayangi Kak Amel meski Kak Amel tidak pernah menghargainya sama sekali.
Sementara Kak Rama ....
Entahlah, dia sering berubah setiap kali bersamaku, watak yang biasanya, angkuh, berubah jadi penurut atau mengalah jika denganku, sementara sikap yang biasanya dingin, berubah jadi lembut, bahkan bukan hanya sikap, tapi tatapan mata dan tutur sapanya pun sangat lembut, dia seperti pribadi yang lain. Aku sampai sekarang tidak tahu sikap yang sesungguhnya kak Rama seperti apa? Sering berubah-ubah.
"Anna! Kenapa melamun? Apa kau tidak penasaran?" tanya kak Rama, heran.
"Oh ya?! Apa itu, Kak?!" seruku setelah tersadar dari lamunan. Aku lupa jika kak Rama tadi ingin memberiku sesuatu.
"Cium dulu!" perintahnya lembut.
"Tidak! Tidak mau! Aku sudah besar, jangan memperlakukanku seperti anak kecil," ucapku kembali kesal dengan sikapnya. Dia selalu seperti itu jika ingin memberiku hadiah, pernah di depan Kak Ani juga, tapi bukannya membelaku Kak Ani malah bilang Kak Rama sangat menyayangiku atau bahkan mencintaiku, seperti kak Ani mencintaiku juga tentu saja.
"Sudah besar darimana?! Masih manja sama kakakmu dan padaku juga! Jadi menurutlah, Anna. Kak Rama lelah, butuh hiburan, setelah seharian kerja di kantor, Kak Rama sangat lelah," ucapnya memaksa.
"Ba-baiklah, ini," ucapku mengecup pipinya.
"Yang sebelah sini belum," kak Rama menunjuk keningnya,
"Muach! Sudah!" ucapku setelah mengecup keningnya.
"Sekarang di sini," kak Rama menunjuk bibirnya.
"Banyak sekali sih?!"
"Satu lagi, Gadis manis."
"Baiklah! Muaachh! Sudah!" ucapku setelah mencium bibirnya singkat. Kak Rama mengeluarkan coklat dari saku celananya.
"Hadiah yang manis buat gadis yang manis," ucapnya sambil tersenyum.
"Waaah! Terima kasih, Kak Rama!" seruku bahagia.
"Sama-sama, Sayang. Makanlah! Tapi ingat, jangan bilang-bilang kakakmu, nanti dimarahi," pinta Kak Rama, membuatku tertawa. Memang setiap kali Kak Ani memarahiku soal makanan, Kak Rama selalu membela.
*********
flashback masih belum kelar, Pembacaku tersayang ... masih panjang, nikmati aja, ya. Semoga memahami ceritanya, jangan lupa tekan Love and Follow juga. Makasih .....
TBC.