Merelakan bukanlah hal yang mudah, mengingat selama ini kita bahkan sudah terlampau sering menggantungkan segala hal darinya. Dan sekarang, tanpa sedikit pun persiapan aku harus memulai semuannya dari nol. Melewati segala hal sendirian. Ini bahkan lebih sulit dari apa yang kubayangkan.
Shella Maulina Cantika
Sore ini Shella memilih pergi ke kafe untuk sekedar minum coklat panas. Pikirannya sedang dipusingkan dengan penelitian yang akan dia jalani setelah ini. Pengajuan judul skripsi yang dia ajukan kebetulan juga sudah di Acc tadi siang. Rasanya, senang bukan main. Sebenarnya, Shella sudah menyiapkan 3 judul untuk berjaga jaga jika judul yang pertama ditolak. Yah, begitulah derita mahasiswa semester akhir. Tugas, Penelitian, laporan.
Sebelum sibuk dengan rutinitas padat, Shella perlu membuat pikirannya kembali fresh.
Brakk.. . ..
Suara tabrakan mengurungkan langkah Shella memasuki kafe. Di samping supermarket, tidak jauh dari kafe yang akan Shella masuki seorang anak kecil tergeletak dengan darah segar mengalir dari pelipisnya. Korban tabrak lari rupanya.
Beberapa orang mulai mengerubungi tapi belum ada usaha untuk membawa anak itu kerumah sakit. Orang zaman sekarang, menonton lebih menarik dari pada bertindak. Tanpa sadar kaki Shella sudah berjalan menuju lokasi kejadian. Tak perlu banyak berfikir, Shella meminta kepada beberapa orang untuk membantunya membawa anak itu kerumah sakit. Salah seorang memberhentikan mobil yang hendak berbelok keparkiran supermarket.
Shella nyelonong masuk begitu saja di kursi pengembudi dan duduk memangku kepala anak kecil itu.
"Sabar ya, sebentar lagi kamu diobatin." Begitulah nasehat Shella saat anak kecil itu merintih keskitan.
"Tante, akit..hiks.." Racau anak itu, Shella hanya mampu meringis tangannya sesekali mengelus kepala anak itu.
Kasihan sekali. Pikir Shella
Sekitar lima belas Menit mereka sampai di Rumah Sakit yang dituju. Anak itu langsung mendapatkan perawatan dan mendapat tiga jahitan di pelipis. Sekarang dia sedang berada diruang rawat inap sedangkan Shella sedang mengantri untuk pembayaran biaya administrasi. Shella baru menyadari beberapa orang menatapnya dengan tatapan jijik bahkan ada juga yang menatapnya dengan kerutan.
Jelas saja, Shella belum sempat mengganti pakaian. Sweater yang kebetulan dia kenakan terdapat noda darah dibagian depan, sangat nampak jelas. Nanti setelah melakukan pembayaran Administrasi Shella berinisiatif untuk mengganti bajunya.
"Shella." Teguran seseorang mengalihkan perhatian Shella dari antrian kearah paggilan itu
"Adit." ucap Shella nyaris tanpa suara
Oh Tuhan, kenapa nyalinya menciut setiap berhadapan dengan mantan pacarnya ini. Shella tidak tahu harus bagaimana mendeskripsikan perasaannya sekarang. Bohong, jika ia tidak merindukan laki-laki itu. Yang Shella tahu perasaannya saat ini bercampur antara kerinduan dan setengahnya lagi memunculkan perasaan benci setiap kali mengingat pengkhianatan Adit.
Kalau boleh jujur, Adit tampak semakin tampan saja. Dia memakai jaket kulit yang dulu pernah Shella berikan saat mereka merayakan Anniversary hubungan yang ketiga tahun. Tidak, Shella tidak mau kembali flashback dengan kenangan masa lalu mereka.
"Kamu, sedang apa Shella?'' Laki-laki itu mendekati Shella yang masih mematung di tempat
Shella tidak langsung menjawab ucapan Adit. Ekor matanya lebih dulu terfokus pada Salsa yang tiba-tiba muncul dari balik tubuh Adit. Perut wanita itu sudah membuncit.
Benarkah di dalam perut wanita itu terdapat anak seorang Adit??? Hati Shella sakit memikirkan hal tersebut.
"Hay Shella." Sapa Salsa kepada Shella. Tangannya bergelayut manja dilengan Adit.
Sialan
Hati Shella ngilu melihat pemandangan itu. Butiran air mata lolos begitu saja namun Shella memilih berpaling ke arah lain. Agar Adi tidak lagi mengiba dan mengira Shella masih terus terpuruk oleh perpisahan mereka. Meski pada kenyataanya seorang Shella memang benar-benar jatuh akibat perpisahan mereka. Bayang-bayang Adit masih sering menghinggapi Shella, tapi inilah takdir yang harus mereka jalani.
"Nomor antrian 105." Panggilan itu akhirnya membuat Shella beranjak dari hadapan Adit.
Shella membayar tagihan biaya rumah sakit. Lalu setelahnya pergi, berlalu tanpa memperdulikan kehadiran Adit. Beberapa kali Adit terus memanggil meskipun di sampingnya sudah ada sang istri. Shella paham betul bagaimana karakter Adit. Nampaknya, laki-laki itu masih terus dihinggapi penyesalan. Tapi bagaimana pun juga, penyesalan yang diarasakan Adit rasakan hanya sia-sia. Tidak akan membuat keadaan kembali seperti semula.
Shella berjalan dengan air mata di wajah cantiknya. Penglihatannya mulai kabur tapi langkanya kakinya terus ia pacu kesuatu tempat entah dimana itu. Dia butuh tenang dan aman. Shella jadi lupa soal target skripsinya. Hanya dengan pertemuan singkat antara dia dan Adit suh membuatnya lupa segala hal. Mengapa seorang seperti Adit seolah menjadi remot penggerak hidup Shella?! Shella benci keadaan seperti ini, Shella benci pertemuan mereka, Shella benci Adit bahkan Shella begitu membenci perasaannya yang masih utuh untuk laki-laki itu.
Akibat langkah yang terlalu cepat Shella menubruk bahu seseorang. Shella menghiraukan orang yang dia tabrak. Bahu Shella ditahan seseorang, sehingga langkah kaki Shella terhenti. Shella mendongak menatap pemilik tangan itu. Dia enggan berkomentar. Kenapa semua harus serumit ini kembali lagi bertemu orang-orang dari masa lalu.
***
Disinilah mereka sekarang, disalah satu kafe yang terletak tidak jauh dari rumah sakit. Orang yang Shella tabrak adalah Zahrul. Laki-laki dari masa lalu sebelum mengenal sosok Adit. Jangan lupa ingatkan Shella untuk memberi piring cantik kepada Zahrul atas seringnya pertemuan diantara keduannya.
Kali ini Zahrul bersikeras mengajak Shella berbicara hingga akhirnya gadis itu luluh. Tepatnya pasrah oleh ajakan Zahrul.
Pelayan membawakan satu lemon tea juga cappuccino hangat. Zahrul sempat meminta Shella untuk memesan makanan tapi gadis itu menolak. Dan akhirrnya Zahrul memesankan lemon tea untuk gadis itu karena kelihatannya dia kurang bugar.
Zahrul menyesap cappuccino miliknya, lalu tatapannya teralih ke Shella. Waniat itu hanya menatap datar minumannya tanpa berniat menyentuhnya.
"Nah, Shella, mungkin gue terlalu ikut campur dalam masalah elo.Tapi seringnya pertemuan diantara kita, gue rasa ini bukan suatu kebetulan tapi emang udah di takdirkan. Gue rasa udah dua kali ini ngelihat elo dalam keadaan nangis.Yang pertama waktu dijalan raya itu pas malam-malam. Lalu yang kedua hari ini.”
“Dan… ada apa sama baju loe?!" Telunjuk Zahrul menunjuk kearah Sweater yang dikenakan Shella.
Shella menatap Zahrul tanpa kedip. Ia masih melihat sosok yang sama. Dulu, pernah ia memuja seorang Zahrul mati-matian. Kini sosok yang pernah ia puja berada di jarak sangat dekat. Sejujurnya, tidak pernah sekalipun Shella membayangkan akan bisa sedekat ini dengan Zahrul. Jika saja Shella masih menggilai Zahrul seperti dulu, mungkin saat ini hal yang pertama ia lakukan adalah jingkrak-jingkrak tanpa rasa malu. Tapi kini semua sudah berbeda, Shella tidak lagi mengagumi Zahrul seperti dulu. Seluruh perasaannya sudah utuh dimiliki oleh Adit.
"Gue, habis nolong anak kecil tadi korban tabrak lari." Akhirnya setelah menunggu sekian lama Zahrul bisa mendengar suara Shella juga. Ia tadi sempat berfikir Shella tidak mau berbicara kepadanya karena masih marah soal kejadian di masa lalu mereka dulu.
"Pakailah jaketku supaya mereka tidak memperhatikan bajumu, Shell." Zahrul memberikan jaket levis dan sedikit memaksa Shella menerimanya.
Awalnya Shella sempat ragu namun karena ia juga memikirkan banyak orang yang akan jijik melihat bajunya apalagi kondisi mereka berada ditempat makan, jadilah dia menerima jaket Zahrul. Nanti akan ia kembalikan saat akan pulang.
"Terima kasih." Shella langsung menggunakan jaket Zahrul. Semerbak aroma wangi yang tercipta saat jaket itu mulai menempel di tubuh Shella.
Wanginya jujur saja super duper wangi ditambah bonus wajah ganteng pemiliknya.
"Lalu alasan tangisanmu?" Pandangan Zahrul benar-benar menyiratkan keingintahuan pada masalah Shella.
Jika boleh jujur, Shella sangat ingin berbagi masalahnya saat ini. Tapi iyakah dia harus berbagi masalahnya kepada Zahrul?! Dia takut Zahrul akan menertawakannya. Shella juga dapat melihat respon Zahrul sangat serius dengan keingintahuannya. Zahrul tidak mungkin menganggap masalahnya sebagai lelucon belaka bukan?! Mereka kini sudah dewasa, tidak mungkin berpikiran pendek seperti di masa SMA.
"Oke. Kalau memang loe nggak bisa ceritain masalah ini sama gue. Gue siap dengerin kapan pun elo butuh pendengar. Gue usahain akan selalu ada buat elo.” Zahrul sekarang tidak memaksa Shella untuk menceritakan masalahnya.
"Gue… ketemu pacar gue. Dia sekarang sudah punya istri." ucap Shella parau
Zahrul mengernyit bingung mendengar ucapan Shella. Boleh dibilang, Zahrul sedikit bingung dengan penggunaan bahasa Shella. Namun perlahan dia mulai paham maksud ungkapan Shella.
"Jangan mikir jauh dulu. Intinya gue punya pacar, tapi dia ninggalin gue buat cewek lain karena si cewek udah hamil duluan." Jelas Shella agar Zahrul paham maksudnya
Zahrul mengangguk paham
"Biar gue tebak deh. Jadi, intinya, elo tadi ketemu dia pas mantan loe lagi sama istrinya, begitu?" Shella mengiyakan
"Dan semakin kesini loe nggak bisa move on, karena masih terbayang bayang sama masa lalu kalian yang sudah begitu jelas udah nggak mungkin buat bersatu lagi?!” Lagi-lagi Zahrul menebak dengan tepat sasaran.
Ucapan Zahrul menyadarkan Shella kembali kedunia nyata. Antara dirinya dan Adit memang sudah tidak mungin lagi bisa bersatu.
"Sudahlah. Ganti topik saja." Shella takut Zahrul berpikiran jika dia masih mengharap Adit kembali
Zahrul hanya menuruti Shella. Dia tidak mungkin memaksa Shella membahas masalah yang justru membuat mood gadis itu semakin buruk. Zahrul mulai menanyakan perihal kuliah Shella, keluarga dan juga teman-teman Shella.
Tidak lupa mereka bercanda soal masa lalu, dimana dulu seorang Shella mengejarnya Zahrul hanya untuk bisa memotret Zahrul. Shella ingat betul, hasil jepretan foto Zahrul wakti itu blur, sama sekali tidak jelas.
Perlahan suasana hangat tercipta dan meruntuhkan sekat diantara keduannya. Zahrul memilih mengantar Shella kesalah satu ruangan dimana Shella menolong anak kecil tadi. Zahrul sempat berbincang sebentar dengan anak kecil itu yang ternyata adalah seorang pengamen,
"Udah sore, gue pulang dulu. Loe hati-hati, ya. Kalau ada apa-apa bisa langsung hubungi gue."
Shella memberikan anggukan kecil
"Ini jaket loe, kak.”
Shella hendak melepas jaket tapi Zahrul menahannya. "Pakai saja. Loe lebih butuh itu. Gue masih ada kok di mobil.”
“Gue balik ya."
“Hati-hati, kak. Dan makasih.”
Shella menatap jaket yang melekat dibadannya. Terasa longgar namun tetap saja hangat dan nyaman. Kalau boleh jujur dia tidak mau melepaskannya. Wanginya benar-benar membuat Shella tersenyum sendiri. Apalagi mereka tadi sempat membahas soal masa-masa dulu. Meski dulu Zahrul pernah menolaknya tapi rasanya tidak semenyakitkan kali ini.
Lukanya kapan sembuh ya?!