Pagi itu, Arcene duduk di meja kafe, mengaduk susuanya tanpa semangat.
Perutnya masih terasa mual, tapi pikirannya jauh lebih kacau daripada tubuhnya. Maria duduk di seberangnya, menatap sahabatnya dengan raut prihatin.
Meskipun Maria menyuruhnya untuk tak ke cafe, tapi Arcene masih bersih keras ingin tetap bekerja.
“Kau tak bisa terus seperti ini, Cene,” kata Maria akhirnya, mencoba memecah keheningan di antara mereka.
Arcene mendongak, menatap Maria dengan mata lelah. “Maksudmu?”
Maria menghela napas panjang sebelum berbicara. “Setelah cukup lama berpikir tentang kondisimu, aku memiliki tanggapan yang berbeda. Aku tahu kau keras kepala, tapi menurutku kau tak bisa menanggung semuanya sendirian. Kau harus bilang pada ayah dari bayi itu. Katakan padaku siapa nama pria itu. Mungkin aku bisa membantuku mencarinya.”
Arcene langsung menggeleng. “Aku sudah memutuskan untuk tak akan melakukannya, Maria. Jangan minta aku untuk itu. Aku tak mau dia tahu bahwa dia memiliki anak dari wanita sepertiku.”
“Tapi kenapa? Dia punya hak untuk tahu, dan kau butuh bantuan. Ini terlalu berat untuk kau tanggung sendirian. Dan mengapa kau selalu merendahkan dirimu sendiri? Kau adalah wanita terhormat dan kuat. Kesalahanmu hanya satu, membiarkan kau terjebak dalam pesona pria itu.”
“Tapi semua ini murni salahku,” kata Arcene tegas. Suaranya rendah, tapi ada ketegasan yang tak bisa dibantah. “Aku yang memulai ini. Aku yang memutuskan malam itu. Dia hanya mengikuti apa yang aku inginkan. Dia tak bersalah dalam hal ini.”
Maria mengerutkan kening, merasa kesal dengan logika Arcene yang menurutnya terlalu keras pada dirinya sendiri. “Cene, kita tak bicara soal siapa yang salah atau benar. Kita bicara soal masa depan anak-anakmu. Kau butuh dukungan finansial untuk ke depannya, dan kau tahu dia punya kemampuan untuk itu.”
“Justru itu masalahnya, Maria,” jawab Arcene cepat. “Dia adalah seorang konglomerat. Dia orang kaya dari kalangan atas, dan aku? Aku cuma perempuan biasa. Kalau aku mendatanginya, dia pasti berpikir aku hanya ingin memerasnya. Aku tak mau dianggap sebagai parasit.”
Maria menatap Arcene dengan mata lebar, tak percaya dengan apa yang didengarnya. “Jadi kau lebih peduli dengan apa yang dia pikirkan daripada apa yang terbaik buat anak-anakmu?”
Arcene terdiam. Kata-kata Maria menusuk, tapi dia tak bisa menjawabnya. Di dalam hati, dia tahu Maria benar.
Tapi rasa malu, rasa takut, dan rasa bersalahnya begitu besar hingga mengalahkan semua logika.
“Dengar,” lanjut Maria, suaranya lebih lembut. “Aku tahu kau takut. Tapi kau tak bisa membiarkan rasa takut itu menghancurkan hidupmu—dan hidup anak-anakmu. Pria itu berhak tahu, dan kau tak perlu menebak-nebak bagaimana dia akan merespon sampai kau benar-benar memberitahunya.”
Arcene menggeleng lagi. “Aku tak mau mengambil risiko, Maria. Aku belum siap untuk sebuah penolakan. Itu rasanya pasti menyakitkan. Kalau dia benar-benar tak peduli, aku hanya akan mempermalukan diri sendiri. Dan kalau dia mau membantu, aku tak mau bantuan itu datang dari rasa kasihan atau tanggung jawab yang dipaksakan.”
Maria menatap Arcene lama, mencoba memahami apa yang ada di kepala sahabatnya. Tapi Arcene begitu keras kepala, dan Maria tahu tak ada gunanya memaksa lebih jauh.
“Baiklah,” kata Maria akhirnya, menyerah untuk saat ini. “Kalau itu keputusanmu, aku akan mendukungmu. Meskipun itu mungkin sulit buatku untuk melihat kondisimu yang seperti ini, Cene.”
Arcene mengangguk pelan, meskipun air matanya mulai menggenang di sudut matanya. “Terima kasih, Maria. Aku benar-benar bersyukur memiliki sahabat sepertimu.”
*
*
Hari-hari berlalu, dan Arcene semakin terjebak dalam pikirannya sendiri. Setiap malam, dia terjaga di tempat tidurnya, memikirkan anak-anak yang tumbuh di dalam rahimnya.
Ada saat-saat dia ingin menyerah, tapi janji yang pernah dia ucapkan pada dirinya sendiri—untuk melindungi anak-anaknya—terus menguatkan hatinya.
Dia mulai membuka cafenya dua puluh emoat jam dan menambah jam kerjanya meskipun ada pegawai tambahan di cafe.
Dia tahu tubuhnya semakin lemah karena kehamilan. Tapi dia ingin bekerja keras sebelum anak-anaknya lahir nanti agar dia memiliki tabungan yang cukup.
Jadi, dia akan fokus dengan anak kembarnya dan tak bekerja dalam waktu yang lama sampai anak kembarnya bisa dititipkan di daycare selagi dia bekerja lagi nanti.
Maria berkali-kali memintanya untuk berhenti bekerja terlalu keras, tapi Arcene tetap keras kepala. Dia tidak ingin bergantung pada orang lain nantinya termasuk Maria.
Namun, ada saat-saat di mana keraguan itu datang, mengganggunya seperti bayangan yang tak bisa dia abaikan.
Apa yang akan terjadi jika dia benar-benar tidak bisa memenuhi kebutuhan anak-anaknya? Apa yang akan terjadi jika dia gagal menjadi ibu yang baik?
Di tengah kegelisahannya, Arcene kembali teringat pada Light. Malam itu, wajah pria itu masih jelas di ingatannya.
Cara dia memandangnya, cara dia berbicara, dan cara dia memperlakukannya dengan lembut. Tapi dia juga tahu, malam itu hanyalah momen sesaat.
Light tidak mengenalnya, dan dia juga tidak benar-benar mengenal Light.
Lalu sekali lagi dia menggeleng. “Tidak, aku tak butuh dia. Aku masih bisa menangani hal ini sendirian.”
Arcene menghela napas panjang di meja kafe, menatap layar laptopnya yang penuh dengan angka dan data yang harus ia selesaikan hari ini.
Namun, pikirannya terus melayang, tak mampu fokus pada pekerjaan yang ada di depan matanya. Sesekali tangannya mengusap perutnya yang perlahan membesar, seolah mencari kekuatan dari dua kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya.
Namun, kekacauan di pikirannya mulai tercermin dalam pekerjaannya. Arcene semakin sering membuat kesalahan, mulai dari salah menghitung laporan hingga lupa memenuhi pesanan pelanggan di kafe.
Maria, yang melihat keadaan sahabatnya dari dekat, semakin khawatir. Maria memiliki rencana untuk Arcene agar wanita itu mau istirahat dari pekerjaannya yang semakin melelahkan di saat perutnya semakin membesar.