Beberapa hari kemudian, Arcene duduk di ruang tunggu klinik dengan tangan yang gemetar.
Keputusan ini terlalu berat, bahkan untuknya. Dia mencoba mengatur napas, tapi kegelisahan memenuhi pikirannya.
Berhari-hari dia memikirkannya tanpa tidur yang cukup.
Dia tak bisa membayangkan bagaimana melanjutkan hidup dengan anak di dalam kandungannya.
Bahkan hidup sendiri saja sudah menjadi perjuangan yang melelahkan.
Namun, setiap kali bayangan tentang malam itu dengan Light muncul di kepalanya, dia merasakan penyesalan dan ketakutan yang bercampur menjadi satu.
“Bagaimana aku bisa membiarkan ini terjadi?” bisiknya dalam penyesalan, tangannya mengepal di pangkuannya.
Seorang perawat memanggil namanya. Arcene bangkit dengan langkah berat menuju ruangan dokter.
Ketika dia masuk, dokter menyambutnya dengan senyum ramah.
“Ya, ada yang bisa kubantu? Jelaskan tentang kondisimu,” kata dokter sambil mempersiapkan alat USG.
Arcene memaksakan senyum, meskipun hatinya gelisah. “Aku ... aku tidak tahu, Dokter. Aku ingin menggugurkan kandunganku ... ini terasa berat bagiku. Aku …” Suaranya terputus. Dia tidak tahu bagaimana menyelesaikan kalimat itu.
Dokter mengangguk mengerti tanpa memaksanya untuk berbicara lebih banyak dan dia sering mendapat pasien seperti ini.
Dan nanti dia akan mulai memberikan pemahaman dan semangat yang dibutuhkan oleh ibu-ibu muda yang putus asa dalam menghadapi kehamilan yang terkesan mendadak dan tak diinginkan.
“Begini, aku tak bisa memutuskan sebelum melihat kondisi kandunganmu. Mari kita lihat kondisi kandunganmu dulu. Berbaringlah di sini, dan kita akan memeriksanya.”
Arcene merebahkan diri di atas ranjang, dan dokter mulai mengoleskan gel dingin di perutnya.
Monitor di sebelahnya menyala, menampilkan gambar hitam-putih yang berdenyut pelan.
Saat itu, Arcene merasa napasnya tertahan. Dokter menatap layar dengan cermat sebelum tersenyum kecil.
“Nona, ada sesuatu yang perlu kau tahu,” kata dokter perlahan.
Arcene langsung merasa cemas. “Apa itu, Dokter? Ada yang salah? Apakah aku masih bisa menggugurkannya?”
Dokter menggeleng sambil menunjuk layar. “Tidak, tidak ada yang salah. Tapi aku melihat ... dua janin di sini. Kau sedang mengandung bayi kembar.”
Kata-kata itu seperti petir yang menyambar Arcene. Dia menatap layar dengan mata melebar, melihat dua bentuk kecil yang berdenyut pelan di dalam rahimnya. “Kembar?” bisiknya, hampir tak percaya.
Dokter mengangguk sambil menunjukkan posisi kedua janin itu. “Ya, keduanya terlihat sehat sejauh ini. Tapi tentu saja, kehamilan kembar memerlukan perhatian lebih. Kita harus memastikan kau menjaga kesehatanmu dengan baik karena usia kandunganmu sudah cukup besar dan akan menjadi hal ilegal jika aku membantumu menggugurkannya. Janin ini sehat dan tak bermasalah, kau pun sehat dan usiamu sangat matang. Jadi, tak ada alasan medis untuk menggugurkannya.”
Air mata mengalir di pipi Arcene tanpa bisa dia tahan. Dia merasa seperti dihantam oleh gelombang emosi yang tak terduga.
Kembar. Tidak hanya satu, tapi dua bayi. Dua kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya.
Sang dokter mulai memberikan semangat dan banyak wejangan pada Arcene untuk menguatkannya.
*
*
Ketika pemeriksaan selesai, Arcene duduk di kursi dengan tatapan kosong. Tangannya memegang foto hasil USG itu, menatap dua titik kecil yang kini mengubah dunianya.
Di perjalanan pulang, Arcene terus memikirkan apa yang baru saja terjadi. Awalnya, dia datang ke klinik dengan niat yang begitu jahat.
Rasa takut dan putus asa membuatnya berpikir untuk mengakhiri kehamilannya. Tapi sekarang, setelah melihat dua janin itu, dia tahu dia tidak bisa melakukannya.
Namun, rasa takutnya tidak hilang begitu saja. Bagaimana dia bisa merawat dua anak sekaligus?
Hidupnya sudah cukup berat. Dia hanya seorang wanita biasa dengan pekerjaan yang tidak menghasilkan banyak uang meskipun tabungannya sudah cukup banyak.
Hanya saja, dia menabung agar bisa membeli rumah yang layak kelak, tapi tampaknya hal itu tak akan bisa terwujud karena dia harus membiayai dua calon bayinya.
Dia pun tidak memiliki keluarga yang bisa diandalkan untuk membantunya.
*
*
Setibanya di apartemen, Arcene duduk di sofa dengan tangan gemetar. Foto hasil USG itu masih dia genggam erat.
Air mata kembali mengalir, tapi kali ini bercampur antara rasa takut dan rasa cinta yang baru mulai tumbuh.
“Bagaimana aku bisa melakukannya?” gumamnya pelan, berbicara pada dirinya sendiri. “Bagaimana aku bisa menjadi seorang ibu untuk kalian berdua?”
Bayangan tentang masa depan mulai menghantui pikirannya. Dia membayangkan dirinya merawat dua bayi sendirian, bekerja siang malam untuk memenuhi kebutuhan mereka, dan mencoba memberi mereka kehidupan yang layak. Itu semua terasa mustahil.
Namun, di balik semua kekhawatirannya, ada sesuatu yang hangat di hatinya. Foto USG itu menjadi pengingat bahwa dua kehidupan kecil sedang tumbuh di dalam dirinya.
Dua nyawa yang sepenuhnya bergantung padanya.
Arcene tahu dia tidak bisa menyerah, meskipun jalannya terlihat begitu sulit.
Dia mulai mencoba mencari cara untuk menghadapi situasi ini. Langkah pertamanya adalah mencari tahu lebih banyak tentang kehamilan kembar dan bagaimana cara menjalani kehamilannya dengan benar dan sehat.
Maria, yang selalu menjadi sahabat setianya, datang ke apartemen malam itu setelah mendengar kabar dari Arcene.
Maria memeluknya erat, memberikan dukungan yang sangat dibutuhkan Arcene.
“Kau tidak sendiri, Cene,” kata Maria dengan suara tegas. “Aku akan membantumu sebisaku. Kita akan melewati ini bersama. Aku akan mencari cara bagaimana cara mengatasi ini semua. Untuk sementara kau tak perlu ke cafe. Aku akan mencari pegawai baru dan kau tetap akan mendapatkan hasil bagi keuntungan cafe itu.”
Arcene mengangguk, meskipun air matanya masih mengalir. Kata-kata Maria memberinya sedikit harapan.
Malam itu, sebelum tidur, Arcene memegang perutnya yang masih datar. “Aku tidak tahu bagaimana kita akan melewati ini,” bisiknya pelan, seolah berbicara kepada dua bayi itu. “Tapi aku akan mencoba. Aku janji.”
Dan dengan janji itu, Arcene mulai menghadapi hari-hari ke depannya, penuh dengan tantangan, tetapi juga dengan harapan yang perlahan mulai tumbuh.